Keping Kesembilan: Sudut Pandang Lain

Kindly play the song while reading.
Gara
18 Unread Message
7 Missed Call
Kala
2 Unread Message
Tante Karin
4 Unread Message
Luna memandang bosan pesan-pesan yang belum ia buka sejak kemarin. Ia menghindari Gara, dan Kala. Gadis itu butuh waktu sejenak untuk memahami keadaan dirinya sendiri. Ia tak peduli telah membuat orang-orang khawatir. Hari ini saja ia berangkat kuliah pagi-pagi sekali. Itu mungkin membuat Om dan Tantenya khawatir karena sejak semalaman belum melihatnya.
Luna melakukan itu karena ia yakin, kalau mereka melihat matanya sembap pagi ini, akan banyak pertanyaan menyusul. Luna tidak akan kuat untuk tidak menangis lagi, sekaligus tidak bisa berbohong untuk menghindar.
“Ah, sial,” umpat Luna saat mendapati kelas berikutnya berjarak dua jam dari sekarang. Biasanya, ia bisa saja pergi ke kafe Kala untuk menghabiskan waktu sebelum kelas selanjutnya. Tapi tidak hari ini.
Sambil memasukkan ponselnya ke kantong celana, gadis itu bangkit dari kursinya dan menarik tasnya untuk disandang di bahu. Tumpukan buku di meja mnegingatkannya betapa tidak fokusnya dia hari ini. Mendengus malas, gadis itu memeluk buku-buku itu dan berjalan meninggalkan kelas yang sudah mulai sepi.
Bruk!
Buku-buku jatuh dari tangannya dan tubuhnya oleng sebelum bertumpu pada ambang pintu. Rasanya Luna ingin menangis saja. Harinya benar-benar kacau. “Maaf,” ucapnya lirih pada lelaki yang membungkuk mengambil ponsel miliknya.
“Kamu kalau jalan aja nggak becus ngapain kuliah, sih?”
Lelaki itu mengangkat wajahnya, membuat Luna sadar bahwa yang ia tabrak adalah Gara. Luna mendesah pasrah. Gadis itu ikut berjongkok untuk membereskan buku-bukunya yang jatuh.
“Kamu kenapa, sih, Lun? Aku chat semalaman nggak dibales, kemarin mau dijemput malah pergi entah ke mana, terus ini kenapa? Kamu sakit, ha?”
Luna terdiam. Beberapa orang yang lewat memandang mereka dengan aneh. “Suaramu tolong dikecilkan dulu.”
Gara yang menyadari itu langsung bungkam. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor. Luna dengan perasaan kalutnya, dan Gara dengan penasarannya.
“Kamu nggak bisa jawab pertanyaanku?”
Luna menghentikan langkahnya. Ia memberanikan diri untuk menatap lelaki itu, berharap Gara melihat wajah lelahnya. “Kamu sedang apa di kampusku? Gedungmu bukan di sini.”
Meski sama-sama kuliah di ITB, letak gedung kampus mereka berjauhan, dan Luna yakin lelaki itu membolos kelas untuk menemuinya.
“Kalau aku nggak nungguin kamu di depan kelasmu sepagian, aku yakin kamu bakal terus ngehindar.”
Dalam hati Luna membenarkan perkatannya. “Kamu nggak perlu seperti ini.”
Gara menarik Luna untuk tetap diam dan mendengarkan dirinya. “Kamu kenapa, sih? Salah aku begitu? Lagian sejak kapan ya, kamu main rahasia sama aku?”
Luna terdiam mendengar pernyataan lelaki itu, tapi bukan Luna namanya kalau tidak bisa membalas perkataannya. “Dan sejak kapan kamu jadi orang yang harus tahu semuanya tentang aku?”
Gara seketika tertohok mendengarnya. Melihat ekspresi di wajah lelaki itu, Luna menyadari dirinya berlebihan.
“Look, Ali Gahara. Im just fine. Nggak ada apapun yang aku sembunyikan dari kamu,” ujarnya sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari. Ia butuh sesuatu untuk mendinginkan kepalanya. “Kemarin aku cuma butuh keluar sendiri dan sedikit lelah, oke?”
“What about your phone, ha? Ponselmu jatuh di jalan, sampai nggak bisa angkat telepon dan balas SMS?”
“Baterai habis, maaf.”
Luna dapat melihat masih ada rasa curiga yang ditujukan kepadanya. Ia sendiri sadar, alasan-alasan itu terdengar sama sekali bukan seperti dirinya. Luna mencoba mengambil sisa bukunya yang dipegang oleh lelaki itu, tapi Gara lebih cepat.
“Nggak,” tukas lelaki itu sebelum Luna sempat memprotes. “Kamu nggak bisa kabur lagi.”
Luna mendesah pasrah. Ia rasa tidak ada lagi hari yang lebih buruk daripada ini.
[*****]
“Ish, itu dia sendirian lagi!”
“Biarin aja, kata ibuku dia anak haram!”
“Apa, sih?”
“Iya, lho. Katanya kita enggak boleh main sama Luna!”
“Hush! Jangan disebut namanya!”
“Udah ah, kita jauh-jauh aja dari dia.”
“Iya, ayo tinggalin.”
“Heh, kenapa bengong?”
Luna tersadar dari lamunannya, memandang Gara yang meletakkan semangkuk bakso di hadapannya. Mereka kini berada di kantin kampus Luna, karena Gara bilang gadis itu harus makan sebelum pingsan saking pucatnya wajah Luna.
“Ayo, dimakan itu.”
Sambil menarik mangkuknya mendekat, Luna menyadari berpasang-pasang mata memandang mereka diam-diam. Sementara dirinya tak bisa menepis sedikit kekhawatiran, Gara santai saja menyuap baksonya dengan lahap.
Banyak sesuatu yang disebut gosip, yang beredar tenteang mereka berdua. Sungguh, Luna benci kalau Gara terseret dalam kehidupan suram antisosialnya, tapi lelaki itu tak pernah tampak terbebani sekalipun.
“Kenapa?” tanya Gara yang menyadari Luna menatapnya terlalu lama.
“Ah, tidak. Heran saja, kamu bisa tahan temenan sama aku.”
Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya, kemudian tertawa. “Lebih ke ngerawat adik yang selalu minta dianter ke mana-mana, sih.”
Luna menggerutu dan kembali pada makanannya, sementara Gara memandangnya dengan tawa tertahan. Luna bisa saja berubah menjadi es batu ketika berhadapan dengan orang lain, tapi tidak dengannya. Tidak ada yang tahu bahwa Luna lebih mirip seperti kucing yang garang dan pemalu pada waktu bersamaan—hanya ketika bersama Gara.
Mengingat itu, Gara sedikit merasa senang. Dia tahu sesuatu tentang Luna yang orang-orang tidak tahu. Itu membuatnya merasa penting berada di sisi Luna.
Tanpa tahu saja, bahwa dia memang sedari dulu adalah sosok penting bagi gadis itu.
[*****]
“Kenapa, sih? Lo tumben banget ngajakin makan di sini?”
Suara Arkan memecah konsentrasi Kala ketika ia memandang berkeliling kantin untuk menemukan apa yang dicarinya. Ia menoleh sebal pada temannya itu.
“Nggak boleh? Ini kan, kantin deket gedung kampus kita?”
Arkan berdecak. “Buset, galak amat. Nggak gitu, lho, maksudnya kan, biasanya lo sukanya di kantin Salman yang murah-murah,” ujarnya menyebut nama kantin yang letaknya jauh dengan gedung fakultas mereka, tapi merupakan kantin menunya paling murah di seantero ITB.
“Pengen aja.”
Di sebelahnya, Arkan sibuk memilih makanan di balik etalase sementara Kala sendiri, yang menyeret temannya dengan dalih menemani makan siang malah sibuk mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin.
Ketika menemukan seseorang yang ia cari, Kala justru mengernyit heran. Luna duduk di sana, dengan seseorang yang kalau ia tak salah mengingat adalah lelaki yang mengaku sebagai teman Luna. Namanya … Gara?
Kala memicingkan matanya untuk melihat lebih jelas, tapi sebanyak apapun ia mencoba untuk meyakinkan dirinya bahwa itu bukanlah orang yang dia ingat, semakin yakin ia bahwa yang dilihatnya adalah cowok bernama Gara itu.
Pertanyaan-pertanyaan segera saja mengikuti. Sedekat itukah mereka untuk makan berdua? Ataukah memang ada hubungan spesial di antara keduanya?
Tunggu, sejak kapan kehidupan Luna menjadi topik yang menarik perhatiannya?
“Lo kenal dia?”
Kala hampir saja melompat ke belakang kalau ia tidak mati-matian menjaga image-nya di tempat umum.
“Siapa?”
Arkan menunjuk dengan dagunya ke arah kerumunan kantin. “Luna. Iya, kan? Yang lo liatin dari tadi?”
Kala mengumpat dalam hati. Ia melupakan pengamatan jeli temannya.
Sementara itu, Arkan menyenggolnya pelan. “Lo suka?”
“Hah? Enggak! Gue penasaran aja. Dia sering dateng ke kafe belakangan ini,” ujarnya mencari alasan.
Arkan memandangnya penuh selidik sementara ia berusaha tetap tenang dan datar. Mereka tak saling bicara sampai akhirnya menemukan tempat duduk strategis di pojok kantin. Arkan dengan sepiring nasi dan lauknya, dan Kala pada akhirnya hanya mengisi piringnya dengan gorengan.
“Luna itu. Gue nggak tahu nama panjangnya, sih. Dia seangkatan kita, jurusan Astronomi, mahasiswi terbaik di jurusannya. Beberapa kali jadi asisten profesor untuk penelitian penting. Dia nggak biasa, cewek itu.”’
Kala tanpa sadar mendengarkan penuh apa yang Arkan bicarakan. Namun ia masih saja berusaha untuk tidak tampak terlalu penasaran. “Lo lambe turahnya ITB?”
Dengan begitu Arkan mencibir malas. “Tadi ada yang bilang penasaran, sih.” Lelaki itu kembali menyantap makanannya dengan malas.
Kala meringis kecil. “Maaf-maaf. Lanjut dah, infonya.”
“Gue sering denger sih, dari cewek-cewek, katanya dia kayak sombong gitu. Apa, sih? Kalo diajak temenan kayak nggak akrab gitu, lho.” Arkan menjelaskan sambil memainkan sendoknya. Saat ini ia merasa pergaulannya yang luas itu ada manfaatnya juga.
“Hee? Maksudnya gimana, dah?”
“Gini, lho … kalo diajak hang-out atau makan bareng sama temen sekelas atau sejurusannya, si Luna tuh, kayak berusaha banget buat nolak. Kesannya kayak antisosial gitu.”
Kala berdeham dan mengalihkan perhatiannya ke gorengan di atas piringnya yang tak lagi ingin disentuhnya. “Lah, itu buktinya dia sama cowok, kok.”
Arkan menoleh sejenak ke belakang untuk memastikan siapa yang dimaksud oleh Kala, meskipun ia sudah tahu lebih dulu. “Itu Ali Gahara, anak Teknik Mesin.”
Udah tau gue, batin Kala dalam hati. Ia hanya berusaha memancing informasi lebih banyak tentang Gara.
“Dia itu satu-satunya cowok yang deket sama Luna dari semester satu. Secara ya, Luna tuh cantik dan anggun auranya, jadi banyak yang merhatiin. Nah, yang orang tau dia nggak pernah pacaran walaupun banyak cowok yang nembak dia. Tapi kok, malah deketnya sama komting mesin itu, si Gara? Aneh, ya?”
Kala berusaha tampak biasa saja. “Nggak, ah. Pacarnya kali.” Sedikit banyak Kala menyesal sudah mengucapkannya. Itu membuatnya berpikir kalau bisa saja dugaannya benar.
Arkan mendecak gemas. “Masalahnya, udah diklarifikasi langsung, Bro, sama mereka berdua. Setiap ada yang tanya, jawabannya cuma temen.”
“Lo emang pernah tanya langsung?
“Pernahlah, makanya gue yakin. Sama Gara iya, sama Luna iya.”
Kala mencibir. “Dan lo percaya? Lo nggak tau namanya backstreet, ya?”
Sesaat Arkan merespons dengan mata yang membesar kemudian ia menghela napas pasrah. “Iya, ya?”
Kala tak terlalu menanggapi kekecewaan sesaat itu sampai ia menyadari suatu hal. Alis Kala naik sebelah. “Lo ngapain nanya ke Lunanya?”
Giliran Arkan yang meringis malu. “Yaah, gue itu termasuk salah satu yang hampiiiir nembak Luna.”
“Hampir? Kok hampir?”
Wajah temannya itu berubah datar. “Ditolak mentah-mentah pas gue ngajak dia nonton Avengers. Katanya, mendingan dia nonton film dokumenter astronot.”
Kala mendengus, hampir saja tertawa kencang kalau tidak segera diinterupsi oleh suara tangis buatan Arkan.
“Hiks, sedih banget, Bro. Seleranya beda jauh, bikin gue langsung kepental mundur.”
Kala menutup mulutnya dengan telapak tangan. Namun keinginannya untuk tertawa seketika hilang ketika ia menyadari bahwa ia tak pernah melihat Luna dengan cara seperti itu. Selama ini, yang ia pikirkan tentang Luna adalah gadis biasa yang penuh kejutan—seperti tentang bagaimana mudahnya ia menerima ajakannya pergi ke perpustakaan, atau menenangkannya dengan menggenggam tangannya.
Luna yang selama ini dikenalnya, ternyata punya sisi lain yang tidak Kala ketahui. Meski begitu, rasanya apa yang dibicarakan Arkan tentang anggapan semua orang terhadap Luna, rasanya itu tidak benar. Kemudian sekali lagi Kala merasa bahunya merosot turun.
Mungkin ia hanya salah satu orang yang beruntung bisa mengenal Luna ‘yang itu’. Mungkin juga Luna punya banyak cara untuk menanggapi orang yang berbeda, dan padanya Luna hanya berbaik hati. Entahlah.
Dari balik tubuh Arkan, matanya menerawang jauh ke tempat Luna duduk dan berbincang dengan Gara. Ia merasakan beban aneh dalam perutnya, yang membuatnya mendorong jauh piring berisi gorengannya, yang tiba-tiba saja ia kehilangan selera untuk memakannya.
“Lo nggak makan?”
Kala menghela napas. “Kenyang.”
Ia hanya memandang ketika Arkan menarik piringnya dan memakan gorengan yang tadi miliknya. Kala mengumpati dirinya sendiri. Seharusnya makan siang di kantin tidak membuatnya merasa gundah seperti ini.
Di bawah meja, Kala merogoh ponselnya dan membuka dua pesan terkirim yang paling akhir, yang ia kirim semalam dan belum mendapat balasan hingga siang ini.
To: Luna
Hei, makasih ya, buat hari ini.
To: Luna
Besok pagi ngampus bareng, boleh?
Kembali melihat ke arah yang sama, Kala berusaha keras menghalau perasaan kecewa yang mulai mendesaknya, membuatnya merasa sesak. Seperti yang berulang kali ia tegaskan pada dirinya sendiri, ia dan Luna bahkan belum berteman.
Itu berarti tidak ada tempat baginya untuk merasa diabaikan, bahkan cemburu.
14620, ©ranmay.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.