Menanti Giliran Merindu

Kupulas bibirku dengan lipstik yg tadi pagi kuambil di kamar Mar. Warnanya kesukaanku, tak semerah darah tapi juga tidak terlalu pucat. Meskipun tertutup masker, memulaskan lipstik di bibir membuatku bahagia.
Kutepuk-tepuk perlahan kantung di bawah mataku dengan foundation. Terlihat agak lebih gelap dari biasanya. Penting untuk terlihat 'segar' meskipun jujur saja, tubuhku sudah mulai letih karena belum beristirahat secara dalam beberapa hari terakhir.
‘Suuuus...! Suuuusssiii....!’ Kudengar suara Mar dari intercom nyaring.
Kutekan tombol speak, ‘Apa sih…’
‘Buruan! Lo dicari Madame tuh! Udah ada yg nunggu..!’
Kuhela nafasku. ‘Iya... bentar... gue siap2 dulu...’
‘Cepetan ya! Tamunya keburu pulang lho!’
‘Iya...! Udah deh bilangin Madame, gue bentar lagi kelar siap2!’
Kuraih ikat rambut dan mulai kurapikan rambutku. Kuendus sedikit ketiakku, ah masih wangi. Iya lah... sudah tiga kali aku mandi hari ini...
Kuambil garter, kumasukkan satu per satu kakiku, kutarik perlahan hingga sampai ke batas paha dan kukaitkan penjepitnya di tali yg sudah kupasang terlebih dahulu. Setengah telanjang, kuambil celemek plastik sekali pakai dan kuikat pada bagian belakang. Kuambil sarung tangan latex berwarna merah muda yg wajib kami kenakan. Kupasang penutup kepala hingga hanya bagian mataku saja yg terlihat. Kurapikan lagi hingga hanya dadaku saja yg bisa terlihat. Tapi area wajah semuanya tertutup... kecuali mata. Hmmm sarung latex merah muda akan cocok dengan warna apa ya... biru? Kupilih salah satu masker berbahan tahan air berwarna biru. Kupasangkan dengan mengikatnya di bagian belakang kepala dan leher. There goes my lipstick. Setelah itu tak lupa kukenakan surgical goggles.
‘Mar, gue udah siap ya...’ kataku melalui intercom.
‘Oke...!’ Jawabnya cepat.
Kudengar langkah agak berat di luar... hmmm jangan2 dia gemuk... batinku...
Suara handle pintu dibuka.
‘Malam...’ wow... suaranya... seksi banget...
‘Malam...’
Dia terlihat seperti alien-alien lain yg bertandang ke sini hampir setiap malam. Yg secara bergilir menikmati bercinta dengan gaya apapun tanpa perlu menyentuh bagian mulutku.
‘Sudah rapid test?’ Tanyaku seraya bersiap menulis jawabannya.
‘Shudah..’
‘Hah?!’
‘Sudah...’
‘Oke.’ Kucentang kotak di kertas yg ada di tanganku, ‘hasilnya?’
‘Non reaktif.’
‘Oke... kapan itu?’
‘Kemarin..’
‘Oke... sudah tahu ya aturannya?’
Dia menggeleng. Sepertinya tersenyum, tapi sudah lama aku tidak melihat bibir mereka tersenyum, hanya kerut di sekitar mata mereka saja yg menyiratkan bahwa mereka tersenyum.
‘Oke. Jadi tidak ada cium, di bagian tubuh manapun ya, semua area wajah, leher, off limits. Area genital hanya untuk genital, tidak ada bagian tubuh lain yg menyentuhnya...’
‘Tangan sekalipun?’ Dia mengangkat tangan yg sudah mengenakan sarung tangan lateks.
Hmmm... selama ini alien-alien ini tidak pernah menggunakan tangannya sih. Kulirik lagi lembar isian yg sejak tadi kupegang, ngga ada satupun sih yg bicara soal penggunakan tangan. ‘Sepertinya ngga papa... kamu mau pakai tangan untuk apa?’
‘Aku ngga bisa puas ... kalau pasanganku tidak puas juga... ‘
Owww... this is new...
Kuletakkan kertas formulir itu di meja dan kuberjalan mendekat.
Kami duduk berhadapan, dengan jarak dua meter.
‘Foreplay?’ Tanyaku.
Dia menganggukkan kepalanya lagi dan (sepertinya) tersenyum.
Sudah lama tidak ada yg memintaku foreplay.
Artinya, aku bersiap mendongeng atau jadi pendengar yg baik sampai mereka siap melakuknnya.
‘Pasanganku meninggal setahun yg lalu...’ oh oke, aku jadi pendengar. More than happy. Suaranya seksi...
‘Oh... turut duka cita.. kenapa? Sakit?’
Dia menganggukkan kepalanya pelan.. ‘dia menjadi korban ke sekian juta dari wabah ini... padahal kami sudah sangat berhati-hati. Kami hanya pergi bila kami harus pergi. Dan setiap kali kami keluar rumah, kami lingkari kalender, dan kami tunggu empat belas hari untuk pergi keluar rumah lagi. Itupun tak lama... dia begitu disiplin. Tasnya selalu lengkap dengan semua yg diwajibkan, sebut saja, masker cadangan, hand sanitizer, sabun, sampai alcohol rub pun dia ada.’
Dia melanjutkan ceritanya tentang bagaimana mereka memutuskan untuk menyebrangi lautan untuk bertemu dengan ibunya yang sudah lama merindukan mereka. Dan ternyata pasangannya tertular dari salah satu penumpang di kapal ferry itu dan langsung memburuk keadaanya. Kondisi autoimun yang tak mereka ketahui memperburuk infeksi yang mendadak hinggap.
Tanpa kusadari aku menguap. Meskipun tak terlihat, dia sepertinya menangkap rasa bosanku mendengar dongengnya yg demikian panjang. ‘kenapa? Bosan ya?’
Aku menggelengkan kepalaku mencoba bersikap sopan. ‘Jadi dia meninggal di atas perahu itu?’
Dia menganggukkan kepalanya. Matanya terlihat begitu sedih. ‘Bukan perahu... kapal ferry...’
‘Oh iya. Maaf...’
‘Jadi setelah dia meninggal... baru hari ini aku merasakan hasrat demikian kuat untuk bercinta... meskipun aku yakin, aku akan teringat wajahnya...’
‘Hmmm bebas aja sih... kamu boleh membayangkan dengan siapapun kok. Bebas. Kamu juga tidak bisa melihat wajahku, hanya mataku dan memandangi tubuhku saja... ‘
Dia manggut-manggut. ‘Oke...’
Kami lalu berdiri dan melangkah ke ranjang berukuran queen yg ada di tengah kamarku. Ketika kami berdiri dengan jarak cukup dekat, kepalanya mendekat ke arah kepalaku dan refleksku menjauh.
‘Maaf... no kissing ya...’
‘Oh iya... maaf...’
Dan kami bercinta di atas kasur beralaskan sprei plastik sekali pakai.
Suara kami terdengar menderu dibungkam masker, peluhku luruh dan terasa licin menyentuh celemek plastik yg kukenakan, jatuh ke sprei plastik yg menutupi ranjangku.
Aku menikmati ini.
Suaranya membuatku klimaks meski ceritanya tidak.
Sentuhan tangannya di tempat-tempat yg tepat membuatku melayang ke nirwana meskipun tak bisa kupagut bibirnya.
Harum tubuhnya... bukan harum disinfektan tapi harum laki-laki...
Lima menit menjelang sesi satu jam kami selesai, dia selesai. Bel pun berbunyi kencang. Artinya enampuluh menit sudah kami bersama.
Kutanggalkan celemek plastik itu saat kami sudah bangkit dari tempat tidur. Mata itu tersenyum lagi, ‘kamu seksi banget... dan aku sangat menikmati bercinta denganmu...’
Kusentuh wajah tertutup masker, goggles dan penutup kepala itu, ‘iya, aku juga...’
‘Mungkin kapan2 kamu mau ngobrol, sambil minum kopi mungkin?’
Komitmen... sesuatu yg sama aliennya dengan lelaki-lelaki yg merogoh koceknya dalam-dalam untuk bergiliran menggauli tubuhku setiap malam sejak pandemi ini pecah tiga tahun lalu.
‘Ngga usah... kalau kamu mau.. kamu tinggal booking dan datang lagi...’
Mata itu terlihat kecewa.
‘Kenikmatan ini akan menguap dalam beberapa saat. Sesuatu yg jarang, tapi kita perlukan. Kenikmatan ini membantu kita bertahan... mahal? Iya memang... tapi komitmen jauh lebih mahal dan semakin tidak lagi terjangkau... ‘ kugenggam tangannya yg terbungkus sarung tangan lateks itu. ‘aku akan di sini, ngga kemana-mana.. kesehatan kita jauh lebih penting dari komitmen jangka panjang...’
Mata itu terlihat mulai berkaca-kaca.
Kerinduannya begitu dalam.
‘Terimakasih ya...’ kataku. ‘Sampai ketemu lagi...’
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.