Sebuah Kemenangan Kecil di Beranda

Beranda rumah kami berukuran sekitar tiga kali empat meter persegi. Tidak besar, bahkan air hujan tempias ke beranda saat hujan deras dan disertai angin. Lantai beranda terbuat dari keramik berwarna merah hati. Di beranda ini hanya ada satu meja dan dua kursi dari kayu mahoni.
Sebuah taplak lurik berwarna hijau menutup meja dengan ditindih pot kecil berisi spider’s plant. Kursi beralaskan jok busa, sehingga membuat nyaman siapapun yang duduk di sana.
Beranda ini terletak di bagian depan rumah kami yang menghadap ke barat. Di depan beranda ada sepotong taman kecil. Saya meletakkan beberapa tanaman perdu pendek dalam pot. Fungsinya sebagai pembatas lahan kami dengan jalan umum di depan rumah. Setiap orang yang lewat di depan rumah dengan mudah melihat beranda dan keberadaan kami di sana.
Beranda ini awalnya adalah tempat favorit saya. My reading nook. Di sini saya duduk membaca buku-buku sambil menghirup secangkir teh bunga krisan. Jika udara dingin, saya membawa selimut dari kamar ke sini. Saya biasa menghabiskan satu sampai dua jam di beranda ini, sebelum tidur di kamar.
Ritual saya membaca di beranda berlangsung di malam hari. Sore sepulang kerja, saya memasak makan malam. Usai makan, saya akan membereskan dapur, menyapu rumah serta ngepel. Setelah itu, beranda menjadi milik saya sepenuhnya.
Sayangnya, Tuan Soe, suami saya selalu mengokupasi beranda setiap Sabtu dan Minggu, serta hari libur. Ia akan duduk berlama-lama di beranda sambil bercanda dengan ponselnya. Ia membaca ulang semua percakapan grup Whatsapp yang diikutinya. Ia menonton habis semua video yang dikirimkan teman-temannya, yang kebanyakan berisi humor tidak lucu serta tontonan-tontonan unfaedah lainnya. Yang jelas, ia selalu tersenyum bahkan tertawa di depan ponselnya.
Di hari biasa, sepulang kerja suami saya selalu tidur-tiduran di sofa di depan TV. Ia akan sibuk memencet-mencet remote untuk memilih channel TV yang ia sukai.
Acara yang ia tonton berkisar berita-berita politik. Ia juga menyukai sebuah talkshow di stasiun TV yang hostnya hanya mempertentangkan para tamu undangan supaya rating acara naik. Dia kadang-kadang mendengarkan berita dari channel TV berbahasa Inggris dengan alasan melatih kemampuan bahasa, yang menurut saya tidak menjadi lebih baik juga.
Tuan Soe hanya bangkit dari sofa ketika makanan sudah siap di meja, dan segera kembali ke sofa usai makan. Dia bergeming meskipun saya sering sengaja membuat bunyi-bunyian dengan mengadu piring dengan piring atau dengan peralatan makan yang lain, ketika mencuci. Bunyi-bunyi berdentingan di dapur tidak akan membuat dia beranjak dari sofa singgasananya. Membuat dia bertanyapun tidak.
“Sayang, aku yang cuci piring, ya?” begitu saya pernah berharap dia menawarkan diri seperti itu.
Lalu dengan tersenyum saya akan mengulurkan piring-piring dan panci-panci kepadanya. Dengan balas tersenyum dia akan menyambut gembira pekerjaan itu dan menuntaskannya. Sayangnya adegan itu hanya imajinasi dalam pikiran saya. Belum pernah sekalipun terjadi di dunia nyata.
Di dunia nyata, yang ada hanyalah titah, titah dan titah. Sabda suami adalah sebuah keniscayaan yang harus dipatuhi. Perlawanan atau pembangkangan pasti berakhir pada semburan kata-kata menyakitkan di telinga dan hati. Saya memilih menghindarinya.
"Aku mau minum kopi di beranda," begitu dia memulai ritualnya di beranda.
Pertama kali saya mendengar perkataannya itu, jujur saya bingung. Apa? Dia mau ngapain di mana, buat apa diumumkan? Selanjutnya, dengan tambahan kata-kata kotor dan makian, dia memperjelas titahnya.
“Isteri yang baik itu melayani suami,” ia mengucapkan maklumat itu dengan suara keras.
Oh. Rupanya, pengumuman bahwa ia akan minum kopi di beranda adalah sebuah perintah tidak langsung. Perintah yang dia tujukan kepada Nyonya Est, isterinya, alias saya. Perintah yang dia pikir bisa dia berikan karena statusnya sebagai suami. Perintah supaya isterinya membuatkan segelas kopi dan membawakannya ke beranda. Perintah yang sebaiknya saya turuti supaya saya mendapatkan label isteri yang baik.
Sebenarnya, saya tidak menemukan masalah dari kata ‘isteri yang baik itu melayani suaminya’. Hanya saja, secara egois dia memakai kalimat itu supaya mendapat keuntungan. Ia tahu persis, bahwa saya isteri yang baik. Dia tidak tertarik sama sekali membahas apakah dia adalah suami yang baik. Jika saya mempertanyakannya – for God’s sake of course I asked him, ONCE! – saya bisa menebak jawabannya.
“Suami yang baik itu … yang bagaimana?” Sekali saya memancingnya dengan pertanyaan ini.
“Aku sudah bekerja seharian. Aku capek dan mau istirahat.” Begitu jawaban dia.
Hmmm. Entah bagaimana – saya tidak tahu – dia bisa lulus menjadi seorang sarjana. Alumni sebuah perguruan tinggi swasta ternama di kota kami. Padahal dia sama sekali tidak logis menjawab pertanyaan saya tadi. Jika ini adalah kuis di kampus, saya yakin dia tidak mendapatkan nilai dari jawabannya itu.
Pertama, dia tidak menjawab pertanyaan yang saya tanyakan. Kedua, saya juga bekerja mencari uang, dan saya juga capek dan ingin istirahat. Dia terlihat tidak peduli dengan pertanyaan saya. Sepertinya dia hanya peduli dengan dirinya sendiri. Bahwa ia ingin berleha-leha di sofa.
Dia merasa sudah bekerja seharian, sehingga dia merasa layak untuk istirahat. Perkara isterinya capek dan juga ingin beristirahat, bukan menjadi urusannya. Ia ingin si isteri menjalankan kewajibannya melayani sang suami. Titik.
Sebagai seorang fast learner, seminggu dua minggu usai pesta pernikahan kami, saya langsung melihat wajah asli suami saya itu. Wajah asli yang tidak terdeteksi sebelumnya. Padahal biasanya saya ahli menilai karakter orang. Rupanya setahun masa pacaran tidak cukup bagi saya melihat keaslian wataknya. Sekarang terlambat sudah.
* * *
Sabtu pagi ini saya bangun dengan semangat 45. Sudah lama sekali saya tidak merasa seperti ini. Saya merasa on fire. Rasanya seperti sebelum saya menikah. Ketika prestasi kerja saya memberikan kesempatan keliling kota-kota dunia di Eropa, Eropa Timur, Asia Tenggara, bahkan di Amerika Latin. Ketika keputusan apapun – yang baik dan yang buruk – adalah keputusan saya pribadi. Ketika tidak ada satu orang pun merecoki hidup saya. Rasanya benar-benar merdeka.
Pukul lima kurang beberapa menit saya sudah bangun. Saya bangun sebelum alarm ponsel berbunyi. Saya ambil ponsel, tekan dismiss, lalu matikan gawai itu. Saya segera meraih kertas di atas nakas di samping tempat tidur, membaca catatan yang saya tulis semalam. OK. Let's do this!
Saya bergegas memakai sepatu jogging.
Saya menepuk-nepuk membersihkan sepatu warna abu untuk mengenyahkan lapisan debu. Terakhir saya memakai sepatu ini sekitar .... dua tahun lalu?
Dua tahun berada dalam pernikahan bersama suami super egois, membuat saya terpuruk dan depresi. Meskipun sakit hati, saya memilih diam. Tidak pernah sekalipun saya bercerita kepada orang lain tentang keadaan rumah tangga kami. Suami yang selalu menyuruh-nyuruh disertai makian dan kata-kata kotor, membuat saya tak tahu harus bagaimana.
Saya seperti hilang. I was lost.
Persis seperti quote dari Ernest Hemingway yang saya temukan di timeline Instagram. Kata-kata Hemingway dari kumpulan cerita pendeknya dalam Men Without Women: The most painful thing is losing yourself in the process of loving someone too much, and forgetting that you are special too. Iya, saya lupa bahwa saya istimewa.
Beruntungnya, saya selalu menyempatkan diri membaca buku. Buku adalah pelarian sekaligus penyelamat saya. Dengan membaca buku, saya bisa pindah sejenak dari kenyataan hidup yang melelahkan. Saya melahap novel-novel dan buku-buku nonfiksi. Saya bahkan menemukan beberapa buku self help yang kemudian membukakan mata saya, sekaligus menjadi cheerleader saya. Buku-buku yang perlahan membuat saya bangkit.
Mulai pagi ini, saya bergabung dengan kelab pukul lima. Penulis buku itu menyarankan sebuah rutinitas pagi yang dimulai pukul lima. Melakukan latihan fisik, membuat perencanaan dan belajar adalah tiga kegiatan yang harus dilakukan setiap pagi. Kegiatan tersebut harus selesai dalam satu jam. Tidak masalah bagi saya karena saya biasa bangun pukul lima, dan saya bisa nggeser dan ngatur kegiatan saya.
Pagi masih sepi. Saya melangkah perlahan ke luar rumah. Sejenak saya merasa konyol dan berusaha bersikap biasa. Ngapain saya mengendap-endap? Toh suami saya belum bangun jam segini. Hari ini Sabtu. Lagian dia tidur di kamar lain.
“Aku ingin tidur sendiri,” kata saya kepada Tuan Soe pada suatu malam.
Harus saya ceritakan bahwa kami pisah ranjang. Sudah sejak … entah kapan saya tidak ingat. Sepertinya sejak saya melihat wajah aslinya tanpa topeng pemanis itu. Untungnya tanpa banyak bicara, suami mengabulkan permintaan saya. Dia pindah tidur di kamar tidur kosong yang biasa ditempati tamu yang menginap.
Pisah ranjang ternyata berguna menjaga kewarasan saya. Setidaknya saya bisa menjadi diri saya sendiri ketika di kamar tidur dan di kamar mandi, serta di beranda. Tiga tempat itu merupakan suaka saya.
Mungkin kebanyakan orang menganggap remeh hal seperti ini. Bagi saya, ini berkah luar biasa. Sekecil apapun upaya yang bisa saya lakukan, saya akan kerjakan, demi memberikan kebaikan bagi saya.
“Aku harus tetap waras. Aku harus tetap waras. Aku harus tetap waras.”
Saya mulai berulang kali bicara sendiri di depan cermin. Awalnya saya tidak mengenali bayangan sendiri. Mata cekung dengan kulit di sekitarnya yang menghitam, garis bibir melengkung ke bawah, serta kerut-kerut tipis menggores kulit wajah. Usai mengucapkan mantra ke sekian ribu kali di depan cermin, perlahan saya berhasil menarik senyum segaris tipis.
Kemajuan kecil ini diam-diam saya tuliskan di buku jurnal. Saya menyimpan buku ini di laci yang kuncinya saya sembunyikan di tempat yang sulit ditemukan oleh orang lain.
Demi menjalankan prinsip-prinsip yang dituliskan dalam buku self help itu, saya membeli sebuah buku berisi lembar-lembar kertas kosong. Kertasnya sedikit tebal dengan warna krem lembut. Saya mulai menuliskan capaian-capaian kecil yang saya raih sejak saya berhasil membuat segaris senyum itu. Itu kejadian seminggu lalu.
Beberapa buku self help menekankan pentingnya pencatatan angka kesuksesan. Catatan yang penting untuk bisnis, olahraga dan pelajaran sekolah, juga untuk pencapaian dalam kehidupan pribadi di rumah. Saya mencoba melakukannya.
Rasanya menyenangkan sekali ketika saya berhasil membuat garis senyum itu. Saya rasa senyum segaris itu tetap ada ketika saya menuliskannya di buku jurnal. Saya ingin menambah capaian berikutnya, yang akan saya raih nanti malam.
* * *
"Aku mau minum kopi di beranda," begitu maklumat Tuan Soe usai makan malam.
Dia berbicara tanpa melihat kepada saya. Sudah biasa dia begitu. Sementara saya masih sibuk mencuci piring dan membereskan peralatan di dapur.
“Lho? Lampu beranda mati, ya?”
Saya mendengar dia memencet saklar lampu dua kali.
Klik. Klik.
“Bohlam pasti rusak,” gerutu dia.
Selanjutnya saya mendengar langkahnya menuju ke ruang tengah. Terdengar laci penyimpanan barang di almari ditarik. Sambil masih terdengar menggerutu, dia berada di sana beberapa saat. Sepertinya mengambil sesuatu dari dalam laci.
Langkahnya kembali diseret menuju ruang belakang, tempat peralatan disimpan. Saya menebak dia akan membawa tangga lipat ke beranda.
Saya masih berkutat dengan peralatan makan di bak cuci. Meskipun tidak melihat apa yang diperbuat Tuan Soe, saya diam-diam mengikuti tindak-tanduknya melalui pendengaran. Saya sedang menyeduh kopi ketika suara klik klik kembali terdengar, disusul makian dia.
“BRENGSEK! Bohlam sialan!”
Dalam diam saya menantikan kejadian berikutnya. Tak terdengar suara apa-apa lagi.
Saya telah selesai membuat minum. Sambil membawa cangkir berisi kopi, saya mencari dia. Saya menemukan dia berbaring di sofa di depan TV. Tangga lipat teronggok di pojokan.
“Nggak jadi di beranda?’ saya bertanya polos.
“Lampu beranda mati,” ujarnya masih dalam nada kesal.
“Kan ada serep bohlam di laci?” kembali saya bertanya.
“Sama saja. Mati. Besok aku beli bohlam baru.” Pandangan matanya tidak berpaling dari layar ponsel yang dipegangnya, sementara TV berteriak-teriak menawarkan berita-berita basi karena telah diulang entah berapa kali.
Saya segera melangkah pergi. Tidak perlu menunggu ucapan terima kasih, karena dia tidak pernah mengucapkannya untuk kopi yang saya buatkan.
Saya beruntung dia sibuk dengan ponselnya sehingga dia tidak melihat senyum saya. Ya, garis senyum rasanya bertambah lebar sekitar setengah sentimeter. Saya cepat-cepat melangkah ke belakang, mengambil sapu. Saya ingin segera nyapu dan ngepel. Setelah itu saya ingin masuk kamar dan menuliskan prestasi malam ini di jurnal.
Saya akan menulis capaian hari ini, yaitu berhasil melepas kabel di saklar lampu beranda. Bohlam tidak rusak sama sekali. Malam ini, tidak apa beranda gelap tanpa sinar lampu. Besok pagi saya harus pasang kembali kabel itu. Minggu malam dia akan mengokupasi beranda kembali.
Tidak apa. Setidaknya malam ini saya merayakan keberhasilan saya.
Kemenangan kecil di beranda sangat penting bagi langkah-langkah saya berikutnya. Saya sudah menuliskan beberapa langkah dan prestasi yang harus saya raih. Saya juga telah menuliskan visi saya. Lao Tzu bilang: A journey of a thousand miles must begin with a single step.
* * *
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.