Sandal Biru
Sebuah cerita tentang perjalanan dan pilihan-pilihan dalam kehidupan

Kabut mulai meluruh turun menyelimuti pucuk pucuk pinus di pos perhentian terakhir. Perjalanan 3 hari akan segera dimulai. Setengah hati, ku lirik sepatuku yang belum2 sudah basah kuyup diguyur hujan. Huffff... pastinya sangat tidak nyaman melangkah dengan sepatu kanvas yang basah. Jari-jari kakiku akan segera mengkerut direndam lembab. Duduk termangu di atas bale2 bambu yang juga lembab, kugoyang2 kan kakiku, menimbang apakah kali ini harus bersandal jepit lagi. Nyaman memang saat cuaca cenderung berair seperti saat ini. Tidak usah repot untuk mengeringkan sepatu dan kaos kaki. Anti air. Segala medan. Sandal jepit jadi pilihanku, atas segala pertimbangan dan kesadaran..
Mbok Sri masih dengan ceria melayani berbagai kerewelan di warung kecilnya. Banyak pesanan. Mnuman hangat untuk sedikit mengimbangi udara yang dingin menggigit. Dengan setengah berjinjit, aku mulai meraih dan membolak balik sandal sandal yang tergantung di atas kepalaku. Warna warni. Satu sandal menarik hati. Wananya hitam, jelas tidak gampang terlihat kotor, dengan coretan2 grafis warna kuning yang cukup keren. Hmm... setidaknya sandal jepit yang satu ini berpenampilan muda. Kubuka plastik pembungkusnya dengan antusias, kukeluarkan sandal jepit kanan kiri lalu kucoba di kakiku yang telanjang..Uppsss... kekecilan. Imajinasiku tentang sandal jepit bercorak grafis itu langsung buyar. Masih dengan kekecewaan, terpaksa aq mencoba sandal yang lain. Dengan ukuran yang pas di kakiku. Sanda Jepit warna biru. Standart. Dipakai hampir semua orang yag aku temui. Tak apalah.. walau ketinggalan jaman, sandal biru ini nyaman sekali di kakiku. Dingin.. empuk.. tanpa rasa sakit. Nyaman
10 menit cukup untukku mengaggumi kehebatan sandal biru baruku, sembari packing ulang carrier ku. Langkahpun kuayun untuk memulai perjalanan. Menyeberang jalan aspal basah, melintasi lapangan, lalu melewati gerbang hutan wisata. Bertiga bejalan menyusur jalan setapak tanah berbatu. Dan sandal biru baruku cukup membuat aku nyaman selama perjalanan.
Malam mulai larut, kulirik jam digital di kantong raincoat ku. 23.25. Hmm... untung sudah tiba di titik tujuan pertama. Dom segera bermunculan di tanah lapang berpayung ayunan pinus. Guyuran hujan belum juga puas membasuh kaki kaki gunung. Dingin.
Berjubel di dalam dom yang sempit membuat tubuhku sedikit menghangat. Kopi panas mulai diedarkan. Kepulan asap rokok memenuhi ruang sempit, sementara di luar sana hujan masih bergemericik. Sandal jepit biru baruku dibasuh air hujan di luar tenda. Tanpa protes dan kedinginan. Sungguh tangguh di segala medan. Dan aku makin jatuh cinta
Cahaya pagi menerobos kelembapan dum, aku menggeliat dengan segala semangat yang terpompa oleh curahan sinar matari pagi. Kuregangkan tanganku dengan bebas. Kuhirup dalam dalam udara bersih di hidungku, kurasakan sapuan angin sejuk di pipiku. Dan aku tersipu mendapati sandal jepit biruku setia menunggu
Perjalanan kembali kutempuh, dan ringan kurasakan. Ada sesuatu yang terus menemani langkahku, menyamankan aku, melindungi aku dari kerikil dan duri. Aku kuat karenanya..
Hingga di pagi di ujung perjalanan, dengan matahari yang sama hangat, dengan angin yang juga sejuk, aku terunduk beku menatap kekosongan. Kemana sandal biru baruku? Kuedarkan pandanganku, bukan hanya ke sekitarku. Hingga sejauh mataku menerobos. Alpa. Tidak kutemukan sandal biruku tercinta..
Kulihat kaki-kaki melangkah dengan sandal biru. Tapi aku tau pasti itu bukan sandal biru milikku, bukan sandal biru yang kucintai, bukan sandal biru yang nyaman dan setia. Bukan sandal biru yang kubanggakan dan kuandalkan. Kemana sandal biruku? Kutanya tiap orang yang melintas. Kuteliti tiap balik bebatuan. Berharap dia hanya menggodaku, hanya ingin membuat aku rindu. Sandal biru... sekarang aku yang jadi biru....
Perjalanan harus tetap dilanjutkan. Dengan dan tanpa sandal biruku. Aku patah hati. Tak ada niat ku untuk memakai sepatuku. Tawaran datang dari kawan untuk memakai sandal milik mereka. Sekedar untuk membuatku tak kesakitan menerobos jalan berbatu. Sekedar membuat langkaku lebih cepat dan mereka tidak usah menunggu. Sekedar menolongku untuk merasa lebih nyaman. Tidak. Aku tidak bisa, dan tidak menginginkan sandal lain. Kaki dan hatiku terlanjur menyatu dengan sandal biruku. Pilihanku jelas untuk tidak menggantikannya dengan yang lain. Baik di kaki maupun di hati. Sandal biruku yang terakhir. Aku tidak ingin menyelingkuhi kesetiaannya walau kini dia bukan lagi menjadi milikku. Menerima kenyataan untuk berjalan tanpa alas kaki adalah konsekwensi dari rasa yang aku pelihara. Merasakan tiap kerikil yang menyakitkan adalah bagian dari perjalanan ku pada akhirnya. Berkali aku meringis saat kerikil tajam menyisa perih di telapakku. Berkali aku terhenti karena sakit yang aku rasakan. Berkali aku meneriakkan tekadku untuk tidak tergoda dengan sebuah pengganti. Terus mendaki dalam perjalanan pulang. Tanpa alas kaki.
Tanah lapang pertama yang menyentuh kakiku sungguh menyejukkan. Empuk. Nyaman. Mengingatkan aku dengan sandal biruku yang nyaman.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.