Pada Jumat, 14 Maret 2025, badanku mulai terasa demam. Ah, kelelahan nih, pikirku. Biasanya, kelelahan macam ini sehari saja beristirahat sudahlah cukup. Nyatanya, kali ini tidak demikian. Sabtu keesokan harinya aku masih tetap demam disusul tenggorokan meradang. Cilaka!
Sebagai orang yang percaya pada Puskesmas, langsung terpikir untuk pergi ke Puskesmas terdekat. Tapi, duh, justru karena demam tak ada tenagaku buat segera jalan sendiri—meski memakai ojol pun. Tak ada orang yang bisa mengantarku. Jadinya aku berpikir, ah, tidur rasanya pasti jauh lebih enak dibandingkan dengan bangkit sempoyongan dari kasur.
Terbiasa tinggal di daerah yang terbilang dusun—penyebutan dusun ini tanpa maksud merendahkan ya, malah lebih ke romantisme yang menyenangkan—di mana Puskesmas terdekat adalah sebuah Puskesmas Pembantu (PP), aku berpikir bahwa sepertinya baru Senin depan bisa ke berobat ke sana.
Di 'dusunku' PP buka tiap hari kerja sampai jam tertentu. Sabtu lebih cepat lagi jam tutupnya, Minggu mereka tiada buka. Jadi, tak heran bila aku terbiasa berpikir dengan pola akan segala keterbatasan itu. Untungnya, aku lalu iseng bertanya ke gugel, dan mendapati kenyataan bahwa ternyata Puskesmas terdekat di tempatku sementara ini tinggal, buka selama 24 jam. Waaaah..., ini kabar baik!!!
Berarti, Sabtu pun mereka tetap buka, jam berapapun itu. Meski demam kelojotan, aku tetap berpuasa—kan sedang Ramadhan—berhubung aku percaya pada paham otofagi. Maka, kupikir nantilah setelah buka puasa baru aku akan pergi ke Puskesmas terdekat yang kumaksud.
Alih-alih pergi, selesai buka aku malah balik lagi ke kasur. Sebabnya, hujan rintik-rintik menghalangi langkahku. Kutunggu sampai jam setengah sembilan malam, sampai akhirnya aku berbisik pada diri sendiri, “Semoga besok cerah,” dan kembali menarik selimut.
Minggu pun tiba. Badan sudah tak terlalu demam, tenggorokan juga tak terlalu berat. Timbang timbang timbang, pergi atau tidak, pergi atau tidak; akhirnya jadi juga aku berangkat ke si Puskesmas terdekat itu. Kata gugel jaraknya 1,5 km dari rumah tempatku sekarang menetap. Sementara, kata aplikasi ojek terkenal itu, jaraknya 2 km lebih. Halah...
Dan, berangkatlah aku dengan si ojol ke si Puskesmas terdekat. Masih dengan bertanya-tanya sih sebenarnya, apa betul Minggu begini mereka tetap buka?
Tiba di sana, situasi sepi tapi terlihat petugas-petugas di tempatnya masing-masing. Kira-kira setahun lalu aku sempat ke Puskesmas ini, untuk suatu urusan yang tak ada hubungannya dengan kesehatanku. Saat itu adalah hari kerja, ramainya bukan buatan. Berbeda jauh dengan hari ini.
Selain aku, sepertinya ada pasien lain yang tengah menunggu. Aku langsung mendaftar.
“Ada BPJS, bu? Atau, KTP?” petugas pendaftaran bertanya ramah.
“BPJS ada, tapi bukan dari kelurahan di sini,” jawabku terus terang.
“Tidak soal,” katanya.
Kartu BPJS kurserahkan, aku lalu diminta menunggu sebentar dan nanti akan dipanggil. Baru saja duduk, sudah kudengar nama lengkapku mengumandang. Periksa tekanan darah. Setelahnya, dipersilahkan masuk ke ruang dokter, diperiksa, lalu diarahkan ke farmasi untuk mengambil obat. Hanya lewat sedikit dari tiga puluh menit sejak berangkat tadi, aku sudah berada kembali di kamarku.
Cepat sekali, kan! Kesimpulanku, sepertinya Minggu adalah hari yang paling enak ke Puskesmas ini. Sepi pasien! Jam operasionalnya 24 jam.
Lalu, berapa biaya yang harus kukeluarkan? Sebelum berangkat tadi, di rumah aku sudah menyiapkan selembar sepuluh ribu rupiah. Berdasarkan pengalaman di Puskesmas Pembantu di dusunku, untuk pasien non-BPJS yang ber-KTP provinsi yang berbeda, biaya berobatnya adalah Rp20.000,-, termasuk obat-obatan. Apabila KTP-nya berasal dari provinsi yang sama, cukup Rp10.000,-. Pasien ber-BPJS seluruhnya gratis.
Aku bukannya tak memiliki BPJS, tetapi BPJS millikku adalah PBI, Penerima Bantuan Iuran. Alias, gratisan. Kalau tak salah dikenal juga sebagai KIS, Kartu Indonesia Sehat. Iuran untuk BPJS PBI dibayarkan oleh APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) masing-masing provinsi. Karena didanai oleh daerah yang sesuai dengan provinsi dikeluarkannya KTP, maka, BPJS PBI tak bisa digunakan diluar provinsi tertentu itu. Demikian akar dari sebab BPJS-ku yang diterbitkan di DKI Jakarta, tak laku di PP dusun yang adalah di luar wilayah provinsi KTP-ku.
Karena BPJS PBI-ku dan lokasi Puskemas terdekat yang kubicarakan berada di provinsi yang sama, maka kunjunganku ke sana pada Minggu siang itu jadi cuma mengeluarkan dana ongkos transportasi belaka. Memang, aku ‘hanya’ irit Rp10.000,-, tapi rasanya koq senang sekali ya... =^.^=