Angka Tujuh

Papa, tulisan ini untukmu.

Angka Tujuh

“PLAAAAK!!”

Raporku melayang dilempar oleh Papa dan mendarat di lantai, tepat di depan kakiku.

“Papa nggak mau tanda tangan. Apa ini? Nilai kok bendera!"

Bendera maksudnya angka tujuh. Entah kenapa Papa menyebutnya seperti itu. Aku berdiri mematung, tidak tahu harus berbuat apa, menyembunyikan telapak tanganku yang basah oleh keringat dan jari-jariku yang sedari tadi memainkan kuku jempol dan telunjuk, membuat bunyi ‘ctek-ctek-ctek’. 

“Ini pasti karena kamu kebanyakan ikut ekskul deh. Sekarang kamu ikut ekskul apa aja?”

“Mm, paduan suara, seni musik, seni rupa, klub menulis,...”

“Stop. Dari semua itu, pilih salah satu.”

“Tapi, Pa…” aku bahkan belum sempat bilang kalau aku belakangan ini diam-diam jadi vokalis band kecil-kecilan di sekolah dan mulai tertarik belajar main basket bareng sahabatku, Aulia.

“PILIH. SALAH. SATU.”

“Aku suka semuanya, Pa. Lukisanku di klub seni rupa belum selesai. Dan Papa tau kan dua bulan lagi aku ada konser ensemble di…”

“PUTRI. Semua hal ada konsekuensinya. Kamu kurang waktu belajar karena terlalu banyak aktivitas tetek-bengek yang gak akan bawa kamu ke mana-mana di masa depan. Ini konsekuensi yang harus kamu ambil. Apa perlu Papa yang bilang sama wali kelas kamu?”

“Pa… Please…,” aku mulai menangis.

Mataku melirik ke arah Mama yang hanya terdiam di kursi, tak berbuat apa-apa. Papa meninggalkan kami di ruang tengah lalu masuk ke dalam kamar. Aku meraih raporku yang ujung sampulnya terlipat nyaris robek. Air mataku bercucuran.

...

Keesokan harinya, Pak Agus, pembina paduan suara, mengajakku bicara seusai latihan. 

“Kemarin ayah kamu telepon Bapak," ia membuka percakapan.

Jantungku seolah berhenti. Ternyata Papa tidak main-main. 

“Kamu serius mau keluar dari paduan suara, Put? Bapak sedih sekali. Kamu kan solo vokalis kita...”

Aku cuma menunduk terdiam.

“Apa ada yang bisa Bapak bantu lakukan supaya kamu tetap bisa menyanyi di konser kita nanti?”

“Ada Pak. Coba Bapak gantiin posisi jadi Papa saya. Mungkin saya bisa melakukan apa aja yang saya mau,” ingin rasanya aku berkata seperti itu. Tapi nggak mungkin kan? Bisa-bisa heboh satu sekolah nanti.

Akhirnya aku cuma terdiam lagi. Seperti ada bola besar yang tidak bisa keluar dari kerongkonganku. Di tempat latihan paduan suara ini, di mana aku biasanya bisa berteriak sekencangnya melepaskan isi hatiku, ternyata ada juga masa di mana aku membisu. Sepertinya baru kali ini. 

“Kalau ada yang Bapak bisa lakukan untuk kamu, jangan sungkan untuk bilang ya, Put. Kamu itu kebanggaan sekolah kita. Semua orang tau kalau kita bisa menang festival kemarin gara-gara kamu...”

“Nggak, Pak. Nggak semua orang,” kataku lagi, masih dalam hati.

...

Akhirnya, dengan berat hati, aku harus meninggalkan semua kegiatan ekstrakurikulerku. Semua hal yang benar-benar kucintai. Menyanyi, menulis puisi, melukis, bermain musik. Termasuk meninggalkan band kecil-kecilan yang umurnya baru dua bulan itu. Aku juga selalu menolak saat diajak bermain basket oleh Aulia.

Teman-temanku mulai menjauh. Putri yang semula selalu ceria dan bersemangat, kini berubah menjadi pendiam dan penyendiri.

Hari-hariku hanya terisi dengan belajar dan belajar, dengan les tambahan ini-itu: matematika, fisika, dan les-les lainnya yang sekarang materinya sudah kulupakan sama sekali.

Anak Papa harus jadi insinyur, katanya. Insinyur apapun tak masalah. Mungkin bagi Papa gelar Ir. di depan nama Putri itu sudah ia idam-idamkan sejak aku masih dalam kandungan. Papa nggak tahu 'kan kalau sekarang itu engineer gelarnya bukan Ir. lagi, tapi ST.? Sampai kapanpun aku nggak akan pernah bisa jadi insinyur, Pa. Paling mentok ya sarjana teknik!

Bertahun-tahun telah berlalu sejak kejadian itu. Aku menyerah pada keinginan Papa dan menyanggupi permintaannya untuk berkuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia, berhasil meraih gelar sarjana teknik dengan tepat waktu. 

Yah, mau gimana lagi? Bagaimana pun dia ayahku. Tentu aku ingin membuatnya bangga. Membuktikan padanya kalau aku bisa memenuhi keinginannya. Ingin rasanya aku merasakan sekali saja ia mengusap kepalaku, dan berkata "Good job, Putri. I'm proud of you." Sesuatu yang hingga kini hanya angan-angan dan mimpi kosong belaka.

Kini setelah Papa sudah tiada, rasanya aneh bagiku untuk mengenang masa-masa itu. Memang ada rasa rindu. Tetapi pemandangan yang nanar dan suara rapor yang dilempar ke depan kakiku itu masih saja membuat dadaku sesak setiap mengingatnya.

Pa, aku sudah lulus kuliah mengambil jurusan yang Papa mau. Aku sudah jadi sarjana teknik. Ijazah ini kuhadiahkan buat Papa. Sekarang biarkan aku menjalani hidup dengan cara yang kumau, ya. Aku akan melukis lagi. Aku mau lebih banyak bermain musik sambil menyanyi lagi. Juga menulis puisi dan cerita lagi.

Aku tahu sudah terlambat untuk membuat Papa bangga padaku. Tapi setidaknya, aku ingin bisa bangga pada diriku sendiri.

...

Nostalgia pada malam itu kututup dengan dengan bernyanyi lagu Mendarah milik Nadin Amizah. Dan lirik lagu ini membuatku menyadari, bahwa ternyata selama ini aku merindukan pelukan Papa, yang belum pernah kuterima.

...

"Bukan maaf yang kupinta,

Tapi peluk, yang ku lupa."

 

 

 

 

[bersambung...]

[atau nggak ya?]

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.