Semangkok Bubur Kacang Hijau

Garis pemisah antara hidup dan matinya begitu tipis.

Semangkok Bubur Kacang Hijau

Bubur kacang hijau adalah panganan sederhana, manis legit, empuk dengan siraman gula merah bercampur santan dan sedikit campuran ketan hitam, yang mempunyai arti mendalam bagi Dea. Seperti juga aroma Drakkar Noir. Untuk alunan vokal, lagu You’re My Everything by Santa Esmeralda mempunyai arti yang mendalam bagi Dea. Setelah sekian lamanya, tiba-tiba semua itu seperti datang begitu saja berturut-turut menghampiri Dea.

Malam itu, Dea terdiam menahan sakit karena rasa kaku di betisnya. Ia menantap pecahan beling di sekitar kakinya. Pikirannya lari kesana-kemari. Ia tidak mengerti, kenapa belakangan ini sering terjadi sesuatu hal yang mengembalikan ingatannya pada peristiwa 32 tahun yang silam.

***

Akhir tahun 1989, tepatnya tanggal Tujuh Desember, Dea menebar senyum manis ke sekeliling rumah, tinggal sebulan lagi katanya dalam hati. Tergopoh-gopoh Dea menyiapkan barang-barang yang ingin ia bawa pergi hari itu. Tanpa berdandan dan dengan berpakaian santai, kemeja pink dan celana panjang longgar, Dea berlari ke dalam mobil sambil menenteng sepatu barunya.

“Jangan ada yang ketinggalan,” Ibu Dea sudah lebih awal berada di dalam mobil mengingatkan Dea.

Hari itu Dea sudah membuat janji dengan penjahit baju gaun pengantinnya untuk fitting. Di dalam perjalanan menuju ke sana, Dea bercakap-cakap dengan Ibunya seputar persiapan pesta pernikahannya dengan Bimo. Terkesan kedua ibu dan anak begitu santai dalam percakapannya layak seperti dua orang sahabat yang sedang bertukar pikiran.

Sesampainya di sana, seorang lelaki berusia hampir 60 tahun berdiri di ruang kerjanya menyambut ramah Dea dan Ibunya. Langsung penjahit tua itu mempersilahkan ke dua perempuan itu masuk ke kamar ganti. Di sana sudah tergantung sebuah gaun pengantin putih terbuat dari kain satin bermotif bunga samar-samar. Ibu Dea membantu putrinya untuk mencoba gaun pengantin itu. Terdengar suara cekikikan keduanya dari dalam ruang ganti baju. Entah apa yang mereka tertawakan, sepertinya ada sesuatu yang lucu.

“Wah, kamu cantik sekali,” setengah berteriak sang penjahit memuji Dea.

“Siapa dulu Ibunya,” sahut sang Ibu.

“Mungkin sama semua calon pengantin Om Peter akan mengatakan hal yang sama.”

“Kalau memang cantik saya akan mengatakan sejujurnya, tetapi kalau tidak begitu cantik saya memilih tidak berkomentar,” Om Peter menjelaskan dengan serius.

Di muka cermin yang besar, Dea mengagumi dirinya sendiri. Betul, ia terlihat cantik. Ditambah dengan sepatu baru berhak tinggi, ia nampak lebih langsing. Dea puas dengan pilihannya, gaun satin putih yang sederhana sangat sesuai dengan kepribadiannya. Ada suatu perasaan Dea yang tidak sabar untuk menuju hari pernikahannya.

Dari tempat penjahit, Dea dan Ibunya pergi ke salon, juga sudah ada janji untuk test make-up.

Sesampainya di salon, kasir menyampaikan ada pesan dari Ayah Dea, untuk meminta Ibunya segera menelepon ke rumah. Dea langsung menuju ke salah satu tempat duduk. Tidak lama kemudian dari cermin di depannya ia bisa melihat Ibu dengan wajah tegang tengah menghampirinya. Beberapa saat Ibu berdiri terdiam di dekat Dea.

“Ada apa, Ma?”

“Dea, Papa panggil kita pulang,” Ibu Dea menyampaikan berita ini dengan sangat hati-hati.

“Ada apa? Kan bikin janji sama orang salon ini susah loh, Ma,” jawab Dea kebingungan.

“Mungkin ada yang penting di rumah, kita pulang  dulu yuk,” bujuk Ibu Dea.

Juru hias, kebetulan namanya Peter juga, sedang berada di dekat Dea. Ia nampaknya tersentuh melihat adegan ini, segera berkata, “Tidak apa-apa Dea. Setiap saat kamu mau datang kami pasti siap.”

Thank you, Peter,” Dea tidak ada pilihan lain, ia kembali mengemas barang-barang bawaannya dan berjalan keluar salon sambil pamitan dengan lelaki perlente itu.

Dea pun mengikuti Ibunya, langsung masuk mobil. Perjalanan pulang terasa sangat jauh sekali. Ibu selalu menjawab tidak tahu ketika Dea mendesak ada apa. Lalu kemudian Ibu memilih untuk diam. Hening. Ibu pun lebih banyak menolehkan kepalanya ke arah luar jendela mobil. Suasana riang ketika berangkat berubah sirna menjadi sangat sunyi. Menegangkan.

Sesampainya di rumah, Dea langsung setengah berlari masuk mencari Ayahnya. Ternyata di ruang tamu sudah ada Ayah Dea bersama dengan orangtua Bimo. Tidak ada senyum sedikitpun di wajah semua orang ketika Dea menyapa mereka. Semua nampak tegang. Bimo, tunangan Dea, bangkit berdiri menghampiri Dea, dan mengajak duduk di sebelahnya.

“Ada apa, Bimo?”

Seluruh suasana rumah siang itu sangat tidak seperti biasanya. Ayah yang selalu periang, duduk termenung. Akhirnya, Ibu Bimo dengan sangat susah berusaha membuka mulutnya. Dea mengerutkan keningnya mena­tap calon mertuanya, menunggu tidak sabar.

“Begini...,” Ibu Bimo hanya sanggup mengeluarkan satu kata itu saja.

“Ada apa?” tanya Dea hampir berteriak.

“Bimo sudah periksa darah sesuai kehendakmu,” tiba-tiba Ayah Dea buka mulut.

Memang Dea berulang kali minta Bimo periksa darah sebelum menikah. Dea sering melihat dari sinetron film Barat, kalau ada calon pengantin, keduanya harus periksa darah sebelum menikah. Jadi tanpa tahu jelas apa alasannya, Dea pun hanya ikut-ikutan saja. Dia sudah terlebih dahulu mengambil inisiatif untuk memeriksa darah. Berulang kali ia memaksa Bimo untuk juga memeriksa darah.

Dea spontan menoleh ke Bimo seketika terdengar mulai membuka mulut. Entah kenapa jantung Dea berdetak cepat.

“Saa.. sayaa…”

“Iya Bimo!” Dea tidak sabar menunggu apa yang ingin Bimo katakan.

Kembali hening. Bimo memegang tangan Dea, menggenggam erat.

“Saya… kena leukimia,” akhirnya Bimo menyelesaikan kalimatnya.

“Apaaa?” teriak Dea

“Kanker?”

Bimo hanya menganggukan kepala perlahan, sambil terus menerus mengusap-usap tangan Dea.

“Parah?”

“Ehmmm.... stadium empat.”

Dea benar-benar merasa seperti disambar petir di bawah teriknya matahari.

Nooooo, Bimo please jangan becanda,” langsung Dea berteriak histeris. Ia berulang kali berteriak kata No, sambil menutup mulutnya. Air matanya pun ikut turun.

Ibu Dea langsung menghampiri putrinya dan berusaha memeluknya dari belakang. Dea secara spontan langsung menepis tangan ibunya.

“Betul sayang,” Bimo memeluk erat Dea sambil mengusap kepalanya.

Dea pun segera melepaskan dirinya dari pelukan Bimo, sekilas Dea masih merasakan harumnya Drakkar Noir dari tubuh tunangannya ini. Dea langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi, mengunci pintu. Di sana Dea langsung menjatuhkan dirinya dan duduk di lantai, ia menangis sejadi-jadinya. Mukanya tenggalam dalam kedua lututnya. Tiba-tiba ia merasa mual dan seperti sudah tidak tertahan, ia muntah.

Tangis Dea tak henti-hentinya. Sulit Dea menguasai dirinya. Ia cukup lama diam di dalam kamar mandi itu. Sampai terdengar ketukan pintu, Bimo meminta Dea untuk keluar dari sana. Perlahan Dea memberanikan diri untuk membuka pintu.

Dea kembali duduk bersama keluarga. Bimo dengan sabar duduk di sebelah Dea sambil memeluknya.

“Dea, demi kebaikan semua, pernikahan kita sebaiknya kita batalkan saja ya,” Bimo berkata perlahan sambil mempererat pelukannya. Dea tetap masih menangis teriksa-isak.

“Dea, life must go on.”

Kamu sangat beruntung,” kata Bimo, kemudian dia diam sejenak.

“Kalau baru ketahuan sakit saya ini setelah kita menikah, belum apa-apa kamu sudah bisa jadi janda,” ujar Bimo perlahan.

Dea tidak mampu berkomentar, ia makin menangis sejadi-jadinya. Ia tidak dapat berpikir apapun. Jantungnya masih berdetak cepat. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Kedua perempuan, Ibu Dea dan Ibu Bimo, juga sudah tidak dapat menahan air mata mereka.

Sebetulnya Dea tidak dapat menerima kenyataan itu. Kenapa hal ini harus terjadi pada dirinya. Semua persiapan pernikahan sudah hampir rampung. Termasuk, mereka juga sudah mempersiapkan rumah tinggal untuk mereka tempati nantinya. Satu katapun tidak keluar dari mulut Dea. Ia hanya termenung dan menangis. Pikirannya kosong.

***

 Dea sadar dan teringat, belakangan ini memang Bimo nampak sering cepat letih. Ia mudah tertidur di manapun. Mukanya pun terlihat agak pucat. Terkadang Bimo nampak seperti malas-malasan, tidak begitu semangat melakukan sesuatu, apalagi sesuatu pekerjaan yang memerlukan tenaga.

Walau pahit, perih, dan sakit, tidak ada pilihan lain, Dea harus dapat menerima kenyataan ini. Pernikahannya dengan Bimo hanya tinggal mimpi. Dea bertekad akan mendampingi Bimo dalam melawan penyakitnya sampai kapanpun.

***

Selama hampir setahun Bimo menjalankan pengobatan, Dea selalu menemani dan melayani seluruh kebutuhan Bimo dengan setia. Dea tetap menempatkan dirinya sebagai tunangan Bimo. Sesungguhnya Bimo lebih menginginkan Dea melanjutkan hidupnya tanpa harus menanggung beban mengurus dirinya. Namun Dea bersikeras tetap ingin bersama Bimo. Bimo pasrah, tetapi hati kecilnya ia senang, dan sangat berterima kasih atas keputusan Dea. Keberadaan Dea di sampingnya sangat berarti luar biasa untuk Bimo. Orang yang ia cintai masih dengan setia mendampingi dirinya dalam perjuangan mempertahankan hidupnya. 

Seperti hari-hari sebelumnya, siang itu Dea menemani Bimo dalam pengobatan kemoterapi. Dalam perjalanan pulang, Bimo mengungkapkan ia ingin makan anyang sampelo. Makanan daun singkong dan daun pepaya khas orang Padang peranakan.

“Anyang sampelo? makanan itu sudah punah kali,” canda Dea.

Dengan cepat dan sangat rinci Bimo mengajarkan Dea bagaimana memasaknya.

“Masak saja. Dah sini saya ajarkan kamu cara membuat anyang sampelo. Rebus daun pepaya dan daun singkong, tiriskan dan peras. Terus tumis bumbu urap yang ditumbuk halus, kasih santan kental sedikit dan kacang tumbuk. Campur rebusan kedua daun tadi dengan bumbu. Beres deh.”

“Sok tahu kamu,” Dea menanggapi.

“Percayalah.”

Prinsip hidup Bimo adalah hidup untuk makan. Jadi ia betul-betul menyukai segala macam makanan, baik makanan Indonesia maupun international. Dea banyak belajar dari Bimo seputar dunia kuliner. Bimo juga banyak tahu mengenai cara memasak berbagai masakan, dan bahkan ia banyak mengetahui sejarah dari berbagai makanan. Padahal Bimo bukan seorang juru masak, atau ahli sejarah.

Bimo pun tahu tempat-tempat makanan yang enak-enak mulai dari restoran bintang lima sampai jajanan kaki lima. Restoran mewah bahkan sampai ke warung di pelosok-pelosok, Bimo banyak tahu. Mungkin karena pergaulannya sangat luas, jadi ia dapat banyak informasi mengenai keberadan tempat-tempat makan itu.

Memang Bimo bergaul sangat mudah dengan siapa saja, orang menyukai berteman dengannya. Teman-temannya datang dari berbagai kalangan, dari anak presiden, pejabat, bintang film, pedagang, petani, tukang parkir, sampai preman jalanan.

Dea kagum menatap pacarnya ini. Orang yang begitu optimis. Tetap riang. Semangatnya begitu tinggi, selesai menjalankan kemoterapi sekalipun ia tidak pernah mengeluh mual atau lemas. Bimo malah yang lebih membawa semangat terhadap orang di sekelilingnya. Di lain pihak, hati Dea terasa teriris-iris melihat Bimo yang makin hari makin kurus.

“Dea, saya kangen sama teman-teman,” tiba-tiba Bimo mengeluarkan isi hatinya.

“Your wish is my command,” bisik Dea.

***

Minggu siang, hari itu di rumah orang tua Dea, ia ingin membuat kejutan untuk Bimo. Beberapa hari sebelumnya, Dea minta salah seorang teman Bimo untuk mengumpulkan beberapa teman lainnya untuk memenuhi keinginan Bimo bertemu dengan para sahabatnya. Ternyata siang itu yang datang diluar perkiraan Dea. Banyak sekali. Suasana rumah tiba-tiba seperti sedang berlangsung hajatan besar.

Untung rumah orang tua Dea cukup besar menampung orang sebanyak itu. Dan untung pula Dea menyiapkan makanan yang cukup berlimpah. Sudah menjadi kebiasaan Bimo bila ada acara, ia selalu senang menghibur siapapun dengan sajian beraneka macam makanan dan minuman.

Kali ini Dea menyajikan masakan khas kesukaan keluarga Bimo. Bistik dan lumpia Padang. Keluarga Bimo baik dari pihak Ibu dan Ayah, mereka berasal dari Padang. Kedua masakan ini sangat khas makanan peranakan Padang, biasanya memang disajikan pada acara pesta. Dea juga menyiapkan beberapa masakan lainnya seperti sop buntut, mie goreng, udang pete balado, kalio ayam, dendeng batokok, dan tentu anyang sampelo. Tersaji pula beberapa kue tradisional. Tidak ketinggalan minuman hangat dan dingin.

Ketika Bimo masuk ke dalam ruang tamu, ia berjalan perlahan dengan tongkatnya. Ia nampak terkejut melihat teman-temannya sudah begitu banyak berada di dalam ruang tamu. Tampak ada rasa haru di wajahnya.

Satu persatu teman-teman menghampirinya, menyalaminya, dan memeluknya. Bimo selalu membuat kelakar ketika menemui teman-temannya. Ada-ada saja komentar lucunya, meledek teman-temannya itu.

“Dul, ikut gua mau ga?” tanya Bimo kepada temannya yang satu ini, memang temannya yang berbadan kecil ini sering mendapat bully karena keluguannya.

“Siap boss,” jawabnya polos.

“Kemana?” sambungnya bertanya spontan.

“Surgalah, emangnya ke kasino.”

Terdengar pecah suara dari semua orang yang berada di sana.

Si Dul terdiam sambil mesem-mesem.

Sambil melihat ke sekeliling ruang, Bimo tersenyum lebar.

“Wah, orang naik haji yang ngantar aja ga segini banyaknya. Gua kan cuma mau naik ke Surga, lebih dekat dari Mekah,” celetuk Bimo, semua teman-temannya kembali tertawa.

Ketika melihat seluruh sajian di atas meja, matanya nampak bergerak cepat dari satu masakan ke masakan lainnya. Dan ada beberapa kali ia tampak menelan ludah.

“Mana bubur kacang hijaumu?” tanya Bimo

“Wah, lupa,” jawab Dea sambil menepuk dahi.

Bimo suka sekali bubur kacang hijau buatan Dea. Menurutnya bubur itu selalu dibuat dengan cinta. Dea selalu merendam biji kacang hijau bercampur sedikit ketan hitam semalaman. Lalu sebelum menggodoknya, ia terlebih dahulu mengsangrai biji kacang hijau itu sampai harum. Baru setelah itu, Dea menuangkan air panas, dan membiarkan bubur kacang hijau menggolak sampai matang. Sentuhan akhir daun pandan, daun jeruk, sepotong jahe, gula aren, dan santan membuat Bimo tergila-gila pada bubur kacang hijau masakan kekasihnya ini.

“Wah nanti di atas sana ada ga ya makanan seperti ini,” tiba-tiba Bimo mengalihkan pembicaraan, tidak ingin Dea merasa bersalah karena tidak tersajinya bubur kacang hijau siang itu.

“Dea, kemari sayang,” Bimo memanggil Dea untuk berdiri di sampingnya.

Dea segera berdiri di samping kekasihnya. Bimo memeluk Dea sambil berkata di hadapan teman-temannya, “Nanti kalau gua udah sampai di atas sana, ada ga yang mau anterin Dea naik turun bawain masakan dia buat gua.”

Ruangan tamu itu terasa makin sesak dengan suara riuh tawa yang begitu ramai.

Bimo pun meminta Dea menyiapkan sepiring bistik Padang. Seonggok kentang halus, di siram atasnya dengan irisan lidah sapi yang dimasak seperti semur tetapi lebih kental kuanya. Lalu dihias dengan potongan tipis mentimun yang di aduk dengan putih telur cincang dan mayonnaise.

Tak henti-henti Bimo memuji masakan Dea. Namun sepiring bistik itu Bimo tidak sanggup menghabisinya.

“Enak banget. Simpan dulu, nanti saya sambung makan lagi,” ucapnya tanpa mau menyinggung perasaan Dea.

Ketika sedang asyik bersenda gurau, tiba-tiba Bimo meminta sebatang rokok dan durian.

“Demi Dea, gua sudah ga ngerokok sejak tahu sakit. Hampir setahun nih. Sekarang demi gua, Dea harus kasih gua ngisap kali ini,” Bimo berkata sambil tertawa.

Tetapi sebagian orang-orang di sana terdiam. Sebagian tersenyum kecut saja. Banyak yang pura-pura tidak dengar. Mungkin mereka takut Dea akan marah, dan keduanya bisa saja malah jadi berkelahi mulut. Namun Dea nampak tenang-tenang saja, malah ia mengambil tasnya dan mengeluarkan bungkusan Marlboro yang masih tersegel rapi.

“Ini selalu ada di dalam tas saya. Just in case kamu minta sudah saya siapkan,” kata Dea dengan lembutnya.

Wah, semua orang tertawa lega.

You are my everything…..,” Bimo bersenandung sambil memegang tangan Dea.

“Apa kamu juga menyimpan duren di dalam tasmu?” tanya Bimo.

Kembali terdengar suara ledakan tawa dari semuanya.

Ketika Dea berada di dapur. Seorang teman menghampiri Dea, dengan nada kesal ia bertanya kepada Dea kenapa begitu tega memberi Bimo rokok yang jelas tidak baik untuk kesehatannya.

“Aku hanya memberi kedamaian dan kebahagiaan sesuai dengan kehendaknya,” jawab Dea sambil tersenyum.

Sambil merokok, Bimo nampak sangat menikmati setiap hisapannya, ia mulai kembali berceloteh, berkelakar macam-macam. Sambil saling meledek satu sama lain. Tidak ada sedikitpun pembicaraan yang menyinggung mengenai penyakitnya Bimo.

Dea diam-diam hampir menangis, ia tidak habis pikir bagaimana manusia yang satu ini bisa segitu tabahnya menghadapi hidup ini. Garis pemisah antara hidup dan matinya begitu tipis. Bimo bisa menerima semua kenyataan ini dengan lapang dada dan tulus, tanpa pura-pura. Seharusnya semua orang disana menghiburnya, ini malah sebaliknya.

***

Lima hari setelah Bimo berkumpul dengan teman-temannya, ia merasa sesak napas. Terpaksa Dea bersama dengan orang tua Bimo membawanya ke rumah sakit. Dan ia harus menjalankan rawat inap di RSCM. Hari ini keadaan Bimo naik turun, Dea menungguinya sampai pukul tujuh pagi keesokan harinya. Sebelum pamit pulang, Bimo memegangi tangan Dea.

“Bawakan saya bubur kacang hijau ya,” pintanya dengan suara yang sangat lirih.

Dea hanya mengangguk perlahan. Walau genggaman tangan Bimo tidak kuat, Dea tetap merasakan seakan Bimo tidak ingin melepas tangannya.

“Saya pulang mandi dulu. Segera kembali dengan bubur kacang hijau,” pamit Dea.

Bimo mengangguk perlahan.

***

Begitu masuk rumah Dea sempat melirik ke kalender. Hari itu tanggal tujuh Desember. Persis setahun Dea berkata dalam hati.

Baru kira-kira 20 menit Dea duduk melepas lelah, karena ia tidak tidur semalaman. Telepon rumah berdering. Ibu Bimo menelepon dan meminta ia segera kembali ke rumah sakit.

Dea langsung loncat dari tempat duduknya. Bergegas siap-siap untuk kembali ke rumah sakit. Sebelum mandi, Dea dengan sigap mengambil panci presto dari dalam lemari yang paling ujung. Ia bertekad akan memasak bubur kacang hijau, cara pintas, di dalam panci presto. Apapun ia harus memenuhi permintaan kekasihnya. Ketika kacang hijau sedang dalam proses dimasak, Dea segera menyegarkan dirinya, mandi.

Tiba-tiba dari dalam kamar mandi terdengar seperti suara ledakan keras. Spontan hanya dengan berbalut sehelai handuk, Dea langsung berlari menuju ke dapur. Ia tercengang melihat panci presto meledak, seluruh dapur termasuk langit-langit kotor dengan cairan bubur kacang hijau yang baru setengah matang. Dea tidak tahu apa yang terjadi.

Kembali terdengar telepon rumah berdering,  terdengar suara Ibu Bimo agak panik meminta Dea segera kembali ke rumah sakit. Menurut Ibunya Bimo, Bimo memanggil Dea terus menerus. Dea bergegas kembali ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Bimo sudah tidak sadarkan diri. Dea berulang kali memanggil namanya. Tidak ada tanggapan. Bimo hanya terdiam kaku dan badannya dingin.

“Bimoooooo……” teriak Dea dengan kerasnya, ia tidak dapat menguasai diri, menangis dan berteriak sambil menghentak-hentakan kakinya.

Berulang kali Dea berteriak memanggil nama Bimo sambil menguncang-nguncang badannya.

“Bimo, jangan pergi dulu. Bubur kacang hijaumu belum matang,” teriak Dea.

“Bimooooo, Bim, Bimmmmm…. Jawab sayang,” teriak dan tangis Dea, ia tidak dapat menguasi diri seperti orang kesurupan.

Ibu Bimo memeluk erat Dea. Walau Ibu Bimo pedih kehilangan anak lelakinya, ia merasakan hatinya jauh lebih hancur melihat Dea seperti itu

“Relakan Dea,” bisik sang Ibu sambil memeluk dan mengusap kepala Dea.

“Bimo sudah pergi dengan damai,” lanjut Ibu menenangkan Dea.

Badan Dea makin lemas, ia terhempas bersujud di lantai sambil memegang kaki ranjang.

Dea terus menerus memanggil Bimo. Sunyi tidak ada jawaban.

Dengan tak berdaya dan bercucuran air mata, Dea tetap duduk di sana. Dia tahu hari perpisahan itu akan datang, tetapi dia tetap belum siap menghadapi kenyataan ini. Sungguh Dea tidak sanggup menahan kesedihan yang luar biasa. Ia merasakan hampa dan perih bercampur jadi satu.

***

Betis Dea sudah tidak terasa sakit, ia membersihkan semua pecahan beling. Tiba-tiba radio di dapur yang selalu menemani aktivitas masak memasak Dea, melantunkan lagu You are My Everything. Seluruh badan Dea merinding.  

Ia juga sadar, cangkir yang baru saja pecah, itu adalah cangkir terakhir yang tersimpan, seharusnya itu hadiah souvenir pernikahannya dengan Bimo.

Perlahan Dea berkata dalam hati, “Bimo, apa kabar? Saya di sini baik-baik saja walau covid makin mengganas. Kamu di sana baik-baik juga ya.”

Dea memejamkan matanya untuk beberapa saat sambil membiarkan setetes air matanya jatuh. Tanpa ia sadari, sekilas terasa harumnya parfum Drakar Noir terasa hadir di benak Dea.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.