NEW STEP OF OM TEP AFTER SETEP

NEW STEP OF OM TEP AFTER SETEP
NEW STEP OF OM TEP AFTER SETEP

NEW STEP OF OOM TEP AFTER SETEP

Tahun ini adalah tahun kesepuluh aku dan keluargaku tinggal di kompleks ini.  Kompleks yang aman dan asri, yang disediakan oleh kantor tempat suamiku bekerja.  Pintu gerbang depan kompleks ini selalu dijaga oleh minimal 3 orang petugas  di Pos  Security Depan.  Setiap kendaraan yang lewat pos ini akan diperiksa dengan kaca khusus anti bom seperti yang ada di gerbang-gerbang mall papan atas di Jakarta.  Semua plat mobil yang keluar  masuk tercatat dengan rapi disini. Pengemudi mobil tanpa stiker khusus penduduk kompleks, diwajibkan meninggalkan tanda pengenal di pos, tidak peduli siapapun dia.

Mengingat area kompleks yang cukup besar dan berkontur, maka ditempatkanlah  beberapa pos kecil security di sudut- sudut rawan yang berdekatan dengan tembok pembatas kompleks dan kampung sekitar. Biasanya dua orang petugas berjaga disana setiap shiftnya.  Dan beberapa orang lagi bertugas berkeliling di kompleks untuk patroli.

Petugas security di kompleks kami memang jumlahnya puluhan. Mereka bergiliran bertugas menurut jadwal dan lokasi pos  yang ditentukan oleh koordinatornya.  Karena sudah cukup lama tinggal di kompleks ini, kamipun mulai kenal dan sering berinteraksi  dengan para penjaga kompleks kami.

Salah satunya  adalah Stevanus. Seorang perantau berdarah asli Papua.  Badannya cukup tinggi,  tegap dan gempal.  Rambutnya keriting tercukur rapi.  Kulitnya bisa dikategorikan sangat legam, lebih legam dari teman-teman security lain yang berdarah Indonesia Timur.

Sosoknya cukup membuat  keberanian para pedagang dan penarik ojek online yang akan masuk ke Kompleks kami sedikit menciut.

Beberapa bulan yang lalu saat kami memesan antaran makanan lewat  aplikasi online, sang pengantar menelepon kami di pos security dengan suara terbata-bata, mengkonfirmasi nomer rumah kami di depan satpam untuk memastikan bahwa dia memang benar-benar membawa pesanan dari penduduk kompleks ini.  Sesampainya si pengantar makanan ke rumah,  dia masih kelihatan pucat dan ketakutan.

“Kenapa Mas, boleh masuk kan sama satpamnya?” tanyaku penasaran.

“Boleh sih Bu, tapi Satpamnya yang periksa di pos  serem nah Bu. Duh, udah besar,  gelap, gak banyak bicara. Saya jadi merinding Bu! Takut. ”

“ Oh Stevanus ya Mas?”

“Iya bu, di bajunya ada tulisan STEVANUS!”

“Dia Satpam favorit anak-anak saya lho Mas ...”

“Apa? Favorit? Yang bener aja Bu? Saya sih ampun deh Bu,” kata si Mas ojol sambil berlalu dan makin pucat.

----

Don’t judge a book from its cover, quotes itu cocok banget untuk keberadaan Stevanus. 

Bila dilihat sekilas, tentunya tidak ada orang yang berani macam-macam dengannya.  Selain sosoknya yang besar, dia juga petugas  security yang sangat disiplin. Di saat bertugas dia selalu berusaha untuk menciptakan rasa aman bagi penghuni kompleks yang dijaganya. Siapapun yang masuk ke dalam kompleks tanpa stiker khusus, harus dia periksa dengan teliti. Gayanya yang tidak banyak bicara dan irit senyum saat bertugas adalah termasuk strategi preventif untuk orang yang berniat kurang baik.

Lalu kenapa anak-anak kami, terutama Bumi, anak bungsuku yang berusia lima tahun,  bisa menobatkannya sebagai  Satpam Favorit?

Karena, di balik seragam biru dongker dan warna kulit yang beda tipis dengan seragamnya itu, dia punya sederet gigi putih yang rapi, dan senyum yang sangat ramah pada anak-anak penghuni kompleks.

Di pos manapun dia berjaga, dia akan siap menjawab lambaian tangan anak-anak kami, sambil meminta mereka berhati-hati saat bermain. 

Saat  anak keduaku, Banyu, dan teman-temannya bermain sepeda keliling kompleks,  dia sering  memeriksa untuk memastikan bahwa ban sepeda anak-anak kami tidak ada yang kempes dan  helm yang dipakai anak-anak kami sudah terkunci rapi. Sehingga anak-anak bermain dengan aman di dalam kompleks.

Dia pun tidak keberatan saat Bumi memberinya panggilan Oom Tep.  Karena  saat masih sering didorong-dorong keliling kompleks oleh Bibi, pengasuhnya, Bumi masih belajar berbicara, belum bisa bilang Oom Stef.

Dulu saat Bumi baru belajar berjalan, dia sering latihan jalan di kompleks dengan sendal yang berbunyi cicit. Bila Oom Tep sedang bertugas di pos yang Bumi lewati, dia pasti menyempatkan diri keluar dari pos hanya untuk menyapa si pemilik bunyi cicit itu.

Suatu sore Bumi bermain ke taman bermain kecil tempat perosotan di kompleks kami. Saking lelahnya dia bermain, sepulang dari sana dia tertidur dalam gendongan Bibi. Sesampainya di rumah Bibi baru sadar bahwa sandal Cicit yang dipakai Bumi tinggal sebelah. Padahal itu adalah sandal kesayangannya. Wah  bisa-bisa Bumi ngambek dan gak mau lagi latihan berjalan tanpa sandal Cicit itu.  Si Bibi pun berusaha mencari  sandal itu di jalan, namun tidak ketemu.  Suasana jalan yang sudah gelap di malam hari menyulitkan pencariannya.

Keesokan paginya, seperti biasa,  sehabis mandi Bumi minta jalan-jalan di komplek  dengan sendal Cicitnya. Betapa kecewa wajahnya saat dia tahu sendal kesayangannya tinggal sebelah.  Mulutnya mulai melengkung ke bawah menahan tangis. Aku membujuknya untuk membelikan sendal Cicit baru yang lebih keren. Tapi dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mulai berkaca-kaca.

Aku pun mencoba menenangkannya dengan memeluk sambil menyodorkan mainan favorit yang lain, namun wajah kecewa dan sedih  itu tetap tidak mau pergi dari wajah kecilnya.

Tiba-tiba bel pintu depan berbunyi, membuyarkan kegalauan kami. Bibi buru-buru berjalan ke pintu depan.  Aku dan Bumi masih berpelukan di ruang dalam sambil berusaha mendengar, siapa yang datang.

Lalu kudengar suara Bibi agak keras  dengan logat Ngapaknya,  memanggil Bumi, “Alhamdulillaaah, Dek... Adek, liat ini Oom Tep bawa apa Dek!”

Bumi pun langsung melepaskan diri dari pelukanku dan berjalan cepat ke pintu depan. Sesaat kemudian aku menyusulnya.  Di pintu depan, aku melihat Oom Tep sedang berjongkok sambil memegang sesuatu di tangannya.  Ternyata dia menemukan sebelah sepatu Cicit Bumi saat patroli semalam. Dan pagi ini setelah pergantian shift, dia mengembalikannya langsung ke tangan si pemiliknya.

Bumi pun sangat gembira, senyumnya langsung merekah. Bersamaan dengan merekahnya deretan gigi putih Oom Tep yang ikut gembira. Sejak saat itu Oom Tep selalu jadi Satpam Favorit Bumi, dan kami sekeluarga.

Oom Tep memang sosok yang unik. Dia selalu bersikap sopan pada semua orang, termasuk pada para asisten rumah tangga di kompleks kami.  Dia memang tidak pernah menyapa duluan, tapi saat kami menyapanya dia akan tersenyum manis sambil membalas sapaan kami dengan sopan. 

Dan di luar dugaan awal kami,  saat dia menjawab, ternyata warna  suaranya  cenderung kecil, tenor dan melengking ke atas di ujung kalimatnya. Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang gempal dan gelap. Pantesan saja dia jarang ngomong ya...? Hehehe...

Suara Oom Tep mungkin gak keren, tapi  ternyata dia adalah seorang penari yang sangat keren. Saat kami menyelenggarakan suatu pagelaran Budaya di lingkungan Perumahan dan Kantor kami, Oom Tep ikut berpartisipasi. Dia menjadi salah satu penari berkostum Papua dan menarikan tari Sajojo dengan sangat lincah, penuh penjiwaan. Make up yang detil, musik yang enerjik serta semangat para penarinya membuat tarian tersebut menjadi salah satu tampilan favorit untuk penonton.

Anak-anakku   pun menonton dengan bangga sambil bilang pada teman-temannya bahwa mereka mengenal penari yang paling lincah sebelah kiri.

“Itu yang kiri aku kenal lho, namanya oom Tep. Dia temen aku, dia suka jaga di pos Satpam dekat rumahku kalau shift malam,” kata Banyu pada Razi.

“Wah kamu berteman sama Satpam kah Ban?” Razi heran.

“Iya, aku suka kirim biscuit kalo dia sedang jaga. Biar dia gak ngantuk! Dia keren lho bisa melek sampe pagi dan siap menangkap kalo ada maling,” Banyu menambahkan.

“Memangnya pernah ada maling di kompleksmu?”

“Gak ada sih, malingnya juga males kali liat oom Tep!”

“Iya juga sih, lagian dia nari aja lincah. Apalagi ngejar maling ya Ban?”

Begitulah obrolan kebanggaan anak-anak kami  tentang  Oom Tep. Pokoknya sosoknya yang unik membuat anak-anak  kami pingin semua orang tahu bahwa mereka mengenal Oom Tep dengan baik.  Menurut mereka itu keren banget.

----

Suatu sore sekitar 3 bulan yang lalu, saat aku dan anak-anak  sedang bercakap-cakap, kami baru menyadari bahwa sudah lama, kami tidak menemui sosok Oom Tep.  Dia tidak pernah terlihat di  Pos Security depan, ataupun berpatroli di kompleks kami.  Bunyi motor Honda bututnya yang sering dipakai patroli juga sudah lama tak kami dengar. Kami pun jadi penasaran, jangan-jangan dia sudah berhenti bekerja di kompleks kami.

“Sudah lama ko Buk, ada tiga bulanan lebih, “ kata Bibi, saat aku tanyakan keberadaan Oom Tep.

“Lho dia cuti kerja apa keluar Bi? Kok sampai lama banget gitu?” Aku mengorek info dari Bibi yang lebih update soal perkembangan kompleks.

“Bulan lalu kan Bibi tanya ke pak Tajuddin, atasannya dia, pas bibi ketemu.  Kata pak Juddin, Stepanus balik ke kampung buk...”

“Ke Papua?“

“Iya ke Papua, kata pak Juddin izin sebulan karena udah bertahun-tahun gak nengok mamaknya. Tapi habis itu dia sempat kena malaria sampe setep katanya buk!”

“Hah? Step? Kejang-kejang maksudnya? Ya ampun... kasian banget. Malaria kan bahaya Bi, bisa menyebabkan kematian.”

“Lah ya itu Buk, kata pak Tajuddin sekarang  Stepanus udah gak ada kabarnya lagi. Sepertinya dia udah mati karena Malaria disana buk!”

“Innalillahi... ,  Ya Allah... eh serius bi? Pak Juddin bilang gitu?”

“Iya buk, kalo gak percaya coba deh ibuk telepon pak Tajuddin niih” kata bibi sambil nyodorin  Hp sabunnya.

“Eh gak usah, aku cuma kaget aja. Kok gak ada pengumuman apa-apa juga di kompleks. Kalo memang dia meninggal harusnya kita dikasih tau dong. Dia kan berjasa banyak untuk warga kompleks. Setidaknya kita bisa kasih perhatian duka cita kek, untuk keluarganya.”

“Keluarganya kan jauh Buk, di Papua. Kalo kata Oom Sabri temennya sih, di Papuanya masih masuuuuk lagi ke dalam. Di kampungnya susah sinyal.  Kalo mau nilpun, Stepanus kudu turun dulu ke kota. Terakhir Stepanus ngabarin Sabri kalo dia sakit sampai setep, habis itu gak pernah ada kabar lagi Buk, sampe sekarang.”

Begitulah, akhirnya kami sekeluarga harus menerima, bahwa lambaian tangannya, senyum gigi putihnya, bahkan ucapan Selamat sore oom Tep yang bernada tenor tidak akan ada lagi di hidup kami. Begitu ganasnya virus Malaria sehingga badan Oom Tep yang sebesar itu pun tak sanggup melawannya.

Kami hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Kelembutan hatinya yang berbanding terbalik dengan penampilan luarnya menjadi nasehat yang sangat baik bagi anak-anak kami.  Semoga Allah memberikan tempat terbaik untuk Stevanus, alias Oom Tep.

----

“Mam, aku salah liat gak ya...” kata suamiku suatu malam, saat pulang dari acara dinner di kantornya.

“Apaan sih? Kok Papap kaget gitu?“

“Itu di kursi Taman kita yang merah di pinggir jalan, ada Satpam lagi duduk.“

“Oh iya biasa memang Pap, kadang security kita kalau lagi patroli suka duduk di situ, sambil ngamatin pagar ke kampung sebelah dekat situ. Emang Papap baru tau?”

“Tau Mam tau, tapi tadi kulihat kok seperti Oom Tep!”

“Ah Papap jangan nakut-nakutin! “ kataku mulai bergidik.

“Gak nakutin, makanya Papap nanya! Coba deh Mamam liat di depan.”

Aku pun memberanikan diri berjalan ke jendela ruang depan, jantungku pun berdegup kencang. Tapi rasa penasaranku menggerakkan kakiku lebih cepat menuju jendela.

Bismillah. Tirai jendela depan kusingkapkan dan... kursi taman merah itu kosong!  Tidak ada siapa pun di sana!

“Ah Papap halu! Gak ada siapa-siapa! “ kataku setengah lega.

Suamiku berlari ke jendela, “Tadi ada, berani sumpah!” katanya.

Sayup-sayup aku mendengar suara motor berjalan menjauh.

“Apa udah pergi ya?” aku berspekulasi.

“Ya udah pergi pasti, tadi ada di situ kok sama motornya.“ kata suamiku.

“Satpam lain kali Pap? Mirip Oom Tep aja, sama-sama orang Timur.”

“Meskipun dalam gelap dan tanpa dengar suaranya, aku yakin Mam, itu Stevanus!” suamiku mengakhiri pembicaraan sambil masuk ke kamar mandi.

----

Dua hari pun berlalu, pembicaraan tentang Malam itu tidak kami ceritakan pada siapa pun. Kami tidak ingin menceritakan hal yang belum pasti pada anak-anak kami. 

Sore  ini adalah jadwal kontrol kawat gigi anak sulungku, Bydhari.  Sepulang sekolahnya jam 14.00 aku dan Bumi menjemput Bydhari di sekolahnya, untuk langsung pergi ke dokter gigi.

Setelah selesai ganti kawat dan membersihkan gigi, kami pun pulang.

Bumi duduk di Baby Car seatnya, ditemani Bydhari di sebelahnya sambil menonton DVD  film kartun SING yang kuputar di TV Mobil.

Saat cerita film sampai ke adegan Johny, si gorilla muda yang menyanyikan lagu "Im Still Standing" dengan suara emasnya, mobil kami sampai di Pos  Security depan kompleks.  Aku pun menghentikan mobil untuk diperiksa.

Tiba-tiba Bumi terpekik keras, “Oom Tep!”

Aku dan Bydhari terkejut.

Saat menoleh ke kiri, ternyata benar! Sosok Oom Tep berdiri tegak di situ! Tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Rambut dan wajahnya tidak banyak berubah. Aku seratus persen yakin, dia bukan Satpam lain yang hanya mirip, tapi dia memang benar Oom Tep yang dulu!

Dia memberi hormat sambil membawa cermin untuk memeriksa kolong mobil. Dia mengitari mobil kami dengan seksama.  Aku masih terkejut dan bingung mau berkata apa.

Saat Oom Tep sampai ke bagian mobil yang paling dekat dengan jendela tempat car seatnya Bumi, Bumi membuka jendela lebar-lebar sambil bertanya dengan keras, “Jadi Oom Tep masih hidup?!”

Teman-teman security yang lain pun tertawa keras mendengar pertanyaan Bumi. Salah satu dari mereka pun menjawab sambil bercanda, “Hidup lagi dia Dek! Sudah mati malaria kemarin! Hahaha.”

“Oom Tep sudah sehat Adek, kemarin  Oom sakit lama di kampung,” Stevanus pun menjawab pertanyaan Bumi sambil tersenyum.

 “Pantas lama sekali  kami gak liat Oom Tep patroli,” kataku.

“Iya Ibu, ada lebih lima bulan saya di kampung. Selain sakit saya juga rindu sama Mamma disana,” kata oom Tep sedikit tersipu.

“Syukurlah sekarang sudah sehat ya Oom.”

“Iya Ibu, dan Puji Tuhan saya masih boleh bekerja lagi di sini setelah lama pergi.”

“Kata Bibi Oom Tep sakit,  step terus meninggal! Hoax berarti ya?” Bydhari ikut nimbrung.

“Iya lho Oom, saya sampai sudah doakan supaya Oom Tep diberikan tempat terbaik!” saya menambahkan sambil bercanda.

“Iya Ibu, Tuhan Allah kasih saya kesempatan hidup kedua. Tadinya saya pikir saya mau mati. Sehabis demam dan kejang, sakit semua badanku, tidak bisa berjalan.  Mungkin doa ibu didengar Tuhan, di sini tempat terbaik saya untuk bekerja kembali...”

 

Begitulah, setelah obrolan hangat yang singkat dengan para penjaga keamanan sore ini,  kami pun meninggalkan Pos Security menuju rumah.  Hati kami terasa nyaman  dengan berita baik yang kami dengar.  Alhamdulillah, berita hoax yang tersebar bisa berakhir dengan manis, semanis senyum Oom Tep dengan deretan gigi putihnya.

Terimakasih Tuhan. Engkau kembalikan sosok unik ini kembali di antara kami. Dia pun bahagia bisa bertugas kembali untuk kami. Di tempat yang terbaik baginya menurutMu.

---the end---

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.