Kutukan Putri Waluh

Kutukan Putri Waluh
Gambar dibuat menggunakan Adobe Spark

Pagi masih gelap. Tirai-tirai belum disingkapkan dari jendela-jendela. Istana kerajaan masih meringkuk diselimuti hening. Belum ada tanda-tanda kehidupan yang tampak. Bahkan kuda-kuda di istal masih terlelap dalam dengkuran halus.

Tiba-tiba terdengar derit pelan dari sebuah kamar. Sepasang kaki mungil menapak ke lantai, mencari-cari slipper dalam gelap. Dengan berjingkat, si empunya kaki melangkah, keluar dari kamar. Derit perlahan dari lantai kayu, pintu, dan anak tangga menandai perjalanannya menuju ke ruangan bawah.

Sampailah ia di depan sebuah pintu tertutup, dengan berkas terang menyeruak dari celah pintu bagian bawah. Sebuah ruangan yang selalu terang dan hangat ada di balik pintu itu. Ruangan yang selalu beraroma harum rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Ya, dapur kerajaan.

Dilepasnya sebatang besi bengkok  pengunci gelang pintu dan didorongnya bilah kayu tebal ke dalam. Cahaya lampu dari dalam langsung bersorak menyambutnya. Menyinari sebuah wajah mungil super cute dengan bingkai rambut ikal berantakan. Dipejamkannya mata sebentar karena silau, lalu ia buka mata lagi perlahan, dan melangkah masuk.

"Nenek Peri?" panggilnya dengan berbisik.

Si bocah perempuan itu tak menemukan siapapun di dapur. Hening. Hanya terdengar gemertak lirih dari arang di perapian. Kayu-kayu hitam mengarang saling tindih dengan sisa-sisa semburat merah si bara. Abu menumpuk jadi saksi pertempuran hidup mati pasukan kayu dan pangeran api.

"Mana ni Nenek Peri? Dia janji mau bercerita?" Si perempuan kecil ini berbicara pada dirinya sendiri, sambil memonyongkan bibirnya karena kecewa.

Dengan gerakan lambat ia meletakkan pantat di kursi tinggi dekat meja di tengah ruangan. Meja kayu tebal berukuran besar, yang oleh orang zaman modern sering disebut sebagai island di urusan interior dapur. Si perempuan kecil ini berumur sekitar 9 tahun. Wajahnya yang agak tirus nyaris tersembunyi dibingkai rambut ikal. Kulitnya berwarna perpaduan antara kuning langsat dan sawo matang. 

Tubuhnya agak gemuk gara-gara ia suka makan. Hampir semua makanan yang disiapkan oleh koki kerajaan selalu ia habiskan tanpa banyak keluhan. Komentarnya hanya dua: enak atau enak bangeet. Ia menjadi kesayangan si koki sejak usia mulai makan MPASI.

Putri kecil ini bahkan hampir sebulan ini mulai ikut memasak. Ia melakukannya secara diam-diam, karena neneknya, Sang Ratu, tak mengizinkannya berada di dapur berlama-lama. Apalagi jurus masak si putri kecil ini adalah belepotan, berantakan, dan eksperimental. Wajah, tangan dan seluruh tubuh biasanya terkena noda dari bahan makanan yang disiapkan.

"Apa ini, sayang?" tanya Sang Ratu mengusap pipinya sambil menautkan kedua alis. Suatu siang si cucu mendaratkan sebuah kecupan basah di pipi nenek ratu dan meninggalkan sesuatu yang lengket menempel di kulit.

"Oh, itu nanti Nenek harus cicip. Aku tadi membuat bubur," dengan ringan cucu kesayangan menjawab sambil terkikik usil.

Sepersekian detik sebelum cucunya menyelesaikan kata-katanya, Nenek Ratu melihat si Koki Kepala tergopoh-gopoh datang menghadap langsung duduk bersimpuh menyembah di lantai.

"Ampun seribu ampun, Paduka Ratu. Izinkan hamba menghaturkan air untuk membersihkannya," ujar si Koki gemetar ketakutan. Dengan tetap duduk di lantai, ia mengulurkan mangkuk kecil berisi cairan biru.

Kening Nenek Ratu agak berkerut, tetapi tanpa banyak tanya ia mencelupkan jemari yang lengket itu ke mangkuk dan mencucinya di sana. Perlahan diusap dan dibersihkan juga pipinya yang lengket. Nenek Ratu dengan anggun menerima kain putih bersih yang segera disodorkan Koki Kepala. Sekilas ia mulai membaui aroma aneh dari mangkuk pencuci, yang warnanya telah berubah menjadi hijau.

"Sampai nanti, Nenek," teriak riang sang cucu yang dengan tangkas merebut mangkuk itu dari Koki Kepala dan bergegas lari ke dapur.

Dalam hati Nenek Ratu tersenyum ketika Koki Kepala berusaha mengejar cucu perempuannya kembali ke dapur. Sejak itu, Nenek Ratu melarang cucunya berlama-lama di dapur. Hapal dengan kelakuan cucu satu-satunya itu, Nenek Ratu selalu meminta update tentang ulah cucunya dari Koki Kepala.

"Ampun, Paduka Ratu, hamba tidak berani melarang-larang Tuan Putri." Begitu selalu Koki Kepala mengawali laporan rutinnya. Koki Kepala selalu merasa tidak enak hati harus melaporkan Tuan Putri kepada junjungannya. Menjadi snitcher atau pengadu memang tidak ada sebetulnya dalam job description-nya. Tapi justru ia menjalaninya sejak ia masih koki junior.

Seringkali Koki Kepala memergoki Sri Ratu sekilas seperti menerawang jauh ketika mendengar laporan tentang cucunya. Koki Kepala sering tercekat dan terbata ketika menceritakan ulah Sang Putri. Ia sering merasa deja vu. Tigapuluhan tahun sebelumnya, Koki Kepala rutin melapor pada Sri Ratu. Hanya saja obyeknya berbeda.

 

(bersambung)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.