Kematian

Kematian

Kematian itu pasti. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kullu nafsin żā`iqatul maụt, begitu satu kalimat yang tercantum di sebuah kitab suci. Kita tidak pernah sadar bahwa kematian begitu dekat dengan kita hingga orang terdekat yang setiap hari kita habiskan waktu dengannya mati.

Saya masih ingat ketika bekerja di garmen milik pengusaha Perancis dimana saya mengemban posisi sebagai penyelia di departemen SDM. Saat itu tiga hari menjelang hari kemerdekaan bangsa Indonesia di tahun 2021. Malam hari saya mendapatkan kabar itu. Kabar kematian. Rekan kami, seorang penyelia asal kota kembang yang telah berjuang beberapa hari di ruang ICU menghembuskan nafas terakhir. Saya terpukul. Diri saya hancur. Saya merasa gagal menunaikan tugas saya sebagai ketua gugus tugas Covid-19.

***

15 Oktober 2008 jadi tanggal yang tak terlupakan. Saya ingat betul saat itu ketika saya berdiri di dalam pintu kamar sambil menggendong ransel. Selesai mandi. Siap untuk berangkat ke lokasi tes CPNS sebuah kementerian yang berkantor di Jl. Jendral Sudirman. Pukul 08.55 mama menelpon dengan suara tergatar dan hanya menyampaikan satu kalimat, “Ca, papa kritis”. Papa memang sudah berbulan-bulan bermasalah dengan gula darahnya. Selain itu beliau juga rutin kontrol ke dokter spesialis jantung. Saat itu saaya tahu mama menyembunyikan sesuatu. Papa wafat.

Otak saya bekerja cepat. Saya langsung mencari tiket pesawat untuk memindahkan jasad saya dan adik dengan segera yang saat itu di bilangan Jakarta Selatan menuju Gemolong. Sebuah kecamatan di Kabupaten Sragen. Pesawat yang seharusnya terbang jam 14.00 WIB baru terbang jam 16.00 WIB karena delay. Tak usahlah saya sebut apa nama maskapainya, kalian pasti tahu. “Late is our nature, begitu canda teman-teman.

Tiba di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, kami dijemput sanak saudara yang siap dengan mobilnya. Di situ saya merasakan kepiawaian sanak saudara tersebut dalam mengemudikan mobil. Melaju kencang. Meliuk-liuk salip kanan-kiri dan tak sungkan melibas bus Sumber Kencana. Bus yang tekenal buas dan liar menguasai jalanan dari Jogja ke Surabaya. Apakah saya bersedih? Tidak. Saya dan Papa adalah dua orang idealis berkepala batu. Seumur hidup kami tak pernah akur dan selalu berbeda pendapat hingga akhir hayat. Papa hanya sedang tidak hadir bersama kami. Begitu pikir saya hingga di hari ke-15 saya merasakan kehilangan yang sangat amat. Air mata tumpah ruah. Saat itulah saya bersumpah akan membuat bangga Papa. Saya akan buktikan bahwa Simple Plan salah ketika mengatakan bahwa dalam lagunya bahwa I’m not a perfect person”. Saya akan menyempurnakan diri dan membuat Papa bangga.

***

Hari ini, pukul 15.20 WITA, saya sedang tiduran ketika ponsel berdering. Ada suara bergetar di ujung sana berkata, “Mas, aku pulang sekarang. Ibu gak ada”. Saya mencoba menenangkan si pemilik suara karena ia bernafas dengan cepat dan terengah-engah. Hati-hati di jalan, ujar saya sambil teringat lagu yang dibawakan Tulus. Telpon ditutup dan saya terdiam. Air mata menetes tanpa saya sadari. Si pemilik telpon adalah salah satu teman dekat saya yang begitu menginspirasi. Begini katanya ketika kami pertama kali ketemu.

“Kalau panggilan dari Allah aja kamu abaikan, apalagi panggilan manusia”.

“Itu ibuku yang bilang”, katanya lagi.

Kalimat yang hampir setiap hari saya renungkan karena bahkan hampir setiap hari itu pula saya masih belum bisa menjawab panggilan Allah dalam bentuk tindakan shalat. Betul, panggilan yang ia maksudkan itu adalah adzan.

Har, saya betul-betul turut berduka-cita sedalam-dalamnya atas kematian Ibu. Semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya. Terima kasih untuk nasihat beliau yang masih coba saya terapkan meski tidak mudah.

Al-fatihah.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.