PERJALANAN TERAKHIR #2
“Assalamualaikum,” sapa saya.
“Weits! Waalaikum salam. Apa kabar, Om Bud?” sahut Bartender menyambut saya dengan hangat..
“Alhamdulillah gue sehat selalu,” sahut saya langsung meletakkan pantat di bangku bar.
“Ada sebulan Om Bud gak ke sini, ya?” tanyanya lagi.
“Tepatnya 3 minggu,” jawab saya tersenyum.
Seperti biasa, Jumat malam saya nongkrong di Kafe Prestige. Meskipun selalu datang sendirian, saya tidak pernah merasa sendiri. Saking seringnya ke sini, saya sudah kenal dengan baik bartender, waiter, sekuriti, tamu-tamu tetap, band bahkan sampai tukang parkirnya pun sudah akrab banget.
Belum sempat order, bartender langsung meletakkan segelas bir dingin di hadapan saya sambil berkata, “Silakan, Om Bud.”
“Thank you.” Saya balas tersenyum.
Sambil menikmati bir dingin, mata saya menyapu ke seluruh sudut kafe. Suasana masih sepi. Cuma ada beberapa meja yang terisi. Maklumlah saat itu baru jam 8 malam. Sedangkan live music baru main jam 10.
Di bar hanya ada saya dan seorang tamu yang sedang membaca buku. Di depannya ada satu pitcher bir dan semangkuk french fries. Karena masih sepi, AC kafe terasa sangat dingin. Mungkin itu sebabnya Si tamu di sebelah saya mengenakan jaket. Tudung jaket dipakai sehingga menutupi seluruh kepalanya.
Entah merasa kalau sedang diperhatikan sekonyong-konyong tamu itu menoleh ke arah saya. Sambil membuka tudungnya, dia tersenyum lebar, “Hai, Bud. Akhirnya kita ketemu di sini.”
Seperti disambar petir saya melihat orang itu ternyata Dimas.,
“Astaghfirullah...Dimas? Ngapain lo di sini?”
“Lo kayaknya gak happy ketemu gue Hehehehehe...” kata Dimas sambil berdiri menghampiri saya.
“Dim, lo beneran gila. Ngapain lo ke sini?”
“Sama kayak elo, gue mau menghibur diri.”
“Dari mana lo tau tempat ini?”
“Kan elo yang bilang sendiri kalo lo sering nongkrong di Prestige.”
“Iya tapi gue gak pernah nyebut alamatnya.”
“Tinggal cari di Google map, apa susahnya?”
“Aduh! Gue gak tau harus ngomong apa. Apa kata orang kalo tau gue ngajak lo ke sini.”
“Lo gak ngajak gue, Bud. Gue dateng sendiri.”
“Tapi lo lagi sama gue, pasti orang nyangkanya gue yang ngajak.”
“Gak lah. Ini udah kali ketiga gue kesini. Jumat lalu gue kesini, Jumat sebelumnya gue juga.”
“Hah? Jadi tiap Jumat malam lo ke sini nyari gue?”
“Hahahaha lo GR banget. Gue kesini karena gue emang mau kesini. Dan lo bener, Bud. Kafe ini asyik. Gue enjoy banget di kafe ini.”
“Tapi, Dim...aduh, gimana, ya?” Saking bingungnya saya sampe garuk-garuk kepala terus.
Sejenak Dimas terdiam. Matanya menatap saya dengan tajam. katanya, “Kalo lo gak nyaman, gue pindah tempat aja kalo begitu.” kata Dimas sambil meraih gelasnya untuk pindah ke tempatnya semula.
“Dim...Dim...Dim...udah duduk aja di sini.” kata saya menarik pundaknya.
“Nah, gitu, dong. Itu baru namanya temen,” sahut Dimas duduk kembali di sebelah saya.
“Gimana kondisi lo, Dim? Gak memburuk, kan?”
Dimas tersenyum, merangkul saya di pundak dan berkata, “Kita berdua di sini mau happy-happy, Gimana kalo kita gak usah ngomongin soal penyakit? Setuju?”
“Okay, Dim.” Saya menghela napas panjang karena masih dirundung bingung. Gak nyangka dia bakalan nekat datang ke sini. Dengan perasaan gak keruan saya tenggak gelas bir sampai tandas tak bersisa. Karena diselimuti perasaan gelisah, saya meletakkan gelas di meja bar dengan keras sebagai tanda pada bartender bahwa bir saya sudah habis sambil berkata, “Pitcher!”
“Siap!” teriak bartender dari ujung bar.
“Lo naik apa ke sini, Dim?” tanya saya.
“Naik grab. Jadi lo gak usah kepikiran untuk nganter gue pulang.”
Dalam hitungan detik Bartender mengantarkan pesanan saya lalu menoleh pada Dimas, “Nah, akhirnya ketemu juga sama Om Bud, ya, Mas Dimas.”
Surprise juga saya mendengar omongannya bartender, “Gile! Baru 3X dateng elo udah akrab aja sama orang bar, Dim.”
“3X apanya? Mas Dimas setiap hari dateng kesini nyari Om Bud,” sahut Bartender polos.
“Hah? Tiap hari? Masya Allah!!!” Saya kaget bukan main sementara Dimas cuma cengengesan sambil mengunyah french friesnya.
Tepat jam 10, live music dimulai. Seperti biasanya di malam Sabtu, band dari Bandung yang tampil. Nama bandnya cukup unik “Gelas Ketiga’. Saya pernah bertanya pada pemain keyboard yang juga sekaligus leadernya, kenapa dia menamakan bandnya seperti itu. Lucky, Sang leader menjelaskan,
“Ada filosofinya, Om Bud. Beneran mau tau apa mau tau banget?”
“Weits, apa filosofinya?” tanya saya penasaran.
“Pengunjung kafe umumnya minum bir. Biasanya ketika mereka udah ngabisin 3 gelas bir, moodnya langsung bagus. Mereka mulai feel at ease. Jadi gue ngasih nama band gue ‘Gelas Ketiga.”
“Hubungannya apa?” tanya saya belum nangkep.
“Maksudnya band kita keren. Begitu main lagu pertama mood pengunjung langsung asyik seperti habis ngabisin 3 gelas bir.”
“Hahahahaha...keren, Bro. Salut gue.” Sejujurnya saya memang kagum sekali dengan pemikiran itu.
Saya suka banget sama band Bandung ini. Meskipun cuma memainkan lagu-lagu Top 40 tapi mereka memainkannya dengan sangat bagus. Band ini beranggotakan 8 orang. 5 pemain musik dan 3 orang penyanyi. Tepatnya dua penyanyi perempuan dan satu penyanyi cowok.
Dari ketiga penyanyi salah satu merupakan primadonanya. Namanya Mirsya. Orangnya cantik dan suaranya paling merdu. Banyak tamu yang naksir sama Mirsya termasuk saya. Banyak yang menggoda tapi Mirsya dengan sopan mampu menyikapinya dengan baik tanpa menyinggung hati fansnya.
Dan benar saja, baru beberapa lagu yang mereka mainkan, suasana langsung heboh. Beberapa tamu berjoget di dance floor. Bahkan ada seorang tamu perempuan yang naik ke atas meja dan berlenggak-lenggok mengikuti irama musik dengan gerakan erotis.
“Dari semua band yang main di kafe Prestige, gue paling suka band ini, Bud,” teriak Dimas berusaha melampaui kerasnya suara musik.
“Selera lo bagus, Dim,” jawab saya tersenyum.
Dimas sepertinya memang sangat menikmati band tersebut. Dia mematikan rokoknya di asbak lalu melangkah ke dance floor dan menari di sana. Terus terang saya terharu dibuatnya. Menyaksikan seorang pengidap kanker stadium 4 berdansa dengan wajah bahagia tentu tidak setiap hari bisa kita saksikan.
Begitu lagu selesai, Mirsya berbicara di depan mic, “Lagu selanjutnya bagaimana kalau kita minta Dimas untuk menyanyi....setuju?”
Heh? Saya kaget juga mendengar omongan Mirsya. Dimas? Menyanyi? Apa saya ga salah denger? Namun yang bikin saya tambah surprise, para pengunjung menyambut omongan Mirsya dengan antusias. Mereka berteriak dengan kompak seperti suara koor gereja, “Dimas...Dimas...Dimas!”
Anjrooot! Rupanya ini bukan kali pertama Dimas menyanyi di panggung. Buktinya banyak tamu yang sudah mengenalnya. Dimas mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti seorang artis yang sedang didaulat untuk menyanyi. Dengan langkah percaya diri, dia naik ke atas panggung dan menerima mic yang diberikan oleh Mirsya.
Saya tersenyum sendiri. Geli juga membayangkan temen saya ini hendak mempermalukan dirinya sendiri. Tapi gapapalah. Bukankah suatu hal yang biasa pengunjung kafe bersuara kaleng rombeng menyanyi? Apalagi kalau orangnya sudah mabuk. Hehehehe...
Selesai berdiskusi dengan personil band, Dimas berkata dengan suara lantang, “Gue mau nyanyi asal kalian semua tetap di dance floor dan kita joget bareng-bareng. Setuju????”
“Setujuuuuu!!!” Crowd ikut berteriak.
Musik dimulai dengan tabuhan pemain drum diikuti Dimas yang mulai bernyanyi. Dan sekarang saya yang langsung bengong terpaku. Kenapa? Ternyata suara Dimas luar biasa bagus. Kualitasnya tidak kalah dengan penyanyi profesional mana pun. Dia menyanyikan sebuah lagu dari Pearl Jam yang berjudul ‘Last Kiss’. Pengunjung langsung menyambut gembira. Mereka berjoget mengikuti lagu yang dinyanyikan oleh Dimas.
Terus terang saya merinding melihat adegan itu. Perasaan saya sulit dilukiskan melihat Dimas menyanyi dengan suara baritonnya. Setelah lagu selesai, Dimas menyerahkan mic pada Mirsya. Namun apa yang terjadi? Para pengunjung rupanya kurang puas dihibur oleh Dimas. Kembali suara koor membahana di kafe itu, “We want more...we want more...we want more..!!!”
Mirsya tersenyum lebar lalu menyerahkan mic kembali sambil memberi tanda agar Dimas menyanyi kembali. Dimas tidak menolak permintaan pengunjung. Kembali dia berdiskusi dengan personil band untuk memilih lagu. Selanjutnya dia berdiri menghadap penonton dan berkata di depan mic, "Ayo kita bakar malam ini dengan lagu Copacabana. Setuju????"
"Setujuuuuu!!!!!"
Untuk ke sekian kalinya Dimas mengguncang atap kafe sampai hampir rubuh. Lagu Copacabana yang dibawakannya benar-benar membakar kafe Prestige. Lagu yang biasa dibawakan oleh Bary Manilow ini memang beatnya enak untuk berjoget. Semua pengunjung histeris. Seperti monyet-monyet di atas pohon semua berjingkrak-jingkrak, berlompat-lompatan dan berteriak-teriak histeris mengikuti lagu yang dibawakan kawan saya ini.
Setelah lagu berakhir, Dimas kembali ke tempat duduknya di bar. Saya menyambut kedatangannya sambil mengangsurkan tangan mengajak tos. Dimas menepuk tangan saya. Wajahnya terlihat sangat bahagia. Dia duduk seraya menenggak birnya dengan ganas. Saya tersenyum sendiri. Menyanyi sambil berjoget dengan gerakan heboh pastilah sangat menguras tenaganya.
“Gue gak pernah tau lo bisa nyanyi sebagus itu, Dim,” kata saya dengan suara kagum.
“Lo gak pernah tanya,” sahut Dimas enteng.
Tepat jam 12 malam, band istirahat selama setengah jam. Di saat inilah kita bisa ngobrol dengan suara biasa karena tidak ada lagi suara musik yang hingar bingar yang mengganggu pendengaran.
“Eh, gue ke toilet dulu ya,” kata Dimas sambil melangkah pergi.
“Okay,” sahut saya.
Di jam istirahat biasanya orang berebut ke toilet. Apalagi di waktu week end, ngantrinya panjang banget seperti orang lagi ngantri pembagian sembako.
“Om Bud, aku boleh ngomong sedikit sama Om Bud?” Sekonyong-konyong Mirsya, Si Penyanyi Band, menghampiri saya.
“Iya boleh, Mir. Mau ngomong apa?” Saya menggeser bangku ke arahnya.
Misya duduk di sebelah saya dan langsung berbisik, “Om Bud sayang gak sama aku?”
Weits? Kenapa perempuan ini? Apakah benar saya masih punya pesona sehebat itu? Seorang perempuan cantik, primadona prestige, tiba-tiba melemparkan pertanyaan seperti itu. Untuk menyenangkan hatinya saya menjawab sambil tersenyum, “Ya sayang, dong. Sayang banget malah.”
“Kalo beneran sayang, Om Bud gak boleh bohong. Aku mau tanya sesuatu.”
“Kamu boleh tanya apa aja, Mir. Saya pasti akan jawab dengan jujur.”
"Okay, aku mau tanya. Emang beneran Mas Dimas masih jomblo? Emang beneran dia belum pernah menikah?”
Sebagai manusia biasa saya sedikit kecewa mendengar pertanyaan Mirsya. Kirain dia naksir saya, eh, gak taunya malah naksir Dimas. Hadoh! GR banget saya. Hahahahaha...
“Kamu naksir sama Dimas?” tanya saya tanpa tedeng aling-aling.
“Dikit. Hihihihihi...” sahut Mirsya malu-malu.
“Hahahahaha...Naksir, kok, dkit?”
“Namanya juga baru kenal, pasti naksirnya dikit dulu.”
“Oh, kalo naksirnya dikit, saya gak mau jawab. Kalo banyak baru saya kasih tau.” Iseng saya menggoda perempuan cantik ini.
“Hihihihi...iya, deh, banyak. Aku suka sama Dimas. Dia dewasa banget dan caranya ngomong dan sikapnya persis kayak Papa aku almarhum”
“Hehehehe gitu, ya? OK saya jawab, dia memang masih jomblo.”
“Kok dia masih jomblo? Kan umurnya udah banyak? Dia bukan gay, kan?” tanya Mirsya polos.
“Hahahahahaha...bukan. Dia cowo asli.”
“Okay, terima kasih ya, Om Bud. Aku makan dulu.” Mirsya meraih tangan saya lalu menempelkan tangan saya ke pipi seperti seorang santri pada ustadnya membuat saya merasa tua sekali.
Bertepatan dengan kepergian Mirsya, Dimas juga kembali ke bar. Saat keduanya berpapasan, Mirsya berkata, “Mas Dimas, nanti nyanyi lagi ya?”
“Boleh tapi honor band di bagi 9 ya?” sahut Dimas bercanda.
“Hihihihi...bisa diatur,” kata Mirsya seraya meneruskan langkahnya.
“Mirsya itu cantik banget ya, Dim.” Saya mencoba memancing perasaan Dimas.
“Iya dia cantik. Kalo punya anak, gue mau punya anak seperti dia.”
“Hahahaha....kok anak? Kenapa bukan istri?” tanya saya.
“Umurnya baru 19, Bud. Cocoknya memang jadi anak gue.”
Gak lama kemudian rombongan band sudah naik lagi ke atas panggung. Sekarang saya baru memperhatikan bahwa Mirsya sering mencuri pandang ke arah Dimas. Sementara Dimas sama sekali tidak memperhatikan hal itu. Saya geli sendiri membayangkan bagaimana kalau mereka jadian dan menikah dengan perbedaan usia 40 tahun. Pasti seru kali ya...
Malam terus merambat dinding malam. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 1 dini hari. Meskipun sebagian tamu sudah banyak yang pulang tapi suasana masih tetap heboh. Sampai akhirnya Mirsya berbicara dan mengundang Dimas untuk tampil, “Untuk kedua kalinya, saya akan panggilkan Mas Dimas untuk menyanyi.”
Tanpa ada keraguan sama sekali Dimas melangkah ke atas panggung. Berdiskusi dengan personil band lalu berkata ke arah floor, “Kali ini saya akan membawakan lagu slow. Sebuah lagu yang saya tujukan khusus untuk my best friend yang sedang duduk di bar, Budiman Hakim. ”"
"Yeay..." Penonton bertepuk tang dengan antusias.
Dimas menoleh ka arah bar, tangannya menunjuk ke arah saya sambil berkata, "Bro, this is for you!"
Saya tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah panggung. Wah, Dimas ini sepertinya tidak pernah berhenti membuat surprise. Sama sekali tidak terpikirkan bahwa dia akan menyanyikan lagu untuk saya. Kenapa dia tidak menyanyikan lagu khusus untuk Mirsya? Kalau dia mengajak Mirsya berduet pasti heboh.
"Sebuah lagu lawas yang berjudul Swan Song," kata Dimas lagi lalu mulai bernyanyi.
“This is my swan song, Whatever I do now, I do it well..”
Sekali lagi saya merinding. Saya cukup mengenal lagu itu. Sebuah lagu lama dari The Bee Gees. Sebetulnya saya tidak terlalu suka pada lagu ini tapi aneh bin ajaib, ketika Dimas yang menyanyikannya, lagu yang berjudul Swan Song ini mendadak menjadi indah sekali. Dimas menyanyikannya dengan penuh perasaan. Semua penonton pun terpaku seakan tersihir oleh suara Dimas yang membius.
“Keren banget suara lo, Dim. Bangga gue punya temen kayak elo,” kata saya ketika dia sudah duduk kembali di bar.
“Oh ya? Gue seneng kalo lo suka.”
“Gue suka banget. Sampe merinding gue denger suara lo tadi.”
“Gue juga happy banget ketemu lo di sini, Bud. Malam ini adalah malam yang
terbaik
di sepuluh tahun terakhir ini.”
Tidak ada pesta yang tidak bubar. Bartender menghampiri kami mengantarkan bill yang terpisah untuk Dimas dan saya. Namun Dimas dengan cepat merebut kedua bill tersebut sambil berkata, “Malam ini gue yang traktir, Bud.”
“Alhamdulillah. Kalo tau lo mau nraktir, gue pesen kepiting saos padang tadi.” Saya bercanda.
“Gue udah tau makanya gue gak bilang-bilang,” sahut Dimas menyahut dengan cerdas.
“Hahahahahahaha....”
Entah sipa yang memulai sekonyong-konyong kami berdua berpelukan erat sekali. Dimas menepuk-nepuk punggung saya.
Sekarang pandangan saya padanya berubah seratus delapan puluh derajat. Dimas ternyata adalah seorang yang sangat menyenangkan. Semua omongannya yang ketus di masa lalu dan keburukan-keburukan lainnya mendadak sirna tertiup angin malam.
Kafe Prestige sudah sepi. AC kembali menjadi dingin tapi kami berdua merasakan kehangatan yang muncul dari relung hati yang tersembunyi..
Saya menemani Dimas menunggu grab di halaman kafe. Kami merokok bersama sambil ngobrol ngalor-ngidul.
“Om Bud! Mas Dimas!” Tiba-tiba Mirsya muncul dari dalam kafe dan lari menghambur ke arah kami.
“Hey, Mirsya. Balik ke Bandung?” tanya saya.
“Nggak aku balik ke hotel. Besok Gelas Ketiga masih main di sini lagi. Dateng, ya, Mas Bud. Mas Dimas.”
“Insya Allah,” sahut Dimas pendek.
“Awas kalo gak dateng, aku marah," kata penyanyi cantik itu, "Okay aku pamit dulu ya. Sampe besok.”
Seperti tadi Mirsya meraih tangan saya dan ditempelkan ke pipinya. Selanjutnya dia menghampiti Dimas. Berbeda dengan perlakuannya ke saya, Mirsya memeluk Dimas dengan erat, mencium kedua belah pipinya sambil bergumam, “Ati-ati ya, Mas Dimas. Sehat selalu.”
“Kamu juga hati-hati, ya.” Dimas bersikap biasa saja seakan ciuman Mirsya adalah tindakan yang normal.
Gak lama kemudian grab pesanan Dimas datang. Sekali lagi Dimas menyalami saya sambil berkata, “Thanks again, Bud. See you tomorrow.”
Entah kenapa perasaan saya tidak keruan malam itu. Saya memandang grab yang ditumpangi Dimas sampai akhirnya menghilang di kelokan jalan.
Bersambung....
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.