Cahya Memasak

Cahya Memasak
Image by Engin Akyurt from Pixabay
"Selamat malaaam...," Cahya, teman serumahku, masuk dengan heboh.
 
Dia selalu begitu. Sering aku jadi kaget, seperti barusan. Untung, mug keramik berisi coklat hangat yang masih separo di tanganku tak terpental. Kupadangi tangannya yang sibuk dengan dua tas belanja besar yang sangat penuh.
 
"Perlu bantuan?" tanyaku asli basa-basi sambil lanjut menyeruput coklatku. Tetap duduk dengan dua kaki terangkat di kursi becak reproan yang kududuki.
 
"Alah...," jawabnya ringan sambil ngeloyor langsung ke dapur. Ransel kerjanya tetap melekat di punggungnya.
 
"Koq laat betul? Sudah buka, belum?" tanyaku gaya emak-emak bawel nggak penting.
 
"Bukber di kantor tadi, mamiiiih... Terus, buru-buru deh ngacir belanja buat masak besok," sahutnya.
 
Hehe...
 
Besok Sabtu. Rencananya, atau cita-citanya, Cahya mau masak buat makan malam kami sehabis buka. Tak tanggung-tanggung, ia mau masak dua lauk besar sekaligus. Ayam dan daging sapi, katanya.
 
Aku melongo sampai rahang bawahku jatuh ke lantai saat mendengar rencananya. Dibandingkan dengan aku yang masih bisa masak terong-kentang-telur balado, oseng pare, dan telur pindang; kepandaian dapur Cahya mentok di bikin indomi telur plus sayuran, dan mencampur dedaunan menjadi salad.
 
"Yakin lo?" tanyaku tak yakin.
 
"Yakin donk," jawabnya dengan penuh rasa yakin.
 
Kugaruk ubun-ubunku karena kehilangan kata-kata.
 
"Gue udah tanya-tanya ke internet dan orang yang paham masak koq. Jadi, pasti beres,” sambungnya dengan senyum penuh rahasia.
 
Terserahlah...
 
Itu pembicaraan di awal minggu ini. Kukira rencananya tinggal rencana, tapi ternyata hari ini dia belanja dengan serius.
 
“Kau mau masak apa? Opor ayam dan semur daging? Semurnya lebih seru kalau ditambahi kentang,” usulku yang tiba-tiba rindu dua masakan itu.
 
Cahya terkekeh. “Itu masakan nanti-nanti ya, buat lebaran aja. Kali ini aku mau bikin masakan sehat nih".
 
Gue harus share berapa?” tanyaku. Maksudku, share belanja buat masak-masaknya Cahya. Kebiasaan kami selalu begitu.
 
“Santai! Masak pertamaku adalah traktiranku. Selanjutnya, bolehlah kita hitung-hitungan,” jawabnya santai.
 
Baiklah.
 
Sabtu keesokan harinya, aku menenggelamkan diri di kamar. Baca buku sambil berbaring, diselingi tidur-tidur ayam sesekali. Sangat menikmati akhir minggu sambil berpuasa. Siang jelang sore kudengar Cahya mulai sibuk di dapur, dan, kalau mendengar kehebohan suaranya, sepertinya ia dibantu tiga asisten kaki empat kami: Telon si belang tiga, Tuxie si tuksedo  hitam-putih, dan Dusi si abu-abu gelap corak macan. Ya, kucing-kucing kami, siapa lagi?
 
Setelah tidur-bangun berkali-kali, sekitar jam 5 sore aku akhirnya keluar kamar dan mengintip dapur.
 
"Hoi, sleepy head!" tegur Cahya yang sedang memanaskan sambal bajak koleksi freezer kami.
 
"Ahoy, kapten!" jawabku. "Baunya enak banget. Perlu dibantu masak nasi?" aku ganti bertanya.
 
"Nggak usah, sudah aman!" sahutnya. "Habis ini aku tinggal campur selada Padang-nya aja koq," sahutnya santai.
 
Aku memonyongkan bibirku. Rasanya bersalah juga karena tak berkontribusi apapun. Baik tenaga maupun dana. Sepertinya, Cahya benar-benar ingin total dalam memasaknya. Kulirik situasi dapur, mencari kesempatan untuk membereskan perabot memasak yang telah selesai dipakai. Upaya terakhirku untuk berkontribusi dalam kitchen saga-nya Cahya.
 
Tak kusangka, dapur tampak rapih & bersih. Tak ada tumpukan perlatan masak kotor dan sejenisnya. Cahya memang resik, dan sepertinya saat memasak ia juga sangat rapih. Kalau aku, pasti jejaknya akan jelas ada di mana-mana meski hanya memasak oseng pare polos. Talenan di sini, cobek di sana. Bak cuci piring penuh segala rupa perabot kotor. Ceceran minyak atau cepretan air akan hadir di sana sini. Ah, hebat sekali kawanku yang satu ini! Kagum aku!
 
Aroma sambal bajak yang tengah dihangatkan di wajan meliuk sedap di hidungku. Aaah…, jadi lapar. Kuputuskan untuk menyiapkan minuman untuk kami buka sebentar lagi. Setidaknya, aku bisa berkontribusi di hal yang satu ini. Lemon-madu hangat untukku dan teh panas manis jambu untuk Cahya, yang segera kubawa ke meja makan. Kukeluarkan peralatan makan di bawah supervisi tak suka tiga kucing kami, yang tidurnya di meja makan terganggu oleh gerakku.
 
Lima menit sebelum bedug magrib, Cahya mengeluarkan masakannya dari dapur dan menatanya di meja makan. Masakan ayam berwarna putih dan daging berwarna coklat muda, salad atau selada Padang yang hijau dengan semburat merah irisan tomat di antara adukan kuning telurnya, dan, terakhir, sambal bajak yang menyembulkan ujung daun serai di tengah-rengah warna merah-jingganya. Dilengkapi dengan nasi tentunya, yang tumben bukan nasi merah kesukaan Cahya.
 
Kuamati khususnya dua masakan daging yang sudah siap di meja. Penasaran, dalam hati aku menduga-duga masakan bumbu apakah itu kiranya. Cahya yang melihatku tengah mengamati masakannya, segera mendekatiku.
 
"Ayam rebusnya memang agak hancur. Seharusnya, kalau ayam sudah dipotong-potong, bagian-bagian tertentu tak boleh direbus terlalu lama. Tapi, aku malas mengatur waktu sesuai dengan contekan cara merebus ayam potongan. Jadi, hajar saja deh," Cahya menjelaskan sambal tersenyum.
 
"Nggak masalah itu, hitung-hitung membantu usus menggiling lauk haha...," responku sambil tertawa.
 
Tiga anggauta pasukan kaki empat kami makin beringas akibat merebaknya aroma masakan daging di meja. Maka, sebelum menyantap masakan Cahya, aku beri mereka makan terlebih dahulu. Kami butuh ketenangan saat makan, jadi para tuan besar itu harus dikenyangkan terlebih dahulu.
 
“Yuk, makan,” ajak Cahya.
 
Dengan penuh semangat kami menyendok nasi dan lauk pauk ke piring kami masing-masing. Dengan semangat yang masih sama menggebunya, kusuapkan sesendok nasi dengan ayam rebusan ke mulutku.
 
Kunyah…, kunyah…, kunyah… Hmm… Eh…
 
Lidahku mencari-cari rasa apakah yang tengah kukecap ini. Ingin kubertanya sesuatu pada Cahya, tapi aku seperti kehilangan kata-kata. Kupandang teman serumahku itu. Kuamati bagaimana dua bola matanya bergerak-gerak seperti biasanya kalau ia tengah berpikir akan sesuatu yang sulit. Mulutnya bergerak tanda mengunyah, tapi dengan gerakan yang sangat perlahan
 
“Ini…,” kataku terputus.
 
Koq nggak ada rasa, ya…,” Cahya mengatakan yang hendak kuucapkan. 
 
Penasaran, aku ganti meraih sepotong masakan dagingnya. Uh, sama saja…
 
“Dagingnya juga nggak ada rasa,” kataku.
 
“Harus dimakan pakai sambal mungkin ya?” tanyanya pada dirinya sendiri.
 
Cahya mencocolkan secuil daging ayam ke sambal di piringnya, dan lalu mengunyahnya dengan serius.
 
“Coba deh pakai sambalnya. Rasa ayamnya jadi seperti ayam pop minus digoreng,” sahutnya sambal tersenyum miring.
 
Kuturuti sarannya. Tetap saja ada yang tak pas di semua ini. Sadar bahwa kadang Cahya sering sensitif dengan penilaian orang pada ketakmampuannya dalam memasak, sejatinya aku tak hendak bertanya apa-apa. Tapi, ini sudah tak tertahankan. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi sesungguhnya.
 
“Cahya, kamu masak apa sih sebenarnya? Pakai bumbu dan rempah apa?”
 
“Bumbu dan rempah. Apa bedanya sih antara keduanya?” Cahya malah baik bertanya.
 
“Bumbu itu tanaman aromatik seperti daun salam atau serai, lengkuas, cabai, dan lainnya; pokoknya yang sifatnya masih segar. Sedangkan rempah adalah yang kering-kering. Bisa berupa bebijian, akar-akaran, atau kulit kayu. Merica, pala, kayu manis termasuk sebagai rempah,” jelasku.
 
“Oooh…,” Cahya bereaksi bagai merasa tercerahkan.
 
“Lalu, bumbu dan rempah apa yang kamu pakai buat masak?”
 
“Kalau air, nggak termasuk sama sekali dalam bumbu atau rempah ya…,” sekali lagi ia balik bertanya.
 
“Bukanlah,” kataku sambil tertawa. “Eh…,” gantian aku yang tercerahkan.
 
“Aduh, jangan-jangan kamu cuma merebus tanpa bumbu apapun bahkan tanpa garam?” tanyaku sedikit panik—entah kenapa aku jadi panik.
 
“Hehe, ya gitu deh…”
 
Lah, koq bisa?” aku melongo.
 
“Menurut beberapa teman, daging ayam dan sapi itu kalau direbus begitu saja sudah ada rasanya koq. Manis-manis gimana, gitu katanya. Kalau diberi garam, rasanya bisa jadi gurih. Jadi, kuambil kesimpulan bahwa bila hanya direbus dengan air saja, tanpa tambahan apapun, pasti sudah enak donk. Kupercaya masakanku bisa jadi masakan daging dengan rasa aslinya. Pasti seru, begitu sih idenya,” Cahya menjelaskan panjang lebar sambil terus mengunyah.
 
Ya ampun, temanku yang satu ini deh
 
“Lalu, yang kau bilang sudah tanya-tanya dan pelajari baik lewat internet maupun teman-temanmu, apa donk?”
 
“Bagaimana cara merebus daging yang baik dan benar. Kan nggak gampang juga tuh…”
 
Kutepuk jidatku sambal tertawa.
 
“Kukira kau mempelajari cara bikin masakan apa keq, opor ayam atau semur daging keq. Bisa sekalian bikin buat lebaran kan tuh. Aku benar-benar kangen dua masakan itu, tahu!” kataku sambil ikut melanjutkan makan.
 
“Waduh, itu masakan berat, kakaaak…,” Cahya tergelak sambil menyendokkan selada Padang ke piringnya.
 
“Lalu, sisa dedagingan rebus yang tak sedikit ini, mau kita apakan? Kasih ke para meong aja ya?” usulku.
 
Tiba-tiba, aku merasa ngeri membayangkan selama beberapa hari ke depan harus menghabiskan rebusan daging cemplang itu.
 
“Eeeh…, jangan I!!! Kan bisa jadi campuran buat indomi, nasi goreng, telor dadar. Wah idenya endless lho kalau kita mau berpikir,” sergah Cahya sok tahu.
 
“Duh…,” aku mengeluh.
 
“Ayolah, kan kita kompak…,” Cahya membujuk.
 
“Pantas saja dapur tadi tak berantakan, tak terlihat ada yang kotor-kotor bekas memasak. Kukira karena kamu super resik. E ternyataaa…,” aku mendengus sebelum menuntaskan suapan terakhirku.   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.