MAJIK

MAJIK

Kamituwo[1] menyerahkan dirinya jadi bahan bisik-bisik warga desa. Alih-alih mengundang warga desa untuk bergotong royong memasak di hajatannya, dia malah mendatangkan jasa boga dari desa lain. Biar warga tidak repot, dalihnya.

“Mewarisi tradisi kok repot. Kalau gitu aku juga ndak usah buwuh[2], biar ndak repot,” celetuk ibu-ibu desa dalam bahasa dan logat Jawa yang medok. Ramai gunjing gujirak di kalangan mereka; Kamituwo lupa daratan, bosan jadi orang desa, gaya-gayanya jadi orang kota padahal hidup dari tanah desa.

Majik[3] memang melelahkan, tapi biasanya tidak benar-benar begitu. Wajik yang dibuat saat hajatan rasanya legit karena dibuat beramai-ramai, begitu kata Mbah Besun yang diingat Iwung. Biyodo[4] membuat santan, memecah-mecah gula merah, mengukus ketan dan memotong-motong wajik yang sudah jadi. Sedangkan, pekerjaan aduk-mengaduk sudah pasti diambil alih sinoman[5] karena itu adalah pekerjaan terberat. Mereka bergantian mengaduk sehingga pekerjaan itu terasa ringan. Tapi di hajatan Kamituwo sama sekali tidak begitu,

“Bisa mati aku kalau gini caranya,” kata Mangun. Iwung mengiyakan sembari melepaskan napas panjang. Dia meluruskan kakinya di atas ember rusak. Satu-satunya kesempatannya duduk adalah setelah wajik matang dan menunggu bahan-bahan untuk majik berikutnya siap.

“Lagian, dari tadi kok ndak disuruh makan. Ditawari kopi aja, ndak. Garing tenan,” timpal Kar sambil menggeletakkan pengarih buatannya di atas amben. Iwung mengiyakan seraya mengisap rokok dalam-dalam. Bagaimana mungkin orang-orang itu memberi rokok, tapi tidak dengan kopinya, pikir Iwung.

“Coba lihat wajah mereka. Kecut. Bekerja dibayar kok malah susah dan tertekan. Ndak kayak biyodo dan sinoman, ndak dibayar tapi tetap senang. Bekerja, iya, berseloroh, juga iya. Satu makan, yang lain makan. Ndak peduli pekerjaan masih banyak.” Lagi-lagi yang dikatakan Kar sama persis dengan yang dipikirkan Iwung. Tapi Iwung hanya diam, daripada salah bicara malah jadi bumerang.

“Loh, ayo cepet, Mas. Tamunya keburu datang.” Suara Mbak Zul tiba-tiba menyambar, membuat Iwung dan teman-temannya kaget bukan alang kepalang.

“Jangan sampai wajiknya kurang apalagi ndak enak. Nanti aku yang digunjing orang,” lanjut pemilik jasa boga itu.

Inggih,” jawab Iwung.

Iwung melihat kedua temannya. Empat kali majik sungguh menguras tenaga. Mereka sangat butuh makan. Tapi meminta makan bukanlah kebiasaan mereka. Di tengah keadaan krisis itu, menunggu ditawari makan tetap adalah jalan keluarnya.

Ibunya Mangun datang membawa santan kanil dan menuangkannya di wajan perunggu yang sudah bersih. Pertanda bahwa majik kelima segera dimulai. Ibu-ibu di belakangnya membawa bahan lainnya. Mereka bercakap-cakap barang sebentar, kecuali Iwung yang melihat-lihat ke dapur; mencari celah agar bisa mendapat makan.

Tiba-tiba Mangun bilang,

“Wung … aku dan ibukku harus pulang. Ada tamu di rumah.”

Kar dan ibu-ibu yang lain juga terang-terangan minta izin pulang karena kelelahan. Apa mau dikata, Iwung tidak menemukan hal menarik di hajatan itu untuk mengiming-iming mereka agar berubah pikiran. Sudah beruntung mereka pulang baik-baik, tanpa menunjuk-nunjuk Iwung sebagai orang yang harus bertanggung jawab.

**

Sudah jelas-jelas namanya wajik. Bukan kotak atau persegi panjang. Iwung terus menggerutu dalam hati setelah melihat anak buah Mbak Zul memotong wajik tidak seperti yang dia contohkan sebelumnya.

Kesuwen[6], Mas. Kalau dipotong kotak-kotak ‘kan cepet,” jawab salah seorang dari ibu-ibu itu setelah ditegur Iwung. Iwung mengambil pisau dan wajik yang sudah dingin. Dia memotong lurus mendatar menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Lalu, memotong miring sejajar garis diagonal. Dalam sekejap Iwung berhasil menyelesaikan satu loyang plastik.

Ibu itu melengos. Iwung meninggalkannya begitu saja karena tidak ingin berdebat panjang. Dia ingin menemui Kamituwo untuk pamit. Tenaganya hampir tak bersisa. Dia tidak sanggup meneruskan majik sepeninggal teman-temannya.

Kamituwo ingin pesta pernikahan seperti di kota. Bajunya, hiasannya dan juga masakannya. Makanya, dia membayar tukang masak bekas TKW di luar negeri. Tidak ada makanan tradisional, termasuk wajik.

Selama menjabat Kamituwo, sudah tiga kali lelaki tua itu kawin. Itu yang dirayakan, tidak tahu berapa kali yang diam-diam. Semuanya tidak langgeng. Tidak pernah ada wajik di pesta-pesta itu. Kali ini, Iwung yang memaksa membuat wajik. Malam itu, dia nekat mengajukan diri dan meminta uang pada Kamituwo. Dia pergi ke rumah Mangun, Kar dan beberapa ibu-ibu desa untuk meminta bantuan majik.

Mbah Besun pernah bilang, wajik itu doa dan harapan biar pengantin terus lengket dan susah dipisahkan, kehidupan rumah tangganya terus harmonis, semua usaha dan pekerjaan yang dijalani bisa membuahkan hasil yang sangat manis.

“Jadi apa ndak itu wajiknya? Kalau ndak, ya aku ganti kue lainnya.” Suara Mbak Zul begitu menggelegar, mengalahkan suara musik dari pelantang.

Iwung berhenti berjalan. Tubuhnya oleng. Perutnya seperti diremas-remas sampai mual. Dia duduk sebelum jatuh. Mbak Zul masih terus bertanya dan mendesak Iwung segera membuat keputusan. Di saat yang sama, Iwung melihat buah nangka sisa es teler yang dibuat orang-orang itu. Iwung tahu perutnya membutuhkan sesuatu untuk dicerna.

**

Kira-kira saat Iwung mulai disuap pisang kerik oleh ibunya; bapaknya merantau. Entah jadi kuli apa, pokoknya jauh sekali katanya. Iwung tumbuh besar dengan ibunya. Kalau saja tidak ada foto bapaknya di dinding ruang tamu Mbah Besun, dia tidak pernah tahu bagaimana rupa bapaknya.

Bapaknya juga tidak pernah tahu bagaimana Iwung bertumbuh menjadi seorang yang suka bekerja. Iwung ikut ibunya menjajakan peyek kacang hijau. Selain itu, Iwung ikut Mbah Besun berjualan kelapa. Mbah Besun sering mengantar kelapa ke orang hajatan dan sekalian majik bersama warga desa. Sehari-hari, Iwung dan ibunya menumpang di rumah Mbah Besun.

Pernah sekali, bapaknya Iwung pulang. Dia membawa banyak uang. Mereka membangun rumah, mendaftarkan Iwung ke SD dan membeli sepetak kebun. Iwung mulai bersekolah. Beberapa bulan berlalu, bapaknya Iwung pergi lagi. Dia pergi meninggalkan rumah yang masih tiga per empat jadi dan juga janin di dalam rahim ibunya Iwung.

Suatu hari, ibunya Iwung berpapasan dengan konvoi motor ke Pantai Selatan. Mereka kebut-kebutan sampai ada yang terperosok di lubang jalan yang dalam. Pengendaranya hilang kemudi lalu jatuh. Motornya terpelanting menabrak ibunya sampai terlempar ke jurang puluhan meter. Pengendara itu selamat dan utuh, tapi ibunya Iwung dan peyek kacang hijau yang dibawanya hancur mengenaskan.

“Ngaduk santannya sambil duduk aja, Mas, biar ndak capek,” kata salah seorang pemuda penjaga genset.

“Kata Mbah Besun, mengaduk santan dan wajik harus dengan berdiri dan penuh kesabaran. Itulah kunci gurihnya.” Iwung menjawab sambil membayangkan wajah semringah Mbah Besun karena bangga padanya.

Majik kelima dimulai. Setelah makan nangka cukup banyak, Iwung merasa sedikit bersemangat. Dia makan nangka bersama pemuda-pemuda penjaga genset. Setelahnya, dia meminta bantuan mereka untuk mengaduk wajik. Iwung berangan-angan membuat wajik terakhir yang istimewa, khusus untuk tamu-tamu penting yang katanya akan datang di ijab kabul sore itu. Iwung dan para pemuda memegang pengarih masing-masing, mengaduk santan kanil biar tidak pecah. Terus dan terus diaduk sampai meletup besar-besar lalu keluar minyak.

Iwung melihat santan itu mirip dirinya, sama-sama butuh proses panjang untuk matang. Selama ini, Iwung selalu bingung jika disuruh memilih. Hidup tidak pernah memberinya pilihan, tapi keadaan. Baginya, hidup adalah kemauan menurut pada keadaan. Tapi kali ini, dia menjalani hidup karena pilihannya sendiri. Majik adalah keputusan terbesarnya selama hidup. Dan dia memilih untuk terus majik meskipun teman-temannya pergi.

“Gula merah. Masukkan semua!” seru Iwung. Iwung merasa dirinya melayang. Belum pernah dia memerintah orang lain dan dituruti. Paling-paling hanya memerintah adiknya. Itu pun jarang karena adik perempuannya berhati lembut dan penuh pengertian.

Setelah pemakaman ibunya, berhari-hari Iwung mengandai-andai di pinggir kuburan. Andai saja bapaknya adalah Kamituwo, Bayan atau Lurah, ibunya tidak perlu berjualan di jalan sampai bertemu ajalnya. Semakin dia mengandai-andai, semakin dia ingin menggali kubur itu dan tidur bersama ibunya. Selamanya.

Tapi kabar baik datang kemudian; adiknya bisa menyelesaikan SMA-nya karena Kamituwo sanggup membiayai. Iwung menyebut adiknya malaikat. Selain wajahnya yang sangat jelita, dia selalu menolongnya keluar dari kesusahan. Hanya dia yang dipunya Iwung. Bapaknya entah di mana. Bahkan sampai Mbah Besun berpulang, bapaknya belum pulang lagi.

Iwung merasa benar-benar melayang. Seperti hilang tulang dan dagingnya. Tiba-tiba dia ambruk di sebelah tungku kayu bakar. Gula pasir yang akan dituangnya ke wajan jadi berhamburan. Dia berusaha meluruskan badan untuk melanjutkan tugasnya. Hanya tinggal melarutkan gula-gula itu, lalu memasukkan ketan yang sudah matang dan harum. Setelah itu memasukkan nangka yang sudah diiris kecil-kecil. Itulah yang membuat wajik terakhir menjadi mewah. Kemudian, wajik diaduk-aduk sampai berminyak dan tidak lengket. Lalu, selesai.

Iwung memegang dadanya seperti menahan nyeri. Kepalanya pusing dan berdenging. Suara orang-orang terdengar seperti kawanan lebah terbang. Tubuhnya dibasahi keringat dingin. Beberapa kali dia berusaha memanggil adiknya, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara ‘huwek … huwek’ seperti mau muntah. Orang-orang membantunya berdiri, tapi tubuhnya semakin lunglai dan akhirnya bergeming. Semua bertanya-tanya, bagaimana jadinya ijab kabul Kamituwo dan adiknya Iwung nanti, jika wali nikahnya sekarat begitu.

***

 

[1] Kepala Dusun; ada dalam sistem pemerintahan tingkat desa di tradisi Jawa

[2] Uang atau barang yang diberikan tamu undangan pada tuan rumah pesta atau hajatan

[3] Membuat kue wajik. Kue wajik rasanya manis, terbuat dari beras ketan, kelapa, gula. Sangat umum disuguhkan saat acara hajatan.

[4] Sebutan untuk perempuan yang membantu memasak di hajatan tetangga

[5] Sebutan untuk laki-laki yang membantu memasak dan pekerjaan lainnya di hajatan tetangga

[6] Kelamaan

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.