Gemetar

Terinspirasi dari kisah nyata

Gemetar

 

“Aku suka portfolio kamu, coba ceritakan pengalaman kerja kamu!” Kata pria itu, mata birunya memandangku ramah, wajahnya tampan.
Semenjak pindah ke kota kecil ini, aku belum mendapat pekerjaaan yang sesuai dengan pendidikan.
Aku cuma kerja freelance aja, sambil mengurus anakku yang masih balita seharian.
Di saat interview seperti ini jadi agak memalukan
Kupandang sekeliling ruang interview itu, cukup luas, praktikal biasa aja tapi nyaman.
Sebuah lukisan besar terpasang di dinding di hadapanku.
Keringat dingin mulai datang.
Tanganku lemas mulai gemetaran.
Kutahan tanganku untuk menyembunyikan gemetarnya. Semoga tidak terlihat.
Bukan pertanyaannya yang membuatku gemetar.
Bukan pula karena wajah tampannya.
Tapi lukisan di dinding itu penyebabnya.
Lukisan itu indah secara estetika. Tapi baphomet objeknya.
Simbol karakter setan.
Apakah mereka membeli lukisan itu karena faktor keindahannya saja?
Apa mereka tidak tahu apa artinya?
Atau sengaja dibeli karena mereka anggota pemuja setan?
Aku sudah tahu bahwa di kota ini ada banyak aliran sesat.
Kalau bukan karena suamiku yang memaksa pindah ke kota ini, aku pasti tidak mau.
Kota ini kota kecil. Tidak banyak pilihan untuk pekerjaan di bidangku.
Jangankan pekerjaan yang sesuai pendidikan, pekerjaan apa saja juga susah dicari. Aku sudah menganggur cukup lama.
Kalau di kota besar, mungkin aku sudah kabur, tidak mau melanjutkan interview itu.
“Ini pengalamanku dulu.” kataku sambil menunjukkan daftar pengalaman kerja di resumeku.
“Sekarang hanya freelance aja, sambil jaga anak.” kataku.
“Kapan bisa mulai kerja?” tanyanya.
“Aku perlu memasukkan anakku ke daycare dulu, atau cari baby sitter. Setelah dapat penjaga anak, aku bisa segera masuk.” kataku, Untuk mengulur waktu sebentar untuk berpikir.
Apa harus kuambil pekerjaan ini? Tapi kalau nunggu lagi, entah kapan bisa dapat kerja lagi?


Mau tidak mau aku ambil pekerjaan itu. Ternyata boss-ku Pak Brian itu baik. Dan teman-teman sekerjanya juga cukup enak. Pekerjaannya mudah. Walau sering ada lembur juga. Tidak masalah buatku. Pekerjaanku yang dulu masih jauh lebih banyak lemburnya.
Aku mulai melupakan lukisan mengerikan di kantor boss ku itu. Sudah bekerja normal seperti biasa. Lokasinya cukup dekat dengan rumahku. Sehingga bisa jalan kaki ke sana.
Kadang kalau agak telat, aku naik sepeda.
Sepanjang jalan, karena jalanan sepi tidak ada orang, aku sering bernyanyi sendiri.
Bukan sok bersuara merdu, karena suaraku fals dan tidak hobi nyanyi sebetulnya.
Tapi karena takut. Di sepanjang jalan aku melewati beberapa rumah dengan dekorasi seram. Dengan patung-patung berhala dan simbol-simbol pemujaan setan. Kadang aku berpapasan dengan pemilik rumah yang menyapa aku dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh.
Ramah tapi menakutkan. Tak jarang juga ada yang mau merekrut aku ikut masuk sekte agama mereka.
Jadi aku suka nyanyi lagu rohani untuk meredam ketakutanku sepanjang jalan.


“Ini Dewi taman aku!” kata seorang ibu ramah sambil menunjukkan patung dewi di tamannya.
Rupanya dia tahu aku memandangi patung itu.
“Ini dewi pembawa rejeki, kalau kamu berdoa ke Dewi ini kamu bisa kaya!” katanya.
“Sini mampir ke rumahku!” ajaknya.
“Makasih bu, aku lagi buru-buru mau pergi kerja!”
“Pulangnya mampir ya?” katanya.
“Kapan-kapan deh!” kataku.

“Lihat kucing ini kakinya berjari 6. Sama seperti jariku!” kata seorang bapak yang aku lewati halamannya.
“Jari enam itu special, kita punya kesaktian karena jari 6 ini, Kalau di bulan purnama, kemampuan kita bisa semakin hebat! Kita bisa berubah wujud! Kalau kamu mau belajar, bisa aku ajarin.” katanya bangga.
Aku menyesal sudah stop sebentar bermain-main dengan kucing orang.
Kulihat keenam jari bapak itu. Ia tersenyum ramah.
Tapi aku malah ketakutan.
“Ayo masuk!”
“Makasih pak, aku buru-buru mau pergi kerja!” kataku.
“Kapan-kapan mampir ya, jangan takut!” katanya.
Aku mempercepat langkahku.
 

“Ayo Shieni, ikut ke gereja aku” kata seorang ibu lain di hari lain.
“Gereja apa namanya bu?” kataku.
Dia menyebutkan nama gerejanya. Itu bukan gereja biasa. Tapi gereja pemuja berhala.
“Makasih bu, aduh itu jauh sekali lokasinya. Aku nggak bisa nyetir Bu.” kataku beralasan.
“Nggak usah khawatir, nanti aku jemput.” katanya.
“Nggak usah merepotkan, terima kasih. Ada gereja lain di dekat rumahku.Aku ke situ aja.” kataku.
Untung aku tanya dulu. Beberapa bulan sebelumnya ada ibu lain yang mengajakku ke gereja. Dengan lugunya aku mau aja. Ternyata setelah sampai di sana, itu bukan gereja biasa. Tapi gereja sesat. Sudah gitu kebaktiannya lama, bukan sejam seperti biasa tapi seharian.
Mana waktu itu aku ikut menumpang di mobil temanku itu. Jadi tidak bisa pulang sendiri karena tidak ada kendaraan umum. Untunglah aku bisa cari alasan untuk pulang lebih cepat. Ada seorang membernya yang kebetulan harus pergi membeli sesuatu ke pusat kota, jadi aku nebeng ke sana. Dari pusat kota sudah dekat jalan kaki ke rumahku.

 

Kadang ada teman yang membawakan sejumlah makanan lezat ke rumahku.
Karena aku ini foodie, aku senang sekali.
“Ini buat kamu, aku buat kebanyakan, bekas sesembahan dari sembahyah untuk dewa Pohon cemara.” katanya.
“Makasih, nggak usah, aku udah banyak makanan di rumah.” kataku berusaha menolak.
“Ayo ambil aja, bisa kamu bekukan untuk hari lain” katanya.
Aku jadi takut. Setelah dia pulang, terpaksa kubuang makanan itu. Maaf aja, aku takut makan makanan bekas sembahyang begituan.


“Nggak usah di kunci sepedanya, jangan takut, nggak akan ada yang mencuri di sini!” kata Tony, teman sekantorku. Dia bekerja di bagian percetakan, di ruangan yang berbeda. Aku di creative.
“Aku ngga pernah kunci sepeda, udah sepuluh tahun kerja di sini, nggak pernah ada yang mencuri sepedaku.” kata Tony tersenyum, sambil menyibakkan rambut pirangnya yang ikal.
Ganteng amat sih Tony, pikirku.
“Sepeda kamu tinggi amat?” tanyaku.
“Kan orangnya juga tinggi!, jadi aku modifikasi sendiri biar sesuai tinggiku.” katanya tersenyum.
Kalau bukan tinggal di kota kecil begini, Setinggi itu mungkin dia bisa jadi model atau minimal bintang film dengan modal wajah gantengnya.

Aku tahu kota kecil begini aman. Orang di sini juga tidak suka mengunci rumah.
Tapi aku sudah kebiasaan suka mengunci. Rasanya nggak enak kalau tidak mengunci rumah atau kendaraan.
Kadang aku suka bertengkar dengan suami karena soal kunci rumah.
“Lama amat buka pintunya, Ngapain sih rumah dikunci-kunci?” gerutu suamiku. 
“Sorry, aku lagi di kamar mandi tadi!” kataku.
“Kamu kenapa nggak bawa kunci rumah?” tanyaku.
“Nggak usah dikunci, dibuka aja! Biar praktis, kalau sampe rumah udah langsung masuk, nggak usah nyari kunci lagi, nggak usah nunggu kamu bukain!” katanya.
“Kalau aku pergi gimana?” kataku.
“Ya makanya nggak usah dikunci, biar kamu pergi kan aku bisa tetap masuk!” kata suamiku.
“Kalau rumah kosong nggak dikunci kan bahaya, ntar ada maling masuk!”
“Nggak ada maling di sini!, emangnya di Jakarta?”
Tapi tetap aja tiap hari kukunci lagi rumah kami.
Memang kriminalitas rendah di sini, nyaris nggak ada kalau di kota kecil seperti ini.
Kalaupun ada, biasanya cuma anak muda yang bandel aja.
Kalau  ada yang masuk rumah orang, bukan mencuri uang atau barang penting. Paling ngambil bir. Karena kalau beli bir harus pake kartu identitas, yang dibawah umur tidak boleh beli.
Itu pun jarang sekali. belum tentu lima tahun sekali.
Kalau summer, di malam hari suamiku akan membuka semua pintu dan jendela untuk mendinginkan rumah. Jadi hemat tidak pakai AC. Tapi aku tidak tenang tidur dengan pintu terbuka. Kalau suamiku sudah pulas, aku tutup pintu dan dikunci lagi.


Memang tidak ada kriminalitas di kota itu.
Tapi yang aku takutkan adalah hal lain. Karena sangat banyak pemujaan berhala.
Suatu hari suamiku pulang membawa hadiah dari temannya. 1 furniture dan 1 patung.
Ternyata itu patung baphomet dan furniture itu lemari berbentuk segitiga dengan dekorasi simbol-simbol satanist. Aku langsung merinding.
“Jangan pajang itu, itu simbol setan!” kataku.
Suamiku tertawa.
“Ah jangan percaya tahayul” katanya.
Aku berusaha meyakinkan dia, tapi tidak berhasil.
Sejak ada patung Baphomet itu, suamiku jadi lebih sering marah. Kita jadi sering bertengkar.
Terpaksa kupikirkan jalan lain. Aku doakan benda-benda itu agar efeknya semoga hilang, minimal berkurang lah. Lalu kupindahkan sedikit demi sedikit setiap harinya, hingga hilang dari pandangan suamiku. Rencananya suatu saat kalau dia sudah lupa, akan kujual barang-barang itu. Atau kubuang saja.


Salah seorang tetanggaku yang ikut aliran tertentu, memiliki banyak anak. Tiap tahun lahir anak satu. Tapi banyak anaknya yang meninggal tanpa sebab yang jelas. Membuatku takut dan bertanya-tanya sendiri.
Banyak cerita aneh-aneh yang tidak bisa kuceritakan satu-persatu.

Sering aku diundang acara kumpul-kumpul. Bilangnya makan-makan biasa. Ternyata ada doa bersama, Aku mau direkrut. Makanya lama-lama aku nyaris jadi antisosial. Takut kenalan dengan teman baru padahal mereka semua ramah. Apalagi ada anggota keluarga iparku yang juga ikut sekte sesat.
Jadi serba salah.
Di kota ini, Mereka terdiri dari berbagai aliran juga.
Ada yang menyembah pohon tertentu. Ada yang menyembah binatang tertentu. Menyembah matahari, bulan. Yang banyak adalah yang menyembah setan. Tapi jenis setannya beda-beda. Kadang-kadang mereka juga mengadakan festival secara terbuka.
Rasanya seperti halloween tiap hari.
Nggak betah banget, ingin cepat-cepat pindah.


Yang aku takutkan sebetulnya adalah jika kantor tempatku bekerja ternyata ikut aliran sesat, itu bisa berbahaya. Karena mereka bisa meminta korban jiwa. Sudah jadi rahasia umum bahwa perusahaan yang memuja setan biasanya meminta korban dari salah satu karyawannya.
Karena itu aku suka was-was. Mudah-mudahan sih bukan, tapi aku harus waspada.
 

“Pak Brian mengundurkan diri!” kata teman sekerjaku beberapa bulan kemudian.
“Hah? kok bisa?” tanyaku.
“Nggak tau tuh, kita juga heran.”
Ternyata boss-ku tiba-tiba berhenti tanpa sebab yang pasti.
Kita tidak tau siapa penggantinya. Apakah akan sebaik pak Brian atau tidak.
Aku sudah bekerja di banyak tempat. Mencari pimpinan yang baik tidak mudah.
Pak Brian ini sangat rendah hati dan menghargai semua bawahannya. Tidak pernah marah.
Kalau ada persoalan pasti ditangani dengan tenang dan tetap menjaga perasaan kami.

 

“Lisa meninggal!” kata seorang temanku mengumumkan pada semua orang di kantor.
“Lisa siapa?” tanyaku.
“Lisa dulu pegawai di sini, tapi berhenti karena sakit.” Kata rekan kerjaku.

 

Malam itu aku lembur berdua dengan creative lain.
Tapi dia pulang duluan, aku pulang lebih malam.
Saat aku sedang sibuk kerja, ada suara-suara berisik dari belakang.
Aku tahu tidak ada yang kerja malam. Cuma aku sendiri. Ah mungkin tikus. Pikirku. Walaupun aku tidak pernah terlihat tikus selama tinggal di sini.
Aku meneruskan bekerja.
Karena masih berisik, aku masuk ke ruangan printing di belakang.
Kulihat Tony sedang bekerja sendirian.
“Kamu lembur juga Ton?” tanyaku.
Tony memandangku dan tersenyum. Tapi tidak menjawab.
Tumben cuek, pikirku.
Biasanya Tony ramah, aku sering menanyakan hal-hal tentang percetakan.
Karena aku dulu pernah punya cita-cita suatu hari ingin punya percetakan sendiri.
Mau bikin aneka souvenir dan printing kaos yang kudesign sendiri.
Juga karena Tony ganteng, jadi betah ngobrol lama-lama dengan dia.
Mungkin dia sedang sibuk, tidak mau diganggu, pikirku.
Aku segera kembali ke ruanganku di depan. Meneruskan kerja.

 

“Tony meninggal!” kata temanku esok harinya.
“Hah? Meninggal kenapa? Kemarin kan masih sehat?” tanyaku.
“Sakit jantung katanya.” 
“Masih muda begitu, kasihan amat sudah meninggal”
“Jam berapa meninggalnya kemarin?” 
“Sore, sepulang kerja, saat mandi sore.” 
“Sore? Tapi aku lihat dia semalam di sini?” kataku.
“Ah ngaco kamu, dia nggak lembur semalam! Dia nggak pernah lembur!” kata temanku.
Jadi yang kulihat semalam itu siapa?

 

“Aku juga dulu cerai gara-gara dia!” kata Lia, teman segerejaku, saat aku mengeluhkan perselingkuhan suamiku dengan teman dekat kami.
Lia lalu menceritakan kisah kegagalan rumah tangganya.
“Dia itu suka komunikasi dengan arwah. Dia pasang aji pemikat agar semua laki-laki terpikat. Padahal kita yang wanita melihatnya jelek. Tapi laki-laki melihatnya sexy!” kata Lia.
“Kok kamu tau?” tanyaku.
“Dia yang ngomong sendiri, dia dulu ngajakin aku pake pelet. Tapi aku nggak mau, Kan aku takut dosa. Buat apa dianggap cantik tapi kita masuk neraka!” kata Lia.
“Padahal dia udah punya suami yang baik, buat apa sih dia suka menggoda suami orang?” kataku.
“Iya memang dia sifatnya begitu, tidak puas punya suami satu. Banyak laki-laki yang keluar masuk rumahnya.” kata Lia.
“Suaminya nggak tau?” tanyaku.
“Suaminya sudah dipelet, nurut aja diapain juga!” kata Lia.
“Kalau dia komunikasi dengan arwah sih aku tau, dia yang bilang sendiri ke aku juga. Dia pintar meramal katanya. Tapi aku nggak mau diramal, dipaksa-paksa mau diramal.” kataku.
“Kamu liat banyak patung-patung  dirumahnya kan?” tanya Lia.
“Aku kira itu cuma sekedar dekorasi aja.” kataku.
“Bukan, itu sesembahan dia!” kata Lia.


“Aku mau pindah ke kota lain. Suamiku masih tetap selingkuh sama temanku. Nggak merasa bersalah.” kataku.
“Aku setuju Shieni, memang sebaiknya cerai saja!” kata Maria teman sekantorku
“Aneh ya, dulu creative yang duduk di bangku kamu juga pindah  ke kota lain, gara-gara suaminya selingkuh sama teman dekatnya. Kok kamu bisa mengalami hal yang persis sama ya? Sekarang kamu yang mau pindah  ke kota lain!” kata Maria.
“Wanita itu pasti anggota sekte aneh-aneh itu ya?” tanya Maria.
“Iya, awalnya aku nggak tau, tapi setelah tahu, aku nggak mau membeda-bedakan orang. Dulu aku pikir dia juga sudah menikah kan.” kataku.
“Sudah menikah bukan jaminan dia nggak bisa selingkuh dengan suami kita!” kata Maria.
“Kota ini memang bahaya. Suami aku itu Kristen yang sangat taat. Tapi di sini dia juga sudah mulai tergoda wanita lain!, Aku juga lagi berpikir untuk pindah” kata Maria.

 

Karena masalah dalam rumah tanggaku, setahun kemudian aku pindah ke kota lain.
Tapi dari kabar temanku yang masih tinggal di kota itu. Satu persatu karyawan di sana menghilang karena berbagai alasan. Hingga saat ini, tinggal satu karyawan yang masih bekerja di sana, Selebihnya karyawan baru semua.
Masih tidak jelas apakah ada hubungannya, antara lukisan baphomet dan situasi karyawan di situ.
Apakah hanya kebetulan saja karyawan di sana terus berganti, walaupun sebetulnya suasananya bagus, tidak ada perselisihan di antara karyawan ataupun pimpinan. Dan kenapa juga banyak yang meninggal? Apakah karena kebetulan, atau ada sebab lain?
Apakah persamaan nasibku dengan creative yang kugantikan, yang diselingkuhi suami kami, ada hubungannya dengan lukisan baphomet itu?
Entahlah. Yang jelas aku lega sudah pindah dari kota itu.

 

 

Catatan: 
Semua nama diganti nama samaran.

Ada hal yang menarik, Setelah aku pindah ke kota lain. Pekerjaaan pertamaku adalah di perusahaan yang sama dengan creative lain yang dulu kugantikan.
Walaupun kami pindah ke kota yang berbeda.
Dan pekerjaannya juga berbeda dengan pekerjaan sebelumnya.
Aneh banget kami mengalami nasib yang persis sama. Hanya karena pernah duduk di bangku yang sama?


 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.