Halo Nina apa kabar? Sudah lebih tiga bulan berlalu sejak sayapku tumbuh. Nggak terasa ya. Apa kabar kamu dan adik-adik semua?
Pasti kamu masih sering diam-diam nangis ya. Masih sedih ya. Aku tahu loh, aku bisa dengar loh. Aku juga sering dengar kamu nyanyi-nyanyi lagu sumbang yang kamu ciptakan untukku. Sebel! Kesal dengarnya! Beberapa kali aku hampir menyahut untuk protes. Tapi, senior-seniorku di sini berkata bahwa sebaiknya itu tak kulakukan.
"Pasti si Nina-mu itu akan ketakutan kalau ia mendengar suaramu," kata salah satu dari mereka.
Aku jadi ingat kamu pernah cerita tentang buku horor karangan Stephen King, Pet Sematary. Kamu pasti bakal merasa serem seperti itu lho kalau aku mengirimkan respon dengan suara. Kadang, tergoda juga sih buat menjahilimu, agar rasa tak nyamanmu saat baca buku itu muncul lagi hahahaha…
Ya sudahlah. Dunia kita sekarang memang sudah berbeda. Duniaku ini, yang kalian para manusia sebut sebagai Jembatan Pelangi, adalah tempat yang damai. Tempat kami, para peliharaan manusia yang telah meninggal ini, adalah tempat yang sangat istimewa. Makanannya enak-enak, tapi tanpa makan kami pun tak mengapa. Takkan mati kelaparan—ah, kan kami memang sudah mati.
Kesibukan kami di sini sangat tinggi. Kami selalu main bersama-sama. Berlari-larian, berkejar-kejaran. Kalau jatuh, tak mengapa. Meski dari bukit yang tinggi sekalipun, aman saja. Kan sekarang kami punya sayap. Kalau di dunia manusia nyawa kami ada 9, di sini tak terbatas. Tak satupun dari kami bisa sakit di sini. Asyik, kan!?
Tapi, bukan berarti tak ada kesedihan sama sekali. Karena, ada tali yang kami bawa yang sulit putus. Utasan tali yang menghubungkan dunia tempatmu berada dengan dunia kami. Tepatnya, tali yang menghubungkan hati para manusia dengan peliharaannya yang sudah pindah ke Jembatan Pelangi ini.
Biasanya yang sering merasa sedih adalah anak-anak baru. Dengan berbagai sebab. Ada yang sedih karena rindu pada para manusianya. Banyak juga yang membawa sampai ke Jembatan Pelangi, kesedihan yang mereka alami saat hidup di dunia manusia. Mereka terus merasa sedih karena mereka meninggalkan dunia manusia dengan diliputi rasa kesepian, kesakitan, dan kesedihan. Penuh dengan penderitaan. Mereka yang mati sia-sia di pinggir jalan, di pojok pasar, di tempat-tempat di mana tak ada yang memperhatikan dan tanpa ada yang melimpahkan kasih sayang pada mereka.
Mereka itu ada yang mati akibat tabrak lari, sakit karena tak punya tempat berlindung yang aman, atau sebab kelaparan. Usia mereka yang tak beruntung ini bermacam-macam. Ada yang sudah dewasa, tapi ada juga yang bahkan masih belum melek matanya. Dibuang oleh manusia bahkan saat ari-ari mereka belum pun kering. Sedih...
Tapi, setelah di sini tentu saja mereka mendapatkan limpahan kasih yang luar biasa. Maka, kurasa mereka akan dengan cepat melupakan saat-saat sedih itu—kuyakini begitu.
Yang lebih lama menanggung kesedihan sepertinya adalah mereka yang rindu pada manusianya. Rindu kepada manusia yang mengasihi mereka dengan sepenuh hati, saat mereka masih hidup di dunia. Kadang mereka menangis sendirian saja, atau dengan saudara-saudaranya. Bersama-sama melepaskan rasa rindu dengan air mata.
Tadi aku berkata bahwa aku tahu kamu menyanyi, kan? Nah, sebabnya adalah karena aku bisa mendengarmu. Demikian pula dengan mereka yang menangis karena rindu pada manusianya. Karena mereka bisa mendengar ratapan para manusianya. Meskipun ratapan itu berada di dasar hati dan keluar dalam diam tanpa suara, yang justru malah bergaung lebih keras dalam hati anak-anak di sini.
Di taman bunga yang harum dengan bau rumput di Jembatan Pelangi ini, aku kerap melihat tiga anak yang menangis bersama. Bulu mereka jahe semua, kuning-jingga. Mereka adalah Bebe, Bubu, dan Bobo. Wah, aku nggak tau deh yang mana yang siapa. Mirip semua. Jadi, kalau aku memanggil mereka, kusebut semua namanya saja sekalian.
"Bebe Bubu Bobo!!!" Begitu. Tiga-tiganya akan datang lari terpontal-pontal menghampiriku. Atau, terbang ngepot-ngepot. Bukan karena mereka tak pandai mengendalikan sayapnya, tapi karena mereka suka iseng begitu. Biasa kan, anak kucing pun namanya.
Mereka bertiga seumuran. Masih anak-anak, baru berusia beberapa bulan. Kurang dari setahun lah. Mereka tiba di Jembatan Pelangi tak sekaligus, tapi satu per satu. Entah siapa yang duluan, aku hanya tahu yang bernama Bobo yang datang paling belakang. Dan, yang mana Bobo aku belum hafal juga sih.
Waktu berada di dunia manusia, mereka sejatinya berempat. Satu lagi namanya Bibi, masih hidup di dunia manusia. Mereka berempat itu dibuang orang, dan berakhir di depan satu rumah mungil yang asri. Keluarga kecil di rumah tersebut menyambut empat bersaudara itu dengan tangan terbuka nan hangat. Sepertinya mereka berakhir di rumah keluarga itu tanpa sengaja. Kebetulan saja. Namun, sebenarnya semua itu adalah arahan semesta. Semesta lah yang membimbing empat anak itu ke sana.
Kehidupan bagi empat anak jahe di rumah mungil itupun segera berlangsung dengan riang gembira.
"Kami ini adalah anak-anaknya Papajay yang bahagia," cerita salah satu Bebe Bubu Bobo bangga.
"Yang bahagia siapa? Papajay atau kalian?" kutanya menggoda.
"Semua bahagia!!! Papajay dan kami!!!" tiga-tiganya berseru.
"Keluarganya Papajay bagaimana? Bahagia tidak?" aku lanjutkan godaannku.
"Aaaah, Paman Kamoy gimana sihhhhh!!! Kami ini kan keluarganya Papajay!!! Uuuhhh!!!" lagi-lagi ketiganya berseru menyergah bersama.
"Iya!!! Iya!!! Paman tahu koq hahaha…," aku terbahak.
Bagaimana mereka tak bahagia, coba? Mendapat kehangatan rumah, diberi nama, ada tempat berteduh, selalu kenyang, bebas bermain, mendapat kasih sayang. Empat anak itu merasa bersyukur, dan keempatnya sepakat untuk selalu memberi kebahagiaan pada Papajay dan seisi rumah yang hangat itu.
"Itu tekad kami, paman!" kata Bebe Bubu Bobo dengan mantap.
Sayang, malang tak dapat dihindar. Sebagaimana yang kamu tahu, Nina, bayi-bayi kucing yang belum waktunya disapih tapi telah direnggut dari ibunya, sangatlah rentan kesehatannya. Sangat lemah. Mereka bisa menjadi anak kucing yang sakit-sakitan dan lalu mati. Atau, seperti yang juga kamu alami berulang dengan anak-anak pungutanmu, pagi hari mereka masih lincah bermain, sorenya tergeletak tak bernyawa.
Itulah yang terjadi pada Bobo, anak yang terakhir pergi. Menyusul Bebe dan Bubu yang satu persatu berangkat duluan. Bagaimana sedihnya hati Mamajay yang menemukan Bobo sudah tergeletak kaku, pasti kau pahami kan, Nina? Hancur rasanya.
Bebe, Bubu, dan Bobo tiap hari menangis di Jembatan Pelangi bukan karena mereka tak bahagia. Tetapi, karena mereka mendengar kesedihan hati Papajay dan keluarga. Mereka menyesal bahwa mereka tak sempat membalas kebaikan hati keluarga Papajay. Yang dapat mereka lakukan adalah berdoa bahwa Bibi yang masih ada di dunia bisa hidup lama dengan sehat. Agar menjadi wakil mereka dalam membalas kebaikan hati keluarga itu.
Satu hal yang tiga anak itu syukuri adalah, bahwa sebelum kematian menjemput mereka tahu bahwa mereka disayang dan dicinta. Bahwa mereka tak hidup merana di jalan, tak mati dengan sia-sia. Karenanya, mereka sangat berterima kasih dan bersyukur.
Harapan mereka, Papajay dan keluarga di dunia manusia tak terlalu bersedih hati lagi. Akan lebih menyenangkan untuk mengenang kebahagiaan yang pernah ada. Harapan mereka juga, bahwa Papajay dan keluarga masih mau membuka rumah dan hati untuk anak-anak kucing terlantar lainnya, yang bernasib seperti mereka.
Karena, masih terlalu banyak manusia tak bertanggung jawab yang suka membuang anak-anak kucing lucu. Tanpa sadar bahwa yang dibuang bagai sampah itu adalah mahluk-mahluk bernyawa. Bukan benda mati. =^.^=