Penyesalan
Seorang Ayah yang mengambil pilihan salah dan ketika saatnya telah tiba hanya ada penyeselan

Walaupun tidak punya harta berlimpah, keluarga saya adalah keluarga yang paling bahagia. Saya Ayah yang pekerja keras, adapula Istri saya yang penyabar, dan tiga anak malaikat yang membawa senyum kehidup saya.
"Ayah! Peluk"
Teriak anak perempuan saya sambil berlari menuju saya.
Setiap hari sepulang kerja anak saya yang paling kecil selalu menyambut dan meminta peluk, umurnya saat itu masih 5 tahun, gemas dan cantik seperti ibunya, lalu ada pula anak perempuan saya yang pertama berumur 18 tahun dan anak laki-laki saya berumur 12 tahun yang pastinya tampan seperti saya hehehe....
Saat-saat pulang ke rumah menjadi hari yang saya tunggu setiap waktunya. Bagaimana tidak? Penak lelah sehabis berkerja hilang rasanya sepulang ke rumah, hilang letih melihat mereka yang tertawa bahagia.
Sebagai saya yang hanya buruh bangunan, gaji saya memang tidak seberapa. Ada kalanya saya ingin sekali membelikan barang-barang yang anak dan istri saya inginkan.
"Kalau Saya kaya mau emas, mobil, atau rumah pasti BELI!"
*PLAK!!
"Aduh...!" Jerit saya
"Kapan mau kayanya situ ngigo terus! ayok jam istirahat udah selesai, bantu aku bawa pasir!" kata salah satu teman kerjaku Joko
Aku terbangun dan kembali berkerja membantu Joko mengangkut pasir.
"Kalau ingin kaya kamu tabung itu uang, jangan dibuat foya-foya" lanjut Joko menyaut
"Pandailah kau ngomong Jo! aku buat bayar uang sekolah anak saja susah, apalagi foya-foya" kata saya dengan nada kesal
"Justru itu, harus ditabung dari sekarang. Nanti kalau ada apa-apa istri kamu gak repot" Kembali Joko menasehati saya
"Waduh, kayaknya belum bisa nih. . . Pengeluaran banyak banget Jo, pasti kepakai terus uangnya" Saya kembali menjawab.
"Terserah kamu, aku kasih saran saja" setelah itu akhirnya Joko tidak berbicara apa-apa lagi.
Kamipun lanjut berkerja hingga larut malam, jarum jam sudah menunjuk pukul 11 malam tokopun sudah sunyi dan hanya saya sendiri yang masih berkerja. Larut juga saya pikir, pasti anak-anak sudah tidur pikir saya. Kali ini saya disambut pulang oleh istri saya yang menunggu di depan teras.
"Malam juga Ayah pulang, lagi banyak kerjaan?" Istriku bertanya
"Iya Ayah lagi banyak kerjaan dari Boss, ada apa? Tumben nungguin Ayah . . . Gak langsung tidur saja?" Tanya balik Saya
Sambil memasang raut cemas istriku bicara "Gini . . . Sebenarnya aku mau tanya ke Ayah gimana nantinya, Si Kecil sudah umur 5 tahun. Sebentar lagi masuk sekolah dan pengeluaran makin bertambah. Apa Ibu kerja saja?"
"Tidak usah bu, ayah bisa. Jangan terlalu dipikirkan, sudah ayah mau langsung tidur" bergegas saya mengganti pakaian dan pergi ke kamar.
Malam itu saya tidak bisa tertidur karena kepala saya sakit sekali, mungkin karena stress memikirkan biaya sekolah anak-anak dan kerjaan yang menumpuk membuat saya sakit kepala.
Tapi tidak seperti biasanya kepala saya terasa sangat sakit sekali, memang saya sering sakit kepala. Tapi malam ini rasanya sakit sekali, kepala mau pecah rasanya! Beranjaklah saya dari kasur untuk mengambil obat. Berat sekali langkah kaki ini, mata juga terasa kabur. Lama kelamaan berat mata saya dan sayapun pingsan
Mata membuka dan saya sudah berada di UGD, dari kejauhan terdengar suara tangisan istri dan anak-anak saya.
Tumor
Tumor katanya.. . .
Ada di tengah otak dan tidak memungkinkan untuk diangkat kata sang dokter.
Biaya operasi untuk penyakit ini bisa mencapai hingga puluhan juta dan kemungkinan berhasil hanya 40%, keputusan operasi harus dilaksanakan sekarang jika tidak . . . Kemungkinan terburuk saya tidak ada lagi.
Mendengar itu langsung berfikir saya,
Tak pernah terfikir sedikitpun oleh saya hari ini akan datang, banyak sekali pertanyaan membenak di hati saya. Bagaimana keadaan keluarga saya nanti? bila saya melakukan operasi kemungkinan hidup hanya sedikit, bagaimana dengan biayanya?
Perlahan-lahan air matapun mengalir, berfikir saya tidak lagi akan bisa memeluk anak saya. Tidak bisa melihat senyuman mereka lagi. Tidak bisa ada disamping mereka saat susah, sedih, maupun bahagia. . . Saya tidak ingin menjadi beban bagi mereka jadi
"Sudah . . . relakan saya . . ."
Menangislah istri saya mendengar kata itu terucap, saya juga tidak sanggup memikirkan istri saya bila harus berjuang mencari pinjaman untuk biaya pengobatan. Maaf seribu maaf, Saya sebagai Ayah belum bisa meninggalkan harta apapun untuk kalian. Maaf . . .
Seandainya masih ada waktu, ingin rasanya kembali ke masa lalu. Sedikit demi sedikit menabung untuk masa depan yang tidak terlihat. Anak dan istri saya pasti bisa hidup dengan tenang, semua biaya hidup teratasi. Mungkin andai hari itu saya memilih pilihan lain, mungkin hari ini saya bisa pergi tanpa adanya
Penyesalan . . .
Tidak ada yang menyangka, kapan dan waktunya seseorang akan pergi dari dunia ini. Pergi dan meninggalkan orang yang kita kasihi merupakan hal terberat, tapi lebih berat lagi bagi mereka yang ditinggalkan. Coba bayangkan anak atau saudara anda, atau mungkin ibu dan ayah yang sudah tua, di saat anda yang seharusnya memberikan nafkah kepada mereka. Anda tidak lagi bisa.
Lalu bagaimana nasib keluarga anda? Apa yang akan terjadi tanpa anda yang setiap hari menjadi tulang punggung keluarga, saat itu telah terjadi menyesalpun sudah terlambat.
Menabung memang sulit, pengeluaran ini dan itu, tunggu ada uangnya dulu, saya masih sehat, dan banyak alasan lainnya untuk anda tidak menabung. Tetapi mau sampai kapan anda beralasan seperti itu? karena Tuhan tidak menunggu untuk berkehendak.
Sekarang apakah anda sudah siap?
Tabung sekarang di email [email protected]
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.