Ratih Tidak Mati

Ratih Tidak Mati
Image by pixabay.com

Arrgghhhhh…braaaak…

 

Sepersekian detik, dia terjun bebas dari lantai 25 gedung kantorku, tak habis pikir dengan apa yang ada di pikirannya.

Semua penghuni kantor berdiri dan meninggalkan makan siangnya berlari menuju sumber suara teriak yang memekakan telinga .

“Siapa tuh yang jatuh?”

“Ini beneran ada yang bunuh diri?”

“ Gue ga tahu Sil, Kang Somad bilang tadi tuh si Ratih nangis-nangis, terus dia lari ke atas.”
“Nah si Somad kenapa kaga larang?”
“Emangnya Somad tahu, si Ratih bakal bunuh diri?. Ngaco lu ah”

“Bego ya si Ratih?”
“Heh, orang udah meninggal ngapain di bego-begoin SIlvianaaaaaa.”

 

Perempuan aktif seperti Ratih tak pernah ada yang akan mengira bahwa cinta membawanya menuju kematian.

Tidak ada yang tak mengenal Ratih, perempuan tengil, jahil, dengan stelan casual dilengkapi jeans sedikit sobek, tertawa kesana kemari. Semua sepakat bahwa Ratih adalah perempuan istimewa.

Banyak yang menaruh hati pada perempuan mungil, rambut selalu dibuntut kuda, kacamata yang kadang dia pakai di dekat poninya dan tas ransel kecil yang isinya perkabelan alat-alat digitalnya Ratih.

 

“Sil, Masek ganteng ya?”

“Apaan Rat? Masek? Ganteng? Mata lu rabun”

“Ih kok rabun, ganteng lah, coba deh kalau liat Masek senyum. Deuhhh deg-degan gue Sil”

“Lu mah karena takut diminta laporan makanya deg-degan ketemu Masek”

“Ih si Silvi, diajak ngomong nyebelinnya minta ampun. Bodo ah gue demen sama Masek”

 

Minusnya Ratih yang pertama, terlalu perfeksionis, tapi di balik perfeksionisnya kadang ada kebegoan yang hakiki. Di mata Ratih, Masek itu idealnya laki-laki. Halus memperlakukan wanita, cara bicara yang sangat membuat orang lain nyaman bila ngobrol lama sama masek, selalu senyum, dan yang paling digaris bawahi adalah Masek selalu shalat lima waktu.

 

Padahal Ray, Miko, Raka, Matt tergila-gila sama Ratih. Sudah berapa karton silverqueen mendarat di meja Ratih yang akhirnya kita yang habiskan, sudah berapa ratus paket berisi kopi yang semuanya ditujukan pada Ratih dan sudah berapa kali telpon nyasar ke resepsionis hanya untuk menanyakan kabar seorang Ratih.

Tak ada satupun yang nyantol di hati Ratih. Gila.

 

Masek, laki-laki biasa yang menurut gue, bahkan sangat biasa, begitu menyita perhatian Ratih.

Apa istimewanya Masek, tinggi biasa saja, masih tinggi Ray daripada Masek. Ganteng, masih gantengan Miko daripada Masek. Cerdas, masih cerdas Matt daripada Masek. Soleh, ya masih soleh Kang Somad yang wara wiri adzan di mushola, bersihin mushola, lipat sarung dan mukena yang berantakan.

 

“Sil, lihat Ratih nda?. Aku cari dari tadi ko nda nemu ya?”

“Tumben kamu cari Ratih, tanya soal laporan?”

“Hmmm, engga sih. Eh iya sih. Hmmm mana Ratih?”
“Simpan saja di meja keperluannya, nanti Ratih pasti kerjakan ko !”
“Hmm oke, ya sudah.”

 

Tiba-tiba aku membenci Masek, tidak ada kepentingannya sama sekali. Cuma ini laki-laki pengecut banget, kalau memang tidak mau sama Ratih kenapa harus biarkan Ratih menyimpan rasa sedemikian besar, kenapa biarkan Ratih menyayanginya sedemikian hebat.

 

“Masek, tunggu”

“Kenapa Sil?”

“Kamu sayang Ratih apa tidak?”
“Kok tiba-tiba tanya soal Ratih. Tadi aku di ruanganmu , kamu jutek banget.”
“Udah deh jawab aja.”
“Kalau aku tidak mau jawab?”

“Kampret lu, dah sana. Nyesel gue manggil lu”

 

Kan, memang super nyebelin Masek ini. Ratih dibuatnya mengistimewakan seorang Masek, padahal kalau aku perhatikan Masek tidak merespon dengan baik perasaan Ratih.

 

Wangi kopi sudah mulai menusuk hidungku yang ramping, pertanda Ratih sudah datang.

Grasak grusuk, suara plastik beradu.
“Pagi…lagi ngapain Rat?”

“Hmm ini Sil, beresin aja sih”
“Dih hobby ya beberes?. Eh kemarin dicariin Masek. Udah ketemu belum?”
“Masek cariin aku? Tanya soal apa?”
“Katanya simpan draft laporan di mejamu, ada?”
“Entah, rasanya tidak ada.”

 

Ada yang tidak beres, mata sembap, lingkaran hitam jelas terlihat dan sangat pendiam.

“Are you okay Rat?”
“Yeaaah.”
“Hey lihat aku, are you okay Ratih Martini?”
“Yeaaa, im oke Silviana”

 

Ratih meninggalkan aku dan kopi.

Jika saja aku tahu apa yang akan terjadi siang harinya, akan aku kejar Ratih, akan aku temani Ratih dan tidak akan aku biarkan bertemu Masek pagi itu.

Aku shocked. Aku ambil nafas dalam-dalam. Kubuat relax. Semalam kelas menulisku mengajarkan soal tombol rileks. Kalau semalam bisa buatku merasa ringan tanpa beban, kali ini aku harus bisa.

“Aku tak bersalah, aku tak bersalah. Aku sayang Ratih, sangaaat sayang Ratih. Maaf Rat, aku meminta maaf telah meninggalkanmu saat kamu butuh aku.”

 

Kuhela nafas panjang, kubiarkan diriku melepaskan beban soal Ratih, kutekan tombol rileksku, bismillah…aku tenang dan semakin tenang.

 

 

“Mba Sil, melamun jangan dalem begitu ah. Tuh dicariin Pak Masek”. Somad tersengal, suara dari mulut dan nafas berlomba takut keduluan.

“Duh, bukan urusan gue ah. Gue ga mau jadi saksi. Gih bilangin Pak Masek”. Somad nih ganggu banget ah.
“Tapi kan pagi tadi Mba Ratih bareng sama Mba Silvi.”

 

Ya ampun, dosa apa gue, yang masalah Ratih sama Masek, kenapa gue yang dicariin polisi.

Yang meninggal Ratih, yang bikin sakit hati Masek, kenapa gue yang dijadiin saksi.

 

“Sil sil…”
“Silviianaaaaaa…”

 

Perasaan gue ga enak, kenapa yang manggil bukan cuma Masek.

“Sini lo, tuh kucing lu mau dikubur di mana?”

“Hah, kucing?. Kucing sape?”

“Si Bontot, lu ga kasih makan ya? Keluar kendang tuh dia”

“Terus sekarang di mana?kok dikubur? Memang Bontot mati?

 

Huaaaaaaaaa….Bontoooooooot

 

“Eh, Sableng. Dari tadi kemana aja. Orang sibuk noh di lobby, nyariin yang punya kucing siapa?. Malah ngilang.”
“Ya kan gue merasa bersalah, tau gitu dari tadi gue temenin Ratih. Emang si Masek ini bener-bener deh. Gue harus kehilangan Ratih gara-gara si kampret itu dan sekarang si Bontot nyusul Ratih”
“Lu apaan sih? Ratih baik-baik aja. Tuh lagi dipeluk Masek, karena dia ga bisa selamatin Bontot”

“Loh Ratih ga jadi mati?”
“Meninggal Sil.”
“Eh iya, ga jadi meninggal”

 

Ah, Bontot. Maafin mamak ya.

Rupanya kamu yang lebih peka mendengarkan Ratih bercerita, rupanya kamu yang selamatkan Ratih. Seandainya kamu tidak membuat kaget Ratih, aku sudah kehilangan perempuan tengil yang paling sableng, Ratih.

 

Baik-baik ya Bontot, I love you.

 

 

#Bandung, 29 April 2020

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.