Noam

Bagian 4: Mencari Layla

Noam

 

So lately, been wondering

Who will be there to take my place?

When I'm gone, you'll need love

To light the shadows on your face*

 

Itu lagu lawas yang suka aku nyanyikan sambil memetik gitarku ketika di apartemen kampusku di kota Leeds. Itulah lagu yang aku anggap sebagai lagu putusku dengan Layla. Aku yang memutuskan Layla, aku yang menyebarkan gosip bahwa kami sudah putus agar peneror sekitar kami itu pun tahu.

Entahlah, saat itu aku pikir itulah jalan terbaik untuk Layla. Ketika mendengar kabar ia menerima teror berupa kiriman bunga layu dan kartu seperti surat kaleng karena berpacaran dengan aku yang Yahudi, aku jadi berpikir lagi. Kalau sampai terjadi ancaman fisik kepadanya dan aku jauh, siapa yang akan melindunginya?

Begitulah pikiranku sebagai lelaki. Mungkin itu bodoh. Sekarang aku kehilangannya dan bait lagu itu tampaknya sudah tidak relevan lagi. Sudah ada penggantiku. Secepat itu ….

Kembali ke kota London setelah sekian bulan di Leeds, tanpa Layla di sisiku, terasa sepi. Aku berjalan kaki sendiri menembus angin malam di kota yang miskin empati ini. Melewati lorong-lorong gelap, tercium hembusan udara yang membawa aroma khas kota kelahiranku ini. Bau yang sudah terlalu bersahabat dengan hidungku.

 

Bau itu menyapaku seperti kawan lama. Tentu, itu wangi parfum Layla.

 

Kemudian langkahku jadi melambat ketika siliran angin membawa harum buah ceri dan mawar putih. Bau itu menyapaku seperti kawan lama. Tentu, itu wangi parfum Layla. Aku memejamkan mataku sejenak dan menggeleng kepalaku untuk menepis bau itu. Malah hangat napas Layla dan suara tawanya menghampiri telingaku. Seperti ketika kami berjalan bergandengan dan ia membisikkan sesuatu di telingaku lalu tertawa kecil. Mendengar suara tawa kecil Layla di kepalaku seperti ada yang menusuk luka yang menganga di dadaku. Aku tetap berjalan lamban hingga sampai ke tujuanku meski malam makin larut.

“Layla sudah tidak tinggal di sini lagi, Noam,” ungkap Lara dari balik pintu apartemen yang ia buka separuh. Matanya yang bulat menatapku tanpa emosi. “Tetapi karena kamu sudah sampai di sini, masuklah,” lanjut Lara, sambil membuka pintu lebih lebar.

“Tidak usahlah, aku tidak mau mengganggu malam-malam,” jawabku singkat. Dengan kecewa aku berbalik untuk pergi, tetapi tubuhku berbalik kembali menghadap Lara dengan sedikit berharap. “Kamu tahu alamat Layla yang baru? Ia memblokirku, aku tidak bisa mengontaknya lagi.”

“Wah, tentu aku tahu, tapi … tapi … mungkin aku perlu izin dulu dengan …” jawab Lara dengan serba salah.

“Oohh, sudahlah gak apa-apa kok.” Aku berpaling keluar apartemen dan lanjut melangkah malas di kota di mana cinta tidak menyambutku lagi.

Saat berjalan pelan melewati kembali lorong-lorong suram tadi, muncul di kepalaku bait lain dari lagu itu lagi.

 

And maybe I'll find out

A way to make it back someday

To watch you, to guide you

Through the darkest of your days

 

***

“Hey Josh!” teriakku sambil sedikit berlari menghampirinya ketika melihat laki-laki itu keluar dari gedung kantor pada sore hari. Pria jangkung itu menengok ke arahku dengan pandangan yang sedang mengira-ngira siapa aku.

“Hey Noam! Akhirnya ia mengenaliku setelah aku mendekat. “How you’ve been mate?” sapa Josh kembali dengan sedikit terkejut.

“Oh, I’m okay. Thanks.” jawabku. Hey, you’ve seen Layla?”

Josh memandangku dengan agak bingung seraya menjawab, “Khan Layla udah lama gak kerja di sini lagi.”

“Oh … oh iya … eh betul … Di mana sih dia sekarang kantornya?” Aku mencoba menutupi rasa maluku sambil khawatir kalau Josh, teman seruangan Layla di kantor ini, tidak akan memberitahuku kalau aku tampak mencurigakan.

Josh terdiam sejenak sambil menatapku. Bahkan beberapa detik. Dahinya berkerut, alisnya yang pirang turun menyentuh kelopak matanya yang putih pucat … ah dia pasti tidak akan menjawab karena berprasangka buruk kepadaku, pikirku.

“Layla sekarang bekerja di kantor cabang kami, dia mendapatkan posisi yang lebih baik di situ. Kamu tahu khan kantor cabangnya di mana?” akhirnya Josh memberi respons yang aku harapkan!

Oh yes, of course I do. Thanks, mate,” kataku kepada Josh sambil menyalaminya dan berkata, “See you around.” Dengan seketika aku bergegas jalan. Masih sempat aku melihat Josh memandangku dengan wajah heran.

Aku langsung berjalan cepat, hampir berlari, mengejar bus menuju kantor cabang itu. Setelah semalam tidak berhasil menemui Layla, sejak sore hari ini aku menunggu di luar kantor Layla yang ternyata sudah ia tinggalkan. Takut Layla sudah keburu pulang, turun dari bus, aku benar-benar berlari, sweter hitamku terasa lembab menempel ke tubuhku.

 

Aku berlari dan ketika sudah mendekat, dengan napas yang sedikit tersengal-sengal, aku memanggil namanya, “Layla!”

 

Hampir di depan kantor cabang, aku melihatnya sedang berjalan keluar. Jantungku berdebar memberontak ketika aku melihat perempuan yang aku cintai itu! Aku berlari dan ketika sudah mendekat, dengan napas yang sedikit tersengal-sengal, aku memanggil namanya, “Layla!”

Ia berhenti berjalan dan langsung berbalik. Melihatku, matanya lebar memandangku, mulutnya perlahan membuka hingga setengah menganga. Lantas ia memalingkan wajahnya dan berjalan lagi.

“Layla!” aku memanggilnya lagi sambil berjalan di belakangnya. “Please … aku hanya ingin berbicara sebentar,” bujukku.

Ia berbalik dengan cepat dan berkata dengan nada sedikit gusar, “Kamu kok tahu aku di sini, kamu menguntitku ya?” tuduhnya.

“Ah nggak, bukan begitu,” aku coba menerangkan, tetapi Layla kemudian merogoh tas jinjingnya yang matching dengan jaket cokelatnya dan mengeluarkan ponselnya.

“Kamu mau menelepon polisi ya?” aku sedikit terkejut.

Layla tidak menanggapiku, ia menerima panggilan di ponselnya. “Sebentar lagi aku sampai di sana kok,” ucapnya kepada lawan bicaranya.

“Itu Jimmy ya? Kedua tanganku menyapu rambut kusutku—yang sekusut pikiranku—ke belakang; aku perlu tahu … “Jadi benar kamu udah jadian sama dia?”

Layla menanggapinya bagai sebuah pertanyaan retorik dan berkata dengan datar, “Noam, aku harus segera pergi,” lalu mulai berjalan.

 

“Lagi pula, hubunganku dengan Jimmy bukan urusanmu!” lanjutnya, mematahkan argumen apa pun yang akan aku ajukan.

 

“Aku heran, ngapain sih kamu sama Jimmy?” tanyaku sambil terus berjalan mengikutinya. “Dia khan punya reputasi suka gonta-ganti cewek … apa kamu pikir dia pintar gitu ... dia …”

Layla langsung berhenti berjalan, berbalik dan mengarahkan wajahnya ke wajahku seraya berujar, “Lantas apa bedanya dengan kamu yang tiba-tiba memutuskanku?” Matanya berkaca-kaca, tetapi tuturnya tegas. “Lagi pula, hubunganku dengan Jimmy bukan urusanmu!” lanjutnya, mematahkan argumen apa pun yang akan aku ajukan.

Layla berbalik dan mulai berjalan lagi, kali ini dengan langkah lebih cepat. “Layla, please,” aku pun berjalan cepat agar bisa sampai di sampingnya. “Setidaknya unblock aku, tolonglah, biar aku bisa jelaskan …” aku sedikit memohon sambil menahan sikunya.

Aku maju selangkah mendekatinya dan menghadapnya (ingin sekali rasanya aku memeluknya), lalu berkata, “Pikiranku kacau kalau kamu bersikap seperti ini, Layla please …”

Layla agak menunduk lalu melangkah sedikit ke belakang menjauhiku untuk melepaskan sikunya dariku. Matanya menghindari tatapanku. “Aku gak bisa memenuhi permintaan itu sekarang, Noam,” ucapnya pelan, lantas tanpa ragu ia berjalan meninggalkanku.

Aku pun hanya bisa membiarkannya pergi.

Penolakannya menghantamku bagai bumerang. Aku terlalu pede menganggap Layla pasti kembali kepadaku.

***

“Iya Max, aku sebentar lagi akan jalan menuju stasiun kereta”, aku membalas chat teman kampusku, Max, yang menanyakan apakah aku jadi berangkat ke Leeds tengah malam ini.

Sampai di apartemenku setelah pertemuan gagalku dengan Layla, aku kemudian mengemas pakaian dan barang-barangku, bersiap untuk kembali ke Leeds.

Tiba dekat stasiun kereta, sambil mengunyah kebab, aku men-chat ibuku.

 

"Aku belum tahu berapa lama karena aku akan mengikuti aksi solidaritas untuk Gaza dan protes terhadap universitas di kampusku.”

 

“Mum, aku mau kembali lagi ke kampus ya. Aku belum tahu berapa lama karena aku akan mengikuti aksi solidaritas untuk Gaza dan protes terhadap universitas di kampusku.” 

“Ini aksinya seperti apa?”

“Seperti protes-protes mahasiswa di kampus lainnya, Mum. Mahasiswa-mahasiswa di Leeds, termasuk yang Yahudi, akan berkemah di kampus dan memprotes hubungan universitas dengan lembaga-lembaga yang ada kaitannya dengan apa yang terjadi di Gaza.”

“Sekarang berangkatnya?”

“Iya Mum, aku sedang makan dekat stasiun kereta.”

“OK, baik-baik ya. Mummy bangga atas kepedulian kamu pada apa yang sedang terjadi di Gaza. Kalau sudah kembali kabari ya. I love you.”

“Thanks Mum, I love you too.”

Menjelang tengah malam aku sudah berada di atas kereta. Tak lama kemudian kereta mulai melaju perlahan. Aku menyandarkan kepalaku ke belakang sambil memandang keluar jendela. Hatiku kutinggal terlantar di kota London. Sebuah bait dari lagu semula mulai mengiang di kepalaku.

 

If I could turn back time

I'll go wherever you will go

If I could make you mine

I'll go wherever you will go

I'll go wherever you will go

 

-------------

*Bait lagu ini dan yang seterusnya dikutip dalam cerita ini adalah dari lagu “Wherever You Will Go” yang dirilis grup musik The Calling pada 2001 (ciptaan Alex Band dan Aaron Kamin).

(Gambar: via Pinterest dan Canva)

-Bersambung-

Baca Noam 3

Baca Noam 2

Baca Noam 1

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.