Berpulangnya Capt Cahyo teman saya
![Berpulangnya Capt Cahyo teman saya](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_64db4a2ebc1c6.jpg)
Kami pertama bertemu saat kelas dua di SMP 3 Jember. Dia pindahan dari SMP Surabaya. Karena badannya gede, dia ditempatkan sebangku dengan saya di barisan bangku paling pinggir nempel tembok kelas, supaya tidak mengganggu pandangan teman lain ke papan tulis.
Saya langsung tahu bahwa dia kidal, dan lidahnya pelat. Gak bisa mengucapkan R dengan sempurna.
Soal pelat ini sempat jadi masalah, karena kami adalah dua orang aneh di pelajaran bahasa Indonesia pembacaan sajak. Cahyo pelat, saya gagap. Jadi kami saling menertawakan keanehan kami sewaktu membaca sajak di depan kelas. Bu Zaenab, guru bahasa Indonesia kami mengira kami bercanda dan tidak serius dalam pelajaran, sehingga beliau mengeluarkan kami dari kelas, setelah sebelumnya mengelus muka kami masing-masing dengan buku paket pelajaran bahasa Indonesia yang tebal itu.
Soal pelat ini, juga jadi bahan becandaan saat Cahyo main atau nginep di rumah saya. Oleh ibu saya, pahanya sering di ‘cetol’ (cubit tebal) sambil ditanyain “Hayo, yo opo rasane perih gak, perih tah gak?” Cahyo lalu menjawab sambil meringis kesakitan “Ampun bu Tris, perihh…. periiihh” dan kami semua lalu ngakak karena perihnya Cahyo yang pelat itu jadi mirip semacam kata saru dalam bahasa jawa. Tapi Cahyo selalu datang ke lagi ke rumah saya untuk dicetol lagi sama ibuk saya. Begitu terus setiap kali. Begitu rupanya cara mereka saling mencintai.
Iya, Cahyo sering datang, dan bahkan beberapa kali menginap di rumah saya sejak SMP, lalu berlanjut di SMA karena kami juga satu SMA di Jember, walupun sudah tidak pernah sekelas lagi. Saya juga sering ke rumah Cahyo, tapi jarang menginap. Karena dia 3 bersaudara laki-laki semua. Dan badannya gede-gede semua. Serumah dia itu rasanya orangnya gede semua. Lagian kalo di rumah saya, kami superior karena adik-adik saya masih kecil, sementara di tempat Cahyo kami adalah inferior karena Cahyo bungsu. Kalau awu kami sama kakak-kakaknya, kalo di rumah Cahyo ????
Dengan badan segede itu Cahyo naik motornya adalah motor Binter Joy item yang imut kecil. Yang menguik-nguik kepayahan ditunggangi badan segede itu. Motor satunya adalah Vespa (kecil juga) warna biru. Vespa ini pernah dirudapaksa sewaktu kami ikut rombongan anak-anak sekelas (lupa saya momen apa itu) ke pemandian Rembangan yang jalannya naik curam dan tajam itu. Hawong dinaikin Cahyo sendiri di jalan rata aja Vespa ini sudah kepayahan, apalagi dinaikin boncengan kami berdua di jalan yang naik curam begitu. Ya jelas, dari tanjakan awal di daerah Patrang aja sudah mengejan itu Vespa sehingga kami sepanjang jalan harus turun gantian sambil sesekali mendorong.
Walhasil, saat kami akhirnya sampai di puncak, di pemandian Rembangan itu, anak-anak yang lain sudah beres acaranya, dan sudah akan balik pulang. Ya jadi kami ikut balik kanan juga tanpa menikmati acara di pemandian. Apes lagi pas jalan pulang turunan tajam, seling kopling Vespa putus! Saya lupa apa yang kami lakukan untuk mbenerin seling itu. Walhasil hampir Isya kami baru sampai rumah ????
Selepas SMA Cahya sebenernya keterima kuliah di Surabaya, tapi dia keterima juga dan akhirnya memilih mengambil sekolah pilot Merpati di Australia. (Saya juga ikut test itu, tapi tentu saja gagal dari awal).
Setelah itu simpangan jalan hidup membuat kami agak jauh. Beberapa kali dia mengirim kartu pos dari Ostrali dengan tulisan tangannya yang bulet-bulet kecil itu (gak cocok lagi sama badannya). Seingat saya, saya tidak pernah mengirim balasan kartu pos dari Tangerang. Ya apa hebatnya kartu pos dari Tangerang.
Lalu kami masing-masing sibuk dengan hidup kami. Jarang sekali kami kontak lagi.
Sampai suatu saat, saya yang waktu itu kos di Pondok Makmur Tangerang, rewang ke hajatan tetangga sebelah gang di gang Gigi. Anak gadisnya menikah. Waktu itu karena suatu sebab, tendanya agak telat datangnya, sehingga harus terburu-buru segera dipasang, karena rombongan mempelai sudah akan datang. Saya kebagian masang tenda itu. Pas tenda selesai dipasang, pas rombongan pengantin pria datang. Dan ternyata…………., pengantin prianya itu adalah Cahyo. Jadi saya itu ternyata rewang, untuk persiapan kawinan Cahyo dengan Ery anak tetangga gang sebelah rumah kontrakan saya. Hahahaha…. sungguh cara yang aneh untuk bertemu lagi setelah sekian lama tidak ketemu.
Jadilah malam itu setelah acara, Cahyo malah main ke rumah kontrakan saya untuk ngobral-ngobrol sampe malem ????
Saya inget, besoknya ternyata dia harus terbang, tapi lupa bawa dasi, jadi mampir lagi ke kontrakan saya
“Ben, duwe dasi gak?”
“Yo gak duwe lah! lapo aku kerjo nang pabrik, kok atek nggae dasi?”
“Yo wis ayok, kancani aku nang Kosambi njupuk dasi” lalu kami barengan naik mobil Cahyo ke Kosambi ambil dasi.
Setelah saya menikah dan tetap tinggal di rumah kontrakan yang sama, Cahyo beberapa kali datang ke rumah kalau sedang pulang ke rumah mertuanya di gang sebelah. Cahyo datang sambil gendong Dilan anak pertamanya. Dilan seneng main PS di rumah saya.
Lalu begitulah sekali lagi, rutin harian dan kesibukan memisahkan kami lagi. Hanya pesan WA yang biasanya dimulai dari saling mengucapkan lebaran. Beberapa kali ada obrolan lain selain lebaran tentang beberapa hal ini itu. Saya tahu bahwa Cahyo tinggal di Serpong di cluster P. Saya beberapa kali ke perumahan itu untuk beberapa urusan. Tapi saya belum berkesempatan sengaja nyariin dan main ke rumah Cahyo.
Terakhir saya ingat kami bertemu tidak sengaja di salah satu mall di Tangerang. Kami ber hai-hai sambil sekali lagi janjian mau saling main ke rumah masing-masing entah kapan kalau sudah ada waktu.
Sampai kemarin pagi, ada telpon dari teman Jember menanyakan apakah benar kabar tentang meninggalnya Cahyo. Pias saya tidak tahu harus menghubungi siapa. Saya nekat telpon hapenya Cahyo dan yang menerima Dilan yang mejawab telp saya dengan meminta maaf untuk Cahyo diantara isakannya. “Maafkan papa ya Om Beni”
Saya langsung nyengklak mobil dan akhirnya sampai juga di cluster P itu seperti yang sekian tahun lalu diinfokan Cahyo ke saya lewat WA. Tidak perlu saya cari tahu rumahnya, karena satpam sudah langsung mengarahkan ke rumah Capt Cahyo. Akhirnya saya sampai juga ke rumah ini. Bukan untuk bertemu Cahyo seperti yang sudah sekian tahun kami rencanakan, tapi pada saat jenazahnya sudah akan dimandikan. Saya menemui Erry untuk menjabat tangannya “Maafkan mas Cahyo ya mas Beni” Saya tidak bisa menjawab karena tidak tahu apa yang perlu saya maafkan dari Cahyo. Lalu saya menemui Dilan dan memeluknya. “Saya masih inget dulu sering main PS di rumah om Beni sama papah. Terima kasih ya Om, maafin Papa” Dalam suasana seperti ini, Dilan masih sempat mengucapkan terima kasih ke saya untuk suatu hal yang seremeh itu. Anak baik, yang dibesarkan oleh orang tua yang baik.
Lalu saya berusaha ikut mengangkat jenazah saat akan dikafani. Tangan saya berpegangan dengan tangan Dilan pas di bawah punggung bagian atas Cahyo. Dilan dan saya saling berpandangan. Saya berusaha keras untuk menahan air hangat yang sudah di kelopak mata saya, karena Dilan malah tersenyum ke saya “Ayo kita angkat papa ya Om Beni, Bismiillah”. Di sebelah saya Bintang anak kedua Cahyo juga mengangkat tubuh ayahnya berpegangan dengan orang lain.
Lalu setelah itu, saya memegang jarit untuk menutupi saat jenazah dikafani. Saat itu saya sudah tidak bisa menahan untuk tidak menangis. Saya berusaha tutupi pake jarit yang saya pegang sehingga jaritnya bergetar-getar.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun…..
Saya masih beberapa kali pecah nangis di mobil saat pulang ke rumah sore kemarin.
Sengaja saya muter ke jalur tol Cisauk supaya agak jauh rutenya sampai ke rumah.
Saya menuju rumah sambil mengenang Cahyo dan betapa fananya hidup ini, sementara Jenazah Cahyo menuju pemakaman di Kediri.
Wis yo Yon…. selamat jalan.
Sampai ketemu lagi
Ahlul Jannah insya Allah…
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.