TAKPUNG, SANG PEMBUNUH KATA-KATA
Suatu hari, sang Primata berjumpa sang Kata dalam dendam membara. Ikuti saja ceritanya, jangan tutup telinga!

Tidak perlu kau tau lukaku, aku bebat sendiri dengan cabik dan badik. Tapi aku ingin kau tau tentang rindu yang dibalas dengan nafsu dan tipu, palsu!
Gelora bertabuh dalam dersik kebisuan, lantas apa yang dicari seorang pertapa di hutan-hutan Kaliwengi. Setitik surga? Atau hanya penghindar siksa neraka? Jawab! Atau kau juga bisu?
Sumpah, mabuk Kecubung aku saat kau lewat di depanku dengan balutan tipis penghidang molek lekuk tubuhmu. Apakah disebut gairah jika meledak sesaat, dikubur selamanya? Sumpah, sungguh sesat!
"Sekali berarti sudah itu mati!" pekik Chairil pada generasi yang telah mati sebelum berarti ini. Abadi bukan legalitas untuk mencari penyemat kegelisahan tentang hidup sesudah ini, tapi abadi itu soal kita berani berarti meski sekali, bukan sekali-sekali.
Takpung menyalin di secarik kertas kalimat-kalimat puisi diatas, mencernanya dengan hati panas. Tak perlu berlama-lama untuknya memutuskan, ia telah bertekad:
"Tak ada air mampu padamkan neraka!"
Takpung telah bersumpah, di hadapan Ponde ia akan menaruh pernyataan tersebut dan jika jawaban yang didapatnya tidak memuaskan, maka tak perlu berlama-lama baginya untuk mengayunkan parang itu. Luar nalar sudah, tetangganya pun tak akan ada yang menyangka nantinya. Tapi Takpung sudah putus asa, ia hanya pria biasa, pelindung dari adik satu-satunya, Kumala sang jelita.
Kumala seharusnya menjadi kembang desa, kini layu sebelum berkembang bahkan hampir tumbang. Niatnya belajar menjahit, malah jadi pait. Ia dimakan sendiri oleh kumbang yang sayangnya bukan lebah penyerbuk, tapi pengerat. Kata-kata manisnya menjerat, Kumala terpikat, masuk ke dalam sebuah rencana jahat, ditolongpun sudah terlambat. Sungguh kumbang pengerat! Dan apa yang dikerat oleh kumbang itu? Selaput dara Kumala dalam waktu singkat. Ia sikat Kumala yang menjerit menahan sakit yang hebat hingga pingsan karena tak kuat.
Tiga hari kemudian, Takpung menahan gemeretak giginya saat menatap tubuh kaku adiknya yang tergantung sebuah tali di langit-langit rumah mereka dekat lampu gantung hias. Oh Kumala, oh lampu hias, sama-sama tergantung, sama-sama indah sekaligus sama-sama tak menyala alias mati. Bangsat si kumbang pengerat, Ponde! Ia harus mati! Mati! Mati! Pasti!
Gajah mati meninggalkan gading, Kumala mati meninggalkan surat, surat tentang perilaku Ponde si kumbang pengerat yang bejat. Dibacanya sekilas, langsung saja Takpung paham, berhari-hari hujan turun di rumahnya seolah jadi pertanda suasana batin sang adik. Dihujani pertanyaanpun, Kumala memilih diam dan menangis sampai-sampai ia jatuh demam hingga sakit meringis.
Dalam hujan yang telah menjadi gerimis, Takpung pergi mencari obat di toko Laris. Antrian lumayan panjang malam itu, semua berbaris. Di tengah gerimis, Takpung berani menangis, kepikiran sang adik yang terus meringis. Ia pun mencoba mengemis agar tak perlu berbaris, tapi semua memberi tatap sinis. Takpung pesimis, ia akhirnya tetap berbaris, menangis, meringis, gerimis!
Dan kini, dihujatnya gerimis, dimakinya hujan, dilemparnya obat dari toko Laris, dipeluknya tubuh sang adik yang telah diletakkannya di atas dipan. Menyesal ia meninggalkan Kumala, terkutuklah hari dimana ia dilahirkan sebagai kakak, tak baik! Dipekiknya nama sang adik, tapi tak ada respon balik, sungguh ia telah pergi menghadap sang Khalik. "Setan kau Ponde!" teriak Takpung mengobrak-abrik.
Ponde, pamannya yang telah membiayai biaya penguburan ayah Takpung dua bulan lalu.
Ponde, adik kandung dari ibu Takpung yang mati saat melahirkan Kumala dalam pilu.
Ponde, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit di Pasar Baru.
Ponde, yang dipandang oleh Kumala sebagai guru.
Dan Ponde yang sama jugalah, kumbang pengerat yang merudapaksa Kumala tanpa ragu. Kumala membisu, Takpung bingung tak menentu, ditanyaipun ia tak mau memberi tahu, hanya minta makan tempe yang dicampur bumbu - ini makanan terakhir yang meleler di mulut mayat Kumala asal kau tau.
Bagi Takpung, bulatlah sudah lingkaran gelap dimata, tapi ia tahu Ponde bukan sembarang orang yang bisa dihadapi secara empat mata. Ponde bisa menjatuhkan lawan dalam sekejap mata bahkan tanpa aba-aba, hanya dengan kata-kata. Itu benar, ia punya ilmu yang membuat lawan bicaranya terkesima dan hilang kesadaran dalam waktu cukup lama. Takpung tahu pamannya itu punya mantra, kata-kata yang berkuasa, dipelajari sejak muda, tapi satu syaratnya: Tak bisa jadi kaya!
Jadi konyol rasanya jika ia beradu raga, pastilah ia akan terluka bahkan pulang tinggal nama saat pamannya mulai berbicara. Kata-kata adalah kuasa dan Ponde adalah kata-kata, sedang Takpung hanya primata kelas A yang sedang dibakar amarah luar biasa. Modalnya hanya fisik, terlalu kecil dibanding Ponde yang metafisik. Ia harus punya taktik kalau tak mau mati dalam sekali jentik.
Maka Takpung merancang sebuah peralihan agar pamannya itu berhenti berkata-kata. Dibuatnya sesuatu yang disukai pamannya yaitu puisi tanpa arah, agak berima. Tersusun dalam empat paragraf yang tak biasa, kenapa? Ponde cinta sastra. Sebabnya itulah Takpung rangkai kata demi kata seperti yang kalian baca di awal mula cerita ini.
Rencananya, kertas itu akan diletakkannya di atas meja jahit Ponde dan begitu Ponde membacanya, ia akan menikmatinya. Berulang membacanya, Ponde semakin tak merasa bahwa ia sedang diperdaya. Dan saat itulah, Takpung muncul secara tiba-tiba.
Disabetnya parang ke arah dada, Ponde terlambat mengelak. Tapi ia tergelak tawa seolah tak apa-apa dan bersiap mengucap kata-kata tapi siapa sangka ia malah tak bisa bicara. Emas! Kesempatan emas bagi Takpung, ia pun menyabetkan kembali parangnya dan kali ini ke arah mata. Ponde menjerit tanpa makna, berusaha berbicara tapi tak ada suara, sunya!
Keparat-keparat emosi berlabuh di pikiran Ponde, entah kenapa mulutnya seperti seorang pertapa, diam seribu bahasa. Sementara itu desing parang Takpung kian membara, menyambar tubuh Ponde berulang-ulang tanpa jeda.
Kumbang pengerat terkapar tak berdaya, darahnya mengalir kemana-mana.
Setelah puas, Takpung meredakan tubuhnya yang menggeram bak serigala liar yang baru saja selesai berkelahi dengan singa berbulu lebat. Ia pun mendekat, mengulangi puisi yang dikirimkannya ke Ponde dengan suara tercekat. Telinga Ponde jadi satu-satunya indera yang selamat dan memang sengaja Takpung membiarkannya tetap sehat agar ia bisa mendengar Takpung menggugat. Dibacanya kuat-kuat supaya Ponde mendengar lebih cermat.
Tidak perlu kau tau lukaku, AKU bebat sendiri dengan cabik dan badik. Tapi aku ingin kau tau tentang rindu yang dibalas dengan nafsu dan tipu, palsu!
Gelora bertabuh dalam dersik kebisuan, lantas apa yang dicari seorang pertapa di hutan-hutan Kaliwengi. Setitik surga? Atau hanya penghindar siksa neraka? Jawab! Atau kau juga BISU?
Sumpah, mabuk kecubung aku saat kau lewat di depanku dengan balutan tipis penghidang molek lekuk tubuhmu. Apakah disebut gairah jika meledak sesaat dikubur selamanya? SUMPAH, sungguh sesat!
"Sekali berarti sudah itu MATI!" pekik Chairil pada generasi yang telah mati sebelum berarti ini. Abadi bukan legalitas untuk mencari penyemat kegelisahan tentang hidup sesudah ini tapi abadi itu soal kita berani berarti meski sekali, bukan sekali-sekali.
Tiga kali Takpung mengulanginya, Ponde pun tersadar.
AKU - BISU - SUMPAH - MATI
AKU - BISU - SUMPAH - MATI
AKU - BISU - SUMPAH - MATI
Maka matilah Ponde dalam kebisuannya, ia telah mengulang pesan tersembunyi dalam puisi maut yang dikirim oleh Takpung, pesan yang mematahkan kuasa kata-katanya menjadi kehampaan semata. Ponde, sang raksasa kata-kata, kalah oleh senjata yang tak biasa, kata-kata repetisi dari mantra yang tak kasat pikiran kiriman seorang primata kelas A.
Istirahatlah kata-kata wahai Widji Tukul, istirahatlah siksa-siksa wahai Ponde, istirahatlah bunga-bunga wahai Kumala.
Dari Takpung, sang pembunuh kata-kata, mari bicara.
Jakarta, 27 Juli 2022
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.