NOAM
Bagian 5: Mimpi di Bawah Api Langit Malam

Dengan cepat api menyala dan merambat mengeliling sebuah mobil polisi. Batu bata berterbangan di udara. Anjing-anjing menggongong. Ingar bingar suara letupan mercon bergema di tengah kericuhan. Mereka, yang mengenakan penutup wajah hitam, maju terus menyerang polisi. Di bawah langit malam, asap melambung dari sebuah bangunan masjid.
***
But we're traaash, you and me*
We're the litter on the breeze
We're the lovers on the streets
Aku sedang menikmati pancuran air menghujani wajahku, tetapi ponselku berkali-kali berbunyi.
But we're traaash, you and me
We're the litter on the breeze
Akhirnya aku terpaksa mempersingkat ritual mandiku sepulang kantor. Berbalut handuk, aku keluar kamar mandi untuk menerima panggilan di ponselku.
Oh … Papa? … Suara serakku berusaha menyapa ayahku. Ada apa Pa? Ha? Apa? … Oh my goodness! … Okay Pa!
Tanpa melihat kaca, aku membubuhkan deodoran dan mengoles pelembab wajah. Tanpa berpikir, aku mengambil dan mengenakan kaos hitam lengan panjang yang entah sudah berapa lama terjembreng di kursi. Lantas aku merogoh laci lemari pakaian dan mendapatkan sebuah celana jins. Aku menarik sebuah tas jinjing hitam dari rak buku dan melempar barang-barang keperluanku ke dalamnya. Dengan tergesa aku keluar apartemen dan mengunci pintu.
Sambil berjalan menuju lift aku mengecek berita melalui ponselku. “Oh no!” ucapku dalam hati. Tampak dalam sebuah video, asap sedang mengelilingi sebuah bangunan masjid. Ponselku kemudian berbunyi. Pada layar telepon tampak nama kakakku, Aaliyah. “Yes, Aaliyah, kita ketemu di stasiun ya.”
Di dalam lift aku menyisir dan mengucir rambutku serta membubuhkan lip gloss. Aku melihat pantulan diriku pada pintu lift. Wah, sepatu sandal merah yang asal kukenakan dan kucir rambut putih serba clash dengan pakaian dan tasku!
***
... seorang perempuan Asia semampai mengenakan kacamata hitam dengan bibir merah merona dan rambut hitam sebahu berkilau memasuki stasiun.
Saat memasuki stasiun, ponselku berbunyi lagi. Kupikir pasti kakakku. Ternyata Jimmy yang meneleponku.
“Hello Jimmy,” kataku. Hatiku terhibur mendengar suaranya yang akrab di telinga dengan aksennya yang khas itu.
“Hi Layla.” Suara Jimmy terdengar ceria. Kok berisik? tanyanya. Kamu lagi di luar ya?
“Iya Jimmy, aku baru sampai di stasiun,” jawabku. “Ayahku yang lagi di Irlandia meminta aku dan kakakku, Aaliyah, menjaga kakaknya—tanteku, Auntie Fatima. Ia tinggal di Southport yang sedang ada aksi massa saat ini.”
“What?” Nada suara Jimmy berubah menjadi tinggi. Kalian yakin akan pergi berdua saja? Bagaimana kalau massa tidak terkendali, yakin kalian akan aman?
“I think so, Jim.” Kemudian seorang perempuan Asia semampai mengenakan kacamata hitam dengan bibir merah merona dan rambut hitam sebahu berkilau memasuki stasiun. “Aaliyah!” teriakku sambil melambaikan tangan kiriku ke udara. “Jim, sudah dulu ya. Aku sudah menemukan kakakku, kami akan segera berangkat ya.”
“Aku sudah coba menelepon Auntie Fatima tadi, tetapi tidak berhasil menghubunginya,” jelas Aaliyah di dalam kereta yang akan membawa kami dari London ke Southport dalam waktu hampir 3 jam.
Tanteku, Fatima sudah sepuh dan tinggal sendiri. Ia anak sulung dari keluarga ayahku yang empat bersaudara. Suaminya, seorang imigran asal Malaysia, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Mereka memiliki anak kembar. “Menurut Papa, Adam kini bekerja di Malaysia dan Hawwa mengikuti suaminya ke Amerika,” jelas Aaliyah.
Pikiranku jadi melayang ke masa kecil. Auntie Fat (sapaan akrab kami), kerap memeluk dan menciumkku dengan penuh kasih sayang. Kadang ia menyajikan Shrewsbury Cake Cookies yang ia buat khusus untuk menyambut kedatangan kami sekeluarga, bahkan kadang ia menghadiahkan sebuah mainan untukku.
***
Jalan yang hendak kami lewati ternyata ditutup. Taksi kami berputar mencari jalan lain, tetapi massa yang berkerumun menghalangi.
Dari stasiun, kami lanjut dengan taksi. Aku dan Aaliyah tentu tidak ingin melewati massa, apa lagi dengan wajah kami yang tampak bukan seperti “Brits.” Sopir taksi membawa kami melewati jalan alternatif.
“English till I die!” terdengar teriakan massa yang sedang bentrok dengan polisi. Bau asap yang tajam pun masih terhendus. Ini adalah buntut dari peristiwa penusukan anak-anak yang terjadi di dekat Masjid Southport. Sumber-sumber fake news mengatakan bahwa pelakunya adalah seorang imigran Muslim, hal yang kemudian memicu amarah sebagian masyarakat.
Jalan yang hendak kami lewati ternyata ditutup. Taksi kami berputar mencari jalan lain, tetapi massa yang berkerumun menghalangi. Massa melempari polisi dengan batu. “No surrender!” terdengar suara dari kerumunan. Pada jarak yang lebih jauh, tampak api pada mobil polisi yang belum sepenuhnya padam. Aku dan Aaliyah mulai cemas.
But we’re traa … Aku langsung menekan gambar gagang telepon hijau pada ponselku. “Iya, Linh, yang dikatakan Jimmy benar, aku ke Southport. Aku di dalam taksi dan sedang terjebak Linh, nanti aku kontak lagi.” Batu-batu terus bertebangan. “Menunduklah!” perintah sopir taksi kepada kami.
Akhirnya, taksi kami terpaksa mundur. Tak ada opsi lain, aku dan Aaliyah pun terpaksa turun dan berjalan kaki. Sopir taksinya—seorang laki-laki paruh baya berkulit gelap yang sempat bercerita bahwa orang tuanya merupakan imigran asal Pakistan—hanya berhenti sejenak untuk menurunkan kami.
Jarak kami tidak jauh dari rumah Auntie Fat, kami berjalan cepat dan hati-hati di pinggir jalan, menghindari kerumunan. Tampak ada polisi yang terluka yang sedang dibopong polisi lainnya. Anjing-anjing kepolisian terus menggongong. Serpihan kaca memenuhi jalan yang porak-poranda. Jantungku berpacu cepat.
Sudah tampak rumah Auntie Fat dan kami melihat seorang perempuan berhijab, kurus, sedikit bungkuk di depan pintunya. Dua orang polwan kulit putih sedang mengantarnya memasuki rumah, lalu meninggalkannya. Pada saat yang bersamaan ponselku berdering … But we’re traaash… Ahhh, aku lupa terus untuk mengganti ke mode getar!
“Hello, where are you exactly?” terdengar suara Jimmy dengan aksen khasnya, tetapi kali ini dengan intonasi agak cemas. Aku tahu, pasti Linh baru menghubunginya.
“Aku baru sampai di rumah tanteku,” tanggapku.
“Tolong shareloc ya, mungkin satu jam lagi aku sampai di daerah masjid. Aku meminjam mobil saudaraku, aku sudah jalan tak lama setelah kamu berangkat dengan kereta,” jelas Jimmy.
Aku sungguh terkejut, sampai bingung mau berkata apa. Aku hanya bisa bilang, “Oh wow, Jimmy! … Hey Jim, aku tidak bisa bicara banyak saat ini, tetapi kami aman!”
***
“Auntie Fat! Aaliyah memanggilnya dengan manja dan langsung memeluknya saat memasuki ruang tamu. Aku pun bergilir memeluknya. Sempat-sempatnya ia berkomentar, “MasyaAllah, you girls look so beautiful!”
Auntie Fat kemudian mengarahkan kami ke meja makannya yang bertaplakkan kain batik. “Come, have some,” ia menunjuk pada stoples berisi Shrewsbury Cake Cookies buatannya. Bau khas kue dan rumahnya serta perabotnya yang bergaya jadul, membawaku kembali pada masa kecilku dan memberiku rasa tenang.
“Pasti Papa yang menyuruh kalian menengok Auntie ya, ah papamu selalu ingat dengan kakaknya. … Auntie juga kaget, tiba-tiba ada suara ramai-ramai dari luar masjid.” Auntie Fat terus berceloteh, sambil menuangkan English tea ke cangkir kami. “Taunya mereka membakar pagar masjid …” suaranya terbata-bata. “Syukurlah, kami berhasil dievakuasi.” Air mata mengalir ke pipinya yang tampak lebih kempot daripada terakhir kali aku bertemu dengannya.
Aaliyah langsung memeluk Auntie Fat seraya berkata, “Sudah Auntie, jangan menangis lagi ya. Tidak usah takut, kami di sini menjagamu.” Aaliyah memang keibuan dan kalem sifatnya, beda dengan aku yang lantang dan emosian. Kami berdua memang saling mengimbangi kalau dalam satu tim. Mungkin karena itulah Papa mengirim kami berdua untuk menjaga kakaknya.
***
Sekarang aku sudah tidak bisa mengingat mimpiku lagi ...
Kejadian yang menegangkan ini membuatku lemas hingga tertidur nyenyak. Terkejut, aku terbangun dari mimpiku ketika mendengar bunyi nada dering ponselku. Aduh! Kelopak mataku terasa lengket seperti dilem. Tangan kananku meraba-raba kasur sementara ponselku terus berbunyi … But we’re traaaash …. Akhirnya, tanganku berhasil menemukan ponselku dan mengangkatnya ke telingaku … Sekarang aku sudah tidak bisa mengingat mimpiku lagi, tetapi sepertinya seru.
Aku langsung melempar selimutku dan bangkit dari tempat tidur di salah satu kamar rumah Auntie Fat. “Hey Jim, kamu di mana?” tanyaku.
Usai aku menelepon, Aaliyah yang tidur di sampingku langsung menengok ke arahku dan sempat-sempatnya berkomentar, “Jimmy itu pacar barumu ya? Denger-denger kamu putus sama pacar Yahudimu itu. Baguslah!” Lalu ia mengejek, “Siapa namanya? Noam Chomsky?” diikuti tawa kecil yang merendahkan.
Komentarnya sungguh memancing amarahku! Kalau saja kami bukan di rumah Auntie Fat … kalau saja Jimmy tidak meneleponku saat itu ….! Namun, aku sempatkan untuk berkata, “Noam itu membela Palestina, semua juga tahu kalau ia ikut protes mahasiswa di kampusnya di Leeds!”
Tanpa memberi Aaliyah kesempatan untuk menanggapi, aku bergegas keluar untuk mencari Jimmy yang parkir kejauhan. Dari teras, aku melihatnya melambaikan tangannya ke arahku.
Saat Jimmy tiba, sudah lewat tengah malam, jalan masih porak-poranda, tetapi syukurlah situasi mulai terkendali. Jimmy masih bisa menikmati dua Shrewsbury Cake Cookies yang tersisa. Ia sempat tertidur beberapa jam pada sofa di ruang tamu.
***
Wah kasihan Noam, ia sepertinya terpukul sekali!
Paginya di teras, aku sempatkan video call dengan Linh dan Lara untuk menyampaikan keadaanku. Linh melanjutkan, “I think you should know.” Ia diam sejenak lalu bertutur, “Noam sudah kembali ke London dari Leeds dan seperti biasa, ia mencari-carimu, Layla. Ketika aku sampaikan bahwa kamu ke Southport, ia kaget dan ingin menyusulmu ke sana. Aku jujur saja bilang bahwa Jimmy sudah dalam perjalanan ke sana. Wah kasihan Noam, ia sepertinya terpukul sekali! Yah, biar kamu tahu saja,” Linh mengakhiri percakapan kami.
Aku sempat termenung sejenak. Namun, perhatianku beralih ketika melihat ke dalam ruang tamu tingkah lucu Auntie Fat yang senyum-senyum sambil menepuk-nepuk dada Jimmy. Sepertinya, ia senang aku membawa pria India.
Kami secepatnya beranjak pulang karena aku dan Aaliyah harus bekerja. Sampai di jalan raya, Jimmy memasang lagu Suede yang menjadi nada dering ponselku itu.
But we're traaash, you and me
We're the litter on the breeze
We're the lovers on the streets
Dari kaca spion kulihat Aaliyah tertidur lelap bergeming. Tiba-tiba tangan kiri Jimmy melepas setir dan menggengam tanganku dan kami saling memandang sejenak dan tersenyum. Ketenangan itu membawa pikiranku kembali pada tiga pekan lalu saat kami menonton konser Suede. Saat lagu Trash dinyanyikan, Jimmy memelukku dari belakang, bibirnya hangat mengecup ubun-ubunku. Aku pun tersenyum mengingatnya. Ah, tetapi harus aku akui, tidak mudah bagiku untuk menikmati kemesraannya saat itu. Tahun lalu, aku dan Noam juga menonton konser Suede di London. Hatiku tak dapat berbohong, aku masih teringat Noam malam itu.
Mendadak aku tersadar dari lamunanku dan terkejut mengingat mimpiku pada tengah malam yang terputus karena Jimmy menelepon. Di dalam mimpiku, aku pun sedang menonton konser Suede sambil menikmati pelukan mesra. Ya ampun! Namun, itu bukan Jimmy, itu Noam yang sedang memelukku!
-Bersambung-
--------
Dari bait lagu “Trash” (Brett Anderson & Richard Oakes)
Gambar: Canva
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.