Putus cinta itu biasa putus rem matilah kita

Putus cinta itu biasa putus rem matilah kita

Ting. Suara notifikasi chat Wa berbunyi. Terdengar cukup nyaring mencuri perhatian, memecah konsentrasiku yang sedang fokus menatap layar komputer.

Ting. Notifikasi chat Wa berbunyi kembali sebanyak dua kali. "Siapa sih. Berisik amat, kirim chat jam segini" gumamku dalam hati sambil menatap jam weker  berbentuk bulat menyerupai bola basket di meja kerja. Wow ternyata sudah pukul 00. 30 saja. Dengan malas aku beringsut, berjalan ke arah tempat tidur. Kutatap benda pipih yang nangkring manis di atasnya. Ku sentuh, seketika layar berubah menjadi terang benderang.

Ternyata chat dari Lisa. Gadis manis bermata indah dan teduh yang sudah lima bulanini mengisi hatiku. Ku baca tiga chatnya. Satu di antaranya berisi ajakan untuk bertemu sepulang kerja di kafe Kopi Chikigo. Salah satu kafe favorit anak muda di kota kecil ini.
Tanpa berfikir dua kali langsung saja ku ketik kata okay plus emotikon love warna merah, dan klik kirim. Aku tatap layar yang hanya menampilkan centang dua abu - abu. Pesan masuk namun belum dibaca.
***
"Alvin, nanti sore bisa antar mama ke rumah bude Yuni?" Tanya mama memecah kebisuan di mejamakan. 
"Hhmmm. Gimana ya ma. Aku ada janji sama Lisa nanti sore" jawabku sambil tetap menyantap nasi goreng buatan mama yang tiada duanya. Apa lagi ditambah telur mata sapi yang mirip matahari, meleleh. Ala mak bisa nambah.

"Sama aku aja ma" kata Diki menawarkan solusi.

"Boleh juga. Jam lima sore. Bisa?"

"Bisa. Untuk mama, apa sih yang tidak bisa" jawab Diki sambil matanya melirik ke arahku dengan tatapan tajam mengejek.

Diki adikku satu - satunya, saat ini dia duduk di kelas dua belas sma. Jarak usia kami terpaut cukup jauh, enam tahun. Kelakuannya jangan ditanya usil dan kepo kebangetan. Yang paling menjengkelkan kerap meminjam propertiku tanpa permisi.

Setelah ritual sarapan pagi selesai. Aku dan Diki berpamitan. Menuju tempat tujuan masing - masing. Aku melajukan mobil dengan santai membelah jalan Ade Irma Suryani. Pagi yang cerah. Langit biru terhampar indah. Perjalanan yang menyenangkan hanya satu kali terjebak lampu merah. Tak butuh waktu lama. Akhirnya, aku sampai di kantor. Melayangkan pandangan mencari tempat parkir yang aman dan nyaman. Kuputuskan untuk parkir dibawah pohon ketapang mini yang sudah tak mini lagi.  Hamparan rumput yang hijau di halaman depan kantor tempatku bekerja menambah indahnya suasana pagi ini.

"Pagi, mang Dadang" aku menyapa penjaga kantor yang dibalas dengan anggukan dan senyum ramah. Terus berjalan memasuki ruangan kerjaku. Lumayan, beberapa orang teman sudah datang. Saling menyapa, ngobrol ringan. Dan akhirnya sibuk dengan kerjaan masing - masing.
***
Cafe Chikigo jam empat lima belas menit, sore. Tidak terlalu rame. Sengaja mengambil posisi di pinggir, dekat jendela, biar leluasa menikmati indahnya pohon flamboyan yang sedang berbunga cantik, oren, di sepanjang halaman depan cafe. 

Kulirik jam di gawai. Sudah pukul setengah lima. Nggak biasanya Lisa terlambat. Baru saja hendak menghubunginya. Tiba - tiba aku mendengar suara yang sangat kuhapal.
"Sori, telat" katanya 

"It's okay" sambil menyodorkan daftar menu.

"Seperti biasa aja"
Kutulis latte dua. seperti biasa yang sering kami pesan jika menghabiskan sore di sini. Tak butuh waktu lama pesanan pun datang. Aku sesap kopi  berlahan sambil  menatap wajah cantik di hadapanku. Tak seperti biasanya. Sore ini, aku melihat matanya tidak bercahaya seperti menyimpan kesedihan.

"Lagi ada masalah?" Tanyaku memecah kesunyian antara kami.

"Aku nggak tahu mesti cerita dari mana sama kamu" jawabnya menunduk sambil tangannya memutar gelas kopi. "Sebenarnya, aku udah lama ingin terus terang tapi"

"Tapi apa" ucapku memotong percakapan. Seketika perasaan di hatiku menjadi tidak enak. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku merasa ada yang tidak beres.

"Kamu nggak kenapa jika aku terus terang"

"Yah, aku suka sama orang yang terus terang"

Tak ada suara di antara kami untuk beberapa detik. Mendadak suasana menjadi kaku. Aku  melayangkan pandangan keluar mencoba menenangkan debaran hati dengan menatap bunga flamboyan yang sungguh indah. Namun entah mengapa kali ini bunga - bunga flamboyan itu tak lagi terlihat indah seperti saat pertama aku datang tadi. Kini tatapanku malah fokus pada bunga - bunga flamboyan yang telah gugur menutupi permukaan tanah.

"Vin. Hmmm. Aku udah menikah sebenarnya"

"What? Aku nggak ngerti kamu ngomong apa" ucapku dengan wajah menengang. Aku merasa seperti  tersengat listrik.

"Kamu  ingat kan, dua minggu yang lalu aku pulang kampung"

"Iya. Aku ingat. Kamu bilang mau lihat orang tuamu yang sakit"

"Ya benar. Aku emang lihat bapak yang sakit tapi di sana aku menggahadapi hal rumit" jelas Lisa dengan wajah sendu. "Sebelum berpulang bapak berpesan agar aku menikah dengan suami almarhumah kakaku. Biar ada yang merawat anak kakak yang notabene adalah ponakanku. Aku tak kuasa menolak"

Kini aku tidak tahu mesti bilang apa. Aku merasa begitu kaget, sendi - sendi terasa copot. Energiku tersedot membuat diri ini  tidak bisa berbicara apapun. Sampai akhirnya aku  tersadar kembali setelah Lisa menyentuh tanganku meminta maaf dan berpamitan. Ia berlalu mininggalkanku. Sungguh aku merasa ini  seperti mimpi buruk. Namun sayangnya ini fakta.

Kini dengan gontai aku berjalan meninggalkan cafe dengan hati hancur. Perlahan, aku pacu mobil membelah jalan, di senja kelabu ini. Lampu - lampu jalan mulai menyala menambah kesahduan. Ingin teriak namun tak mampu bersuara. Ingin rasanya ku pacu mobil dengan kencang tapi mataku tanpa sengaja melihat tulisan besar di bak belakang sebuah truk. Yang berbunyi Putus Cinta Sudah Biasa Putus Rem Matilah Kita. Tulisan cukup menohok. Aku tak tahu mesti tertawa atau nangis setelah baca ini. Yang jelas aku tersenyum dan sepakat ama tulisan itu.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.