Bu Mariana adalah salah satu guru bahasa Inggris di SMA-ku. Dia juga merangkap sebagai guru pembimbing ekskul kepecintaalaman. Sifatnya sangat pilih kasih kalau menurutku. Dia bisa sayang dengan murid-murid tertentu karena sebab-sebab tertentu yang beragam, dan dengan standar suka-suka. Dia bisa benci pada murid-murid tertentu karena sebab-sebab tertentu juga. Aku termasuk yang dibencinya, dengan sebab tertentu yang tak terlalu kupahami. Kemungkinan besar sih karena aku aktif di kepecintaalaman.
Sifat paling buruk Bu Mariana adalah, mencantumkan nilai 6 di rapor dan ijazah murid-murid yang tak disukainya, yang berada di kelasnya. Sebagus apapun nilai-nilai ulangan bahasa Inggris yang diperolehnya, tetap saja. Tak berpengaruh. Aku cukup apes karena di kelas 3 guru bahasa Inggris kami adalah Bu Mariana.
"Kalian dapat nilai MPP!" Kata Bu Mariana dengan bangga soal pemberian nilai 6 yang tak bisa ditawar-tawar itu.
Entah apa maksudnya MPP itu. Masa persiapan pensiun, seperti istilah di militer? Entah! Yang jelas, bagiku itu sebuah tindakan yang sangat tak profesional, dan memalukan dunia pendidikan. Bu Mariana telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada di tangannya. Lumayan korup kalau menurut saya.
Namun, entah kenapa, aku tenang saja. Sungguh aku tak peduli dengan nilai begitu, sebab aku tahu kemampuanku dalam bahasa Inggris cukup baik—praktek berbahasa Inggris soal lain ya. Ulangan bahasa Inggris-ku minimal nilainya 8. Grammar mungkin aku payah karena malas belajar, tapi aku sangat kuat di vocabulary karena banyak membaca buku-buku berbahasa Inggris.
Jadi, biarlah ego Bu Mariana membesar. Dunia takkan berhenti berputar meski di ijazah nilai bahasa Inggris-ku ngepas begitu. Dunia juga tetap berputar ketika aku ditertawakan orang lain soal angka 6 itu.
Setelah lulus SMA, aku mendaftar untuk ikut ujian masuk ke perguruan tinggi pilihan yaitu UI. Jurusanku IPA, tapi untuk melanjutkan kuliah yang kuminati adalah bidang IPS. Saat mendaftar, si penerima pendaftaran mengamati daftar nilaiku, lalu memandangku dengan sebelah mata.
"Kamu yakin bisa diterima dengan nilai bahasa Inggris yang begini rendah?" katanya sinis.
Bahasa Inggris adalah salah satu mata ujian bidang IPS, tapi, dih, siapa dia? Dia nggak tau saja bahwa aku lumayan jago haha...
"Yakin!" jawabku singkat
"Terserah!" katanya lagi.
Bikin kesal! Ketika urusan pendaftaran selesai, aku langsung balik badan tanpa sama sekali mengucapkan terima kasih. Di kemudian hari, setelah diterima di UI, aku menyesal karena tak pernah mencari tahu siapa orang itu. Ingin banget memberitahunya secara langsung bahwa aku berhasil.
Setahun kemudian, aku jadi semakin dendam saja pada orang itu. Karena, aku jadi paham bahwa si sok tahu itu kemungkinan umurnya hanya satu atau dua tahun lebih tua dariku. Setelah setahun kuliah di UI, siapa pun mahasiswa UI bisa direkrut jadi penerima pendaftaran seperti dia.
Aku termasuk yang mengajukan diri di perekrutan, tapi pilih yang lebih seru: jaga ujian masuk. Seru kan jaga ujian di Gelora Senayan seperti waktu aku ujian dulu. Sayang, pada tahun itu ujian masuk tak lagi dilakukan di Senayan. Melainkan, di sekolah-sekolah menengah tingkat atas. Biarlah, yang penting tetap dapat honor. =^.^=