Senja di Pelabuhan Kecil

Perahu, laut, sungai, kanal, selalu memberi kebahagiaan kepadaku

Senja di Pelabuhan Kecil
Foto oleh Anthony dari PexelsSenja

 

 

Sore itu kami  berjalan bergandengan tangan, menuju pelabuhan kecil di kota tempat kami tinggal:  sebuah kota kecil di pantai barat Wales, Inggris. Langit yang biasanya kelabu terlihat cerah, sehingga matahari  yang bergeser ke arah  barat terlihat seperti bola merah, membuat permukaan air laut menjadi jingga serta menyinari berbagai perahu nelayan yang saat itu bersandar.

Kami mencari tempat duduk sambil menikmati pemandangan di musim gugur itu  yang bagiku begitu menyihir dan romantis. Peter memeluk bahuku, dan tiba-tiba saja aku teringat “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar. Kupandang wajah Peter dengan matanya yang biru terang dan rambut coklat tua berombak. Aku mengelus pipinya sambil berkata : “Peter, have I ever told you about an Indonesian poem called Twilight in the Little Harbour?” Peter mengelus rambutku dan menjawab: “I don’t think so..”

Maka di senja itu aku menceritakan dengan penuh perasaan mengenai “Senja di Pelabuah Kecil.” Tentang bagaimana puisi itu dengan kuat menggambarkan kesendirian, kesedihan dan patah hati yang mendalam, sambil dalam hati mengingat bait-bait dan bagian yang menurutku sangat kuat:

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang

 

Peter mendengarkan ceritaku sampai selesai. “What a beautiful poem…,” ucapnya. Aku Kembali memandang ke arah laut yang sudah semakin gelap, karena matahari sudah tenggelam. Kami pun bergegas meninggalkan pelabuhan nan romantis itu, tanpa tujuan tertentu.

Kami menyusuri jalan kota, sambil sesekali berhenti menikmati malam yang indah bertaburan bintang serta bulan sabit yang mulai terbit. Ya, karena kota kami adalah kota kecil dengan penduduk 10.000, dan tidak ada angkot, motor atau bis yang berseliweran, maka emisi karbon cukup rendah, sehingga langit pun selalu bersih. Bulan dan bintang bisa dinikmati dengan mata telanjang.

Peter memelukku dengan erat dan mengajakku mampir ke rumahnya. “Kita makan  di rumah ku saja ya, aku tadi siang bikin nut-loaf, aku sedang mencoba resep  vegetarian, “katanya. Aku setuju. Di ruangan makan sekaligus dapur dengan lampu bersinar lembut, Peter dengan cekatan memanaskan nut- loaf, kemudia membuat salad dengan saus sederhana: minyak zaitun, balsamic sauce, sedikit bawang putih dan mustard de Dijon.  Tak berapa lama semua hidangan siap. Kami pun duduk mengelilingi meja bulat yang terbuat dari kayu jati belanda, dan memulai menikmati hidangan yang menurutku super yummy.

Setelah selesai, aku bergegas mencuci piring dan berbagai perkakas dapur.  Aku merasa itu wajar, Peter sudah masak, maka aku yang beberes. Sambil beres-beres, aku bersiap membuat kopi, “would you like a cup of coffee Peter?”  Peter memelukku sambil menjawab dengan suara lembut “ only if you are making one…” Hatiku meleleh mendengar jawabannya. Peter selalu memperlakukan aku sebagai partner yang setara, dia tidak pernah minta dilayani, dia tidak pernah mengatur, dia menghargai pendapatku dan pandanganku. Kami teman yang baik serta, sekaligus sepasang kekasih yang saling mencintai. Kami sudah berhubungan sekitar 1 tahun, dan masa tinggalku di Wales akan berakhir. Ya aku sudah  2 tahun di kota ini untuk mengambil gelar Master. Aku mendapatkan bea siswa dari kantorku dengan ikatan dinas, jadi aku harus pulang.

Tanggal kepulangan makin dekat, sementara hatiku  juga makin tertambat. Tertambat pada pria Inggris bermata biru, berhati lembut dan menerima aku apa adanya. Sampai saat ini kami tidak pernah membicarakan masa depan, “mari kita jalani perjalanan kita, dan kita nikmati kebersamaan kita dengan sepenuh hati..” Itulah kesepakatan kami. Yang tidak aku sampaikan ke Peter, adalah hatiku mulai berdarah, tetesannya bisa kurasakan, aku tidak sanggup berpisah darinya dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana menjalani hari-hariku di Indonesia nantinya.

Namun aku tahu dan sadar, bahwa aku amat mencintai  tanah airku, yang lalu lintasnya semrawut, masyarakatnya enggan mentaati peraturan, namun sekaligus masyarakat yang    sangat dinamis, serta negara yang kaya dengan kebudayaanya. Aku juga tidak mampu berpisah dengan Indonesia.

Peter menggandengku ke meja makan, ia menatapku sangat dalam, yang kurasakan menghujam ke jantungku dan dengan nada suara yang belum pernah kudengar sebelumnya ia berkata  “ please don’t go home. Stay with me, let’s make this work. Marry me …” katanya. Pandanganku kabur, airmata mengalir tidak bisa kuhentikan. Inilah yang aku khawatirkan, aku harus memilih. Ya aku mencintai Peter, tapi bisa kah aku tinggal di negeri 4 musim ini yang  begitu jauh dari semua yang selama lebih dari 20 tahun menjadi bagianku? Apakah Peter akan mengerti  bahwa meski pun aku sudah tinggal di Inggris selama 2 tahun, masih saja terkadang aku merasa  terasing?

Dengan susah payah serta suara terbata-bata aku menjawab “you do know that I love you?” Ia mengangguk. Aku pegang tangannya dengan lembut. Berat rasanya hati ini ketika menjawab: “ Aku sungguh bersedia menjadi pendampingmu. Tapi tidak segera. Aku harus pulang, karena ini janjiku pada negara yang memberiku bea siswa. Aku tidak mungkin pergi begitu saja…bisakah kamu bersabar?” Aku lanjutkan bahwa aku ingin mengenalkannya pada keluargaku, sekaligus mengenalkan Indonesia dengan budayanya dengan masyarakatnya yang merupakan bagian tak terpisahkan dariku.

Peter tampak terpukul. “Kamu tahu kan, tidak mudah bagiku mengobral cinta dan mengajak kawin? Aku takut kamu pulang dan kemudian melupakanku…” Aku terdiam, Peter membisu. Dengan lembut kuelus wajahnya dan kubisikkan bahwa hatiku sudah terpaut padanya, namun kita berdua perlu mengatur iramanya. “Kalau kamu yang ikut aku ke Indonesia bagaimana?” tantangku.  “Yah mana mungkin, aku kan sudah kerja di sini..” Nah, kan, ternyata cinta saja tidak cukup. Perlu rencana, pematangan, restu dari orang tua dan sebagainya. Akhirnya Peter bisa tersenyum lagi dan memahami pandanganku.

Malam itu aku kembali ke kamar kosku, Peter mengantarku. Setelah mengucapkan selamat malam, aku membanting diri di ranjang, dan mengeluarkan tangisan yang dari tadi kutahan. Aku kenal keluargaku, mereka tidak mudah menerima orang asing. Mereka akan kecewa dengan pilihanku. Aku tidak sanggup menghadapi kesedihan orang tuaku… Di sela tangis,  kuucapkan  syukur kepada Sang Pencipta , karena aku dikaruniai kesempatan mengenal Peter, merasakan jatuh cinta dengan segenap jiwa raga dan sepenuh hati ….

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.