Lumut dan Pakis Tua

Lumut dan Pakis Tua
Ilustrasi Lumut Hijau yang Subur | dokpri

Tanah
Lumut
Matahari
Akar
Pakis
Durian

: suatu pagi di bawah pohon rambutan

Tanah basah. Kamu pernah bilang padaku bahwa warna tanah itu paduan antara coklat, hitam, bahkan biru dan oranye.


"Hijau?"
Tanyaku.


"Pasti"
Jawabmu.

 

Ada lumut berkoloni-koloni, sambungmu. 

Ada tumbuhan hijau purba sederhana berbagai jenisnya. 

"Mereka berfotosintesa untuk kita, Dhiajeng. Hanya saja, manusia justru sering mengumpatnya karena ia menjadikan licin jalan setapak"

Pagi ini kubuktikan. 

Sebidang tanah basah yang terpapar matahari pukul 08.26 pagi. WIB. 

Di atasnya akar-akar pohon yang menyembul di permukaan saling bersilangan. Seperti jalur hidupku dan kalian. Bertemu di satu titik untuk entah kemudian melaju dalam kembara. Mungkin kita akan bertemu lagi di sebuah titik lalu menyimpul. Mungkin juga tidak.

Sepokok pakis tua menempel lekat di batang pohon besar yang diameternya melebihi pelukanku. Pakis tua yang setia. Tumbuh lagi meski daun-daunnya sebagian membusuk. Meski salah satu cabangnya buntung. Meski pucuk ranumnya yang seharusnya indah terpenggal tangan manusia entah siapa. Pakis tua tetap lekat di sana, menjaga. Menampung daun-daun coklat yang bakal menjadi kompos untuk makanan mereka.

Pandan Wangi, Sri Rejeki, Pakis Tua sendiri, Durian, dan Si Batang Besar berbalut kain Bali Rwa Bhinneda: Mongor Tundun.

Akulah Si Pakis Tua itu, katamu.
Dalam hati pun aku berucap sama.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.