Hadiah dari Pak Chappy

Catatan personal dari halal bi halal The Writers dan launching The Writers Book Club

Hadiah dari Pak Chappy
 
Akhirnya, saya mendarat juga Qi Lounge Hotel Sultan di Senayan, Jakarta Selatan, lokasi halal bi halal The Writers dan launching The Writers Book Club—pada Sabtu, 14 Mei 2022. Meski sangat telat, dan tiba saat acara sudah berlangsung sekitar satu jam lamanya.
 
Masih ngos-ngosan, di depan kulihat Kang Maman (yang ternyata orang Makassar) sedang berbicara. Saya tak dapat menangkap kata-kata Kang Maman dengan baik. Mental masih heboh sendiri atas drama yang harus dilalui untuk bisa bergabung di acara super ini. Ada pernikahan keponakan yang wajib dihadiri sebelumnya. Disusul dengan merebaknya isu bahwa Senayan hari itu sebaiknya dihindari, karena bakal ada demo besar-besaran.
 
Abang saya yang pengasih itu telah melarang saya ke Senayan sama sekali. Jadilah saya bisik-bisik ke adik bungsu saat masih di acara pernikahan. Minta diantar, meski rasanya kalau pakai gojek motor mungkin bisa lebih cepat. Keputusan untuk tak naik taksi motor itu sungguh tepat ternyata, karena hujan turun sangat deras dalam perjalanan menuju lokasi acara!
 
Karena datang terlambat, akibatnya saya hanya berani duduk di belakang. Nggak punya nyali untuk ke depan donk, apalagi nyaris nggak ada yang saya kenal. Dalam hati saya hanya bisa menggerutu karena my partner in crime, mbak Binny Buchori, mendadak nggak bisa hadir. Selesai atur nafas buat menenangkan diri, saya masih beruntung karena sempat menangkap wejangan terakhir Kang Maman. Yaitu, agar kita berhati-hati dalam memilih pemakaian kata saat menulis. Terima kasih, Kang!
 
Beruntung juga, masih ada satu lagi pembicara: Pak Chappy Hakim.
 
Sungguh menarik menyimak "closing statement" Pak Chappy yang berlangsung selama sekitar 10 menit itu. Pak Chappy berbicara dengan gaya becanda dan santai, tapi sebenarnya ada peringatan serius dari beliau untuk kita bangsa Indonesia. Beliau prihatin dengan rendahnya tingkat literasi orang Indonesia. Mengingat bahwa kebanyakan arsip dan catatan sejarah penting bangsa kita tersimpan di negara Belanda, apabila kita tak memulai mencatat atau menulis mulai dari sekarang, jangan kaget kalau kelak anak cucu kita tak bisa menemukan catatan sejarah apapun tentang bangsanya sendiri.
 
Rupanya, pemikiran itulah yang menjadi salah satu—hanya salah satu—pemicu mengapa Pak Chappy sangat produktif dalam menulis dan menerbitkan buku.
 
Almarhum ayah Pak Chappy menyuruhnya menulis sekurangnya satu buku sebelum mati. Tapi, coba tebak, berapa buku yang sudah beliau terbitkan? Simak baik-baik: empat puluh empat buku (44), going on empat puluh lima (45).
 
Wuih, 45 buku! Dalam hati saya jadi bertanya-tanya, kira-kira, berapa banyak lagi ya buku yang akan diterbitkan Pak Chappy dalam sisa umurnya? Pertanyaan saya ini akhirnya tercetus juga, saat berlangsung sesi tanya jawab.
 
"Tidak tahu!" jawab Pak Chappy mantap.
 
Disambung Pak Chappy, yang jelas beliau pasti akan menerbitkan buku di setiap ulang tahunnya. Ketahui pula, bahwa buku yang terbit pada ulang tahun Pak Chappy bisa jadi tak hanya satu buku. Lihat saja, pada hari ulang tahun beliau yang ke-73, pada 17 Desember 2020 lalu, tiga buku sekaligus diluncurkan oleh beliau.
 
Selesai tanya jawab, saya langsung melesat ke meja pameran dan penjualan buku. Mau beli buku terbitan terakhir alias buku ke-44 Pak Chappy, Retired but Not Expired. Sambil berdoa semoga uang ngepas di saku bakal sama ngepas-nya dengan harga buku. Sayang doa tak terkabul. Jadi, sementara ini tunda dulu untuk membeli buku itu.
 
Ya sudah. Bisa dapat dua buku Pak Chappy lainnya dengan bayar seiklasnya juga sudah sangat menyenangkan. Tapi, lalu om Bud bilang ada buku yang gratis. Oh iya ya, tadi Pak Chappy juga mengatakan bahwa beliau membawa 30 bukunya. 10 Retired but Not Expired untuk dijual, 20 buku lainnya disumbangkan ke The Writers buat acara ini. Terserah mau diapakan.
 
"Sini, ikut gue," kata om Bud padaku.
 
Di meja display buku, dikeluarkannya sebentuk kardus. Berisi beberapa buku Pak Chappy, masing-masing judul hanya ada satu buku. Bagai kesetanan, saya meraup entah berapa buku.
 
"Aduh, gue pengen semua nih," kataku panik pada om Bud.
 
"Jangan! Ambil satu aja!" sergah om Bud.
 
Hikz, baiklah, saya kembalikan lagi buku-buku raupan kecuali satu. Tak pakai lihat lagi apa judulnya, hanya karena sampulnya menarik saja. Lalu, mata saya mencari sosok Pak Chappy di remang-remangnya ruangan lounge. Mau kejar tanda tangan. Tadi kan Pak Chappy sudah menyiratkan bahwa beliau berkenan memberikan tanda tangannya.
 
Pada akhirnya, saya bawa pulang total 8 buku hadiah dari Pak Chappy. Empat buku karangan beliau lengkap dengan tanda tangannya, empat lagi karya penulis-penulis lain. Tetap saja saya anggap semua itu hadiah dari Pak Chappy. Karena, buku-buku tersebut, yang saya terima dalam sebentuk tas kain (bersama baju kaus dari Bravebooks), adalah penghargaan yang saya terima karena bertanya dalam sesi tanya-jawab. Pertanyaan saya tujukan untuk Pak Chappy, maka artinya itu hadiah dari Pak Chappy juga donk. Kamu boleh tak setuju dengan pendapat saya ini, kawan…
 
Cerita belum berakhir. Malamnya, saat membongkar tas kain yang berisi 4 buku hadiah tadi, saya menemukan bahwa satu di antara empat buku itu adalah buku Pak Chappy juga. Untung saya belum punya, tapi, ah sayang belum sempat ditandatangani...   =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.