Uang Pasti Datang
Uang itu katanya mengalir. Kata orang bijak, kita harus turut mengalirkan uang ke yang lain.
![Uang Pasti Datang](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_64553211d0c34.jpg)
"Kopi Telomoyo satu, Mbak, seperti biasa," kata seorang laki-laki berkulit gelap dan berkumis.
"Saya juga mau kopi Telomoyo, tubruk ya, Mbak," sambung seorang bapak tua dengan aksen Nusa Tenggara Timur.
Ternyata tidak hanya dua orang itu yang datang pesan kopi. Ada banyak orang secara beruntun datang dan pesan kopi di kedai kopiku. Begitu biasanya yang terjadi jika ada acara di restoran tempat aku numpang nyeduh kopi. Terutama jika pesertanya adalah para pengopi, langsung deh jurus akrobat dan juggling kukeluarkan. Haha.
Yang nyiapin dan nyeduh, ya akulah. Iya, sendirian. Belum punya pegawai karena belum cukup kencang memutar uang. Jadi, ya dinikmati saja proses ini. Dengan segala kehebohan dan kesulitannya.
Aku enggak biasa nulis nama di pesanan kopi. Aku hanya memandang wajah dan mengingat si pemesan secara visual. Ciee .... Iya ni ... sok jadi agen FBI, CIA, M16, NCIS, atau entah apalagi yang hebat-hebat itu, yang agennya seringkali punya otak berkemampuan mengingat secara fotografik. Sialnya, kalo terlalu banyak pemesan dan varian kopi yang dipesan, kekacauan mulai terjadi di kepala dan pada akhirnya, kadang aku malah serasa jadi Thompson (atau Thomson?), alias error!
"Siapa pesan kopi susu?"
"Kopi tubruk. Siapa tadi pesan kopi tubruk?"
"Siapa pesan coklat manis?"
Akhirnya aku berteriak di kerumunan orang, menyebutkan minuman yang kusiapkan, satu dua tiga kali, sebelum pesanan akhirnya kuletakkan di mejaku kalo enggak ada yang mengakuinya. Biasanya nanti yang bersangkutan dateng nanyain dan ambil pesanannya sih. Hehe.
Kadang orang, usai pesan, dia trus ke samping restoran dan asyik ngobrol sama temennya. Kadang ada yang entah ke mana dulu. Kebayang enggak sih, ada kerumunan orang sekitar 30-an orang menyebar di beberapa tempat. Harus nyari, berbekal sekitar kurang dari semenit lihat wajahnya. Jadi, biasanya aku hemat energi tidak mencari, justru nyiapin pesanan selanjutnya. Apalagi kalo antrian pesanan berderet.
Nah, urusan bayar-membayar, kadang juga error, tuh. Biasanya pesanan kutulis di buku pesanan, kutandai centang ketika pesanan selesai kubuatkan, trus ntar kubuatin nota. Yang sudah terima kopi, ya minum dulu. Bayarnya ntar kalo minuman sudah habis.
Perkaranya, kadang mereka lupa, terutama jika kemudian harus buru-buru berangkat ke Telomoyo. Mo maenan layangan, alias gantole. Iya ... namanya laki-laki mo siap-siap maen layangan, kebanyakan pasti melupakan apapun selain urusan layangan. Kopi? Kopi apa, ya? Hahaha.
Duluuu. Iya, dulu pas awal-awal buka kedai, asli aku panik ketika ada orang lupa bayar kopi, dan aku tak ingat yang mana yang belum bayar. Hahaha. Parah, ya? Seakan kalo ada yang enggak bayar segelas kopi tubruk, aku bakalan langsung jatuh bangkrut. Padahal ... bukan seperti itu, kan?
Seiring waktu, aku lebih santai. Fokus ke ngeracik kopi dan minuman lain yang dipesan. Biasanya sih orang pasti ingat mbayar, kok. Kalo pas ada even berlangsung beberapa hari, orang yang lupa bayar hari ini akan bayar besoknya. Bahkan ada teman datang, yang kemudian kami asyik ngobrol dan dia lupa bayar, lain kali dia datang dia bayar kok. Jadi, tak ada alasan risau sebenernya.
Yang justru bahaya, ketika ada orang pesan kopi, sudah bayar, eeeh ... akunya yang malah enggak sempat bikinin, dan dia enggak datang lagi. Waaa .... Iya, pernah kejadian sekali seperti itu. Antrian pesanan kopi berderet, dia sudah bayar. Eeee ... rombongan itu sudah bergegas berangkat trekking. Aku santai karena mereka bakal balik pas makan siang. Eee ... si orang tersebut enggak balik pas makan siang. Mungkin langsung pulang. Hayooo .... Panik dah! Soalnya aku jadi yang berhutang. Huuaaaa ....
Soal uang, sepanjang pengamatan dan pengalamanku, akan mengikuti apa yang ada di pikiran kita. Uang (dan rejeki) juga akan mencari keseimbangannya sendiri. Maksudku begini. Pernah, kan kehilangan uang? Atau barang? Kalo cuma sedikit enggak terlalu kerasa, tapi kalo banyak? atau barang mahal? Rada-rada nyesek ya? Tapi, pernah sebaliknya? Tiba-tiba ada rejeki datang. Ada sodara datang bawain kue, atau tetangga bawakan rambutan panen pohonnya. Atau ada pekerjaan ekstra datang, dan kita dapat uang. Pernah?
Menurutku, ini fenomena natural banget. That's how the universe works. Itu mengapa kata orang bijak, semua yang ada di dunia ini milik Tuhan. Kita enggak punya apa-apa sebenernya, kecuali waktu ketika hidup di dunia, alias kesempatan kita berkontribusi dalam kehidupan ini.
Tentu saja, artinya kita tetap berusaha, bekerja, atau berkarya sebaik yang kita mampu lakukan. Nanti yang namanya rejeki, apapun bentuknya, akan datang sendiri. Kata orang, rejeki tak akan salah datangnya.
"Mbak, kopi seperti biasa, ya. Sori kemaren aku lupa bayar, ntar kubayar sekalian kopi hari ini," ujar seorang teman pencinta gantole yang tak pernah absen ikut kejuaraan Telomoyo Cup dan ngopi. Nah, kan?
Yang sebaiknya dihindari, jangan sampai kita yang 'berhutang' alias sudah menerima rejeki, tapi pelit setengah mati enggak mau bantu. Tidak harus berbentuk uang, kan, kalo mau bantu yang lain?
Kita harus mengalirkan rejeki ke yang lain. Bahaya kalo aliran rejeki berhenti, atau kitanya enggak ngalirin ke yang lain. Bisa-bisa harus ikhlas merelakan 'milik' kita 'dipaksa' lepas dari genggaman. Jangan, kan? Lebih baik dengan kesadaran penuh, kita membagikan rejeki, bukan karena dipaksa.
Jadi, siapa pesan es susu kedelai? Hehehe. (rase)
Catatan:
Beberapa tulisan saya ambil dari postingan blog lama saya yang sudah tutup, termasuk tulisan ini, postingan 9 November 2019, di awal saya nyeduh kopi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.