Sukma Dalam Diam

Sukma Dalam Diam

Setiap waktu yang ia tahu adalah untuk membersihkan dirinya yang kotor. Menyabuni seluruh tubuhnya dengan buih busa, menggosok setiap inci tubuhnya dengan sikat lembut seolah masih saja ada sisa kotoran yang menempel.

"Sudah, Nak ... kamu kedinginan. Badanmu sudah bersih."

"Sini bungkus tubuhmu dengan handuk ini, kamu sudah bersih."

Tetap saja wanita itu menggelengkan kepala tanda mengelak. Ia masih ingin membersihkan tubuhnya yang masih dirasa kotor.

"Tak ada yang tersisa dari ingatannya, bahkan Ibu tak pernah tahu mengapa Sukma menjadi seperti ini," ucap wanita dengan kecantikan yang masih memancar di hari senjanya.

"Mungkin ada kejadian yang membuatnya trauma?" ujarku penuh selidik.

"Seingat Ibu tidak ada. Hari terakhir Sukma bisa berbicara, ia ijin pergi ke pinggir hutan mencari serangga dan kupu-kupu. Ia pulang saat hujan badai, dan sejak saat itu dia sudah seperti ini," ucap wanita itu dengan wajah bersedih.

"Baiklah, semoga setelah sesi terapi ini kita bisa mengetahui apa yang terjadi pada Sukma," ujarku perlahan.

Aku mengetuk pintu kamar Sukma. Tanpa menunggu jawaban aku melangkah masuk menghampiri Sukma yang sedang duduk diam menatap jendela.

"Hai Sukma ... kenalkan aku Aina"

"Mulai hari ini kita berteman, ya?" ucapku sambil menyodorkan kelingking tanda pertemanan kami.

Tak ada respons, yang aku tahu berarti pada sesi ini hanya aku yang berbicara banyak sementara Sukma duduk diam tetap memandang keluar jendela. Aku pun duduk di sebelahnya, ikut diam dan memandang ke arah yang sama dengan yang dilihat Sukma. Ternyata Sukma hanya fokus memandang pinggir hutan.

Hari berikutnya aku datang dengan membawa segenggam bunga rumput yang sengaja aku ambil di tepi hutan. Mata Sukma berbinar menatap bunga rumput ilalang itu. Tapi tangannya tak sanggup untuk meraih bunga rumput yang aku ulurkan untuknya.

"Sini tanganmu aku pijat, agar bisa kembali memetik bunga rumput di tepi hutan," ujarku sambil meraih tangan Sukma yang terasa sangat dingin.

Tanpa perlawanan darinya, aku perlahan meneteskan minyak esensi Thyme ke telapak tanganku. Gosokannya menyebarkan aroma wangi khas yang sangat menenangkan bagi penderita ketidakstabilan mental hingga tubuh menjadi rileks hanya dengan memijat di beberapa titik.

Sukma belum bisa merespon sepenuhnya, tetapi saat menekan ujung jemarinya, itu rupanya mengalirkan energi. Wajahnya kadang memicing pertanda dia merasakan tekanan pada pijatan.

Kunci dari terapi adalah kesabaran, sebab menghadapi pasien dengan trauma membutuhkan waktu yang lebih panjang.

"Sukma suka wanginya?" tanyaku pelan.

"Kalau suka, gerakkan telunjukmu. Kamu bisa menggerakkan telunjuk?" tanyaku mencoba mengajaknya berkomunikasi dua arah secara perlahan.

Sambil kuajari caranya menggerakkan telunjuk tanda jawaban "iya".

"Jangan takut, bukankah kita sudah berteman?" ucapku sambil tersenyum memberikan ruang agar Sukma bisa lebih mempercayaiku sebagai sahabatnya.

"Sukma suka wanginya?" Sekali lagi aku bertanya sambil terus memijat jemarinya dengan perlahan.

Rasanya ingin meloncat kegirangan saat aku merasakan telunjuknya bergerak sebagai respon balik atas jawaban bahwa Sukma suka. Dengan cepat aku menguasai diri, cukup tersenyum agar dia tidak menjadi takut padaku.

"Sekarang Sukma rasakan aroma yang berbeda. Ini adalah Tarragon essential oil, wanginya seperti rumput. Aku yakin pasti Sukma suka," ujarku sambil meneteskan minyak dari botol yang kubawa ini memang kegunaanya untuk penderita stres dan shock. Aromanya menyebabkan relaksasi yang membantu penderita menjadi tenang.

Aku terus memijat jemarinya. Sukma duduk dan kini wajahnya memandang tanganku yang bekerja.

"Sukma suka?" tanyaku lagi.

Kembali jari telujuknya bergerak pelan. Dan aku benar-benar merasa berhasil. Memang membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkan penderita trauma. Tetapi dengan menjalin kepercayaan terus-menerus, katup-katup yang tertutup akan terbuka secara perlahan.

Entahlah apa yang terjadi di tepi hutan hingga Sukma menjadi tak ingin berbicara pada siapapun termasuk ibunya. Suatu hari semua akan terjawab, kali ini aku hanya butuh kepercayaan dari Sukma bahwa kita adalah tim yang berjuang bersama demi kesembuhannya.

Aku memijatnya sambil terus bercerita tentang burung, bunga, dan rumput. Dan dari ketiga jenis itu respons Sukma pada rumput lebih intens. Maka aku berusaha terus menggiring konsentrasinya dengan bercerita lebih banyak tentang rumput.

Masih banyak keping misteri yang menjadi pekerjaan rumahku, bagai menyatukan puzzle agar bisa mengetahui penyebab trauma Sukma. Kembali bagai bayi yang berusaha belajar akan kehidupan. Membuatnya pulih dalam kesadaran adalah anugerah.

Tiba-tiba hujan datang, aku cermati wajah Sukma yang gelisah entah karena apa.

"Sukma takut hujan?" tanyaku sambil terus memijat jemarinya.

Telunjuknya bergerak menjawab iya.

"Sekarang jangan takut lagi ya, kan ada Aina sahabat Sukma," ucapku berusaha membuatnya tenang.

Mata sayunya menatapku perlahan hingga mata kami berdua beradu pandang memancar persahabatan. Kali ini sekilas aku melihat bibirnya tersenyum walau masih terlihat kaku.

Ada banyak tabir yang harus kami buka perlahan. Apapun yang menimpa Sukma hari itu sudah bisa kupastikan adalah luka yang teramat sakit. Untuknya aku ada di sampingnya, membantunya berdiri kuat menatap kehidupan. Juga dengan tiap tetes Thyme dan Tarragon semoga bisa menjadi penghilang segala luka batin.

Hari demi hari kulalui dengan menuntun Sukma bangkit dari apapun yang membuatnya terjatuh. Dengan tiap pijatan lembut, perlahan komunikasi kami berhasil berjalan dua arah. Perlahan dia membaik, dan aku tak sabar melihat Sukma bisa tersenyum dan kami akan pergi berdua mengunjungi tempat yang ia suka. Mungkin hanya sekadar untuk menikmati semilir angin, menangkap kupu-kupu dan kumbang, atau membawa pulang tangkai-tangkai bunga hutan yang indah. Perlahan tapi pasti, Sukma menyambut tanganku dengan hangat. Ia akan sembuh, dan aku percaya aku adalah orang yang beruntung untuk dapat menemaninya sampai waktu itu tiba.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.