Kopi dan Kemaluan Sufi
Rupanya tak hanya Rahmani yang membayangkan itu terjadi pada kemaluannya, tetapi juga para pendengarnya, termasuk saya yang duduk paling depan.
Tok tok tok... "Assalamualaikum." Terdengar suara Rahmani mengucapkan salam dari luar ruangan tempat saya menulis dan membaca itu.
Kemudian pintu ruangan segera saya buka, lalu terlihat sosok Rahmani menyodorkan kopi hitam dengan senyum manisnya.
"wah... Alhamdulillah, terima kasih, cok." Sahut saya sambil menyambut kopi yang disodorkan.
Anda mungkin ingin berkata, "kok jahat? dibikinin kopi, kenapa malah yang bikin kopi lantas dimaki dengan sapaan "Cok"?
Orang Jawa Timur tentu sangat sensitif dengan kata-kata ini. Sebab, kata "cok" biasa digunakan sebagai kata makian, yang itu berasal dari kata "Jancok". Walau di sebagian tempat, kata "cok" tidak selalu bermakna makian atau hujatan, namun lebih condong mengarah kepada konteks bahasa keakraban. Mengumpat dengan kata "jancok" ini biasa disebut dengan istilah "misuh".
Begini. Nama aslinya adalah Rahmani. Dulu ia nyantri di pondok Abah Amin, Darul Falah 4. Tepatnya di pondok Gus Azka Ahmad Alhasyimi. Sekarang ia memilih berkhidmah dan ngaji di Asrama Raja Ali Haji, Jombang.
Rahmani adalah 'Sarjana Hangat' fresh from the oven, yang insyaAllah bulan depan akan mengikuti 'ritual' yang biasa disebut Wisuda. Ia baru saja sah mendapatkan titel 'Sarjana Hukum' beberapa bulan lalu.
Sambil menunggu momen haru wisuda bulan depan, sekarang ia sedang menikmati hari-harinya dengan ketidak-jelasannya sebagai "Sarjana Mambu Toga".
Dengan ketidak-jelasannya itu, belakang ini Rahmani sering mengikuti kajian dan diskusi yang berbau tasawuf. Ia aktif dalam kajian kitab Nashaihul Ibad yang saya bacakan setiap Minggu malam.
Akhir-akhir ini Ia juga sering berdiskusi, mengutarakan opini dan gagasannya terkait wacana pembangunan Eco City yang menimbulkan gesekan antara BP Batam dan masyarakat adat Melayu Rempang Galang. Agaknya, iya bercita-cita untuk menjadi sufi muda sekaligus menjadi Pengamat Kebijakan Publik, untuk menutupi statusnya sebagai sarjana hangat.
***
Tadi malam, Rahmani kebagian jadwal khitobah dalam acara Jam'iyah yang diadakan setiap Kamis malam. Dalam khitobah-nya, ia menceritakan kisah seorang sufi yang menghimpitkan kemaluan karena ingin terhindar dari berbuat zina.
Saat menyampaikan khitobah yang menceritakan kisah Abdullah Al-Mughawiri itu, anak-anak di Asrama Raja Ali Haji yang mengikuti acara sangat antusias mendengarkan kisah yang disampaikan oleh Rahmani tersebut.
"Jadi teman-teman, di saat sufi ini sudah tidak lagi bisa menahan nafsu syahwatnya kepada si perempuan yang ia tolong, ia memutuskan untuk sejenak menjauh dari keramaian. Kemudian sang sufi mencari batu, dan batu tersebut ia gunakan untuk menjepitkan kemaluannya hingga terluka." Ujar Rahmani dengan ekspresi yang sedikit menahan sakit.
Sepertinya, sambil berkhutbah ia juga membayangkan hal itu terjadi pada kemaluannya. Hahaha...
Para mustami'in yang mendengarkan kisah sufi yang wafat di Mesir pada tahun 601 H itu, juga ikut menunjukkan ekspresi menahan kesakitan, pada bagian jepit-menjepit itu. Rupanya tak hanya Rahmani yang membayangkan itu terjadi pada kemaluannya, tetapi juga para pendengarnya, termasuk saya yang duduk paling depan. Ia berhasil menghipnotis para pendengarnya untuk larut dalam kisah sufi kelahiran Spanyol itu.
Rahmani melanjutkan khitobah-nya itu dengan mengajak teman-temannya untuk menjauhkan diri dari nafsu syahwat yang hanya berakhir pada penyesalan. Di sela-sela khitobahnya itu, tiba-tiba seseorang di belakang saya nyeletuk,
"jaman sekarang kalau syahwatnya lagi naik bukan nyari batu, tapi nyari sabun."
"HAHAHAHA...." Spontan, saya dan anak-anak yang hadir di situ ngakak banter berjamaah. Rahmani sebagai sang khatib juga ngakak terkekeh-kekeh. Ruangan pun jadi riuh dipenuhi suara gelak para hadirin.
Rahmani mengakhiri khitobahnya dengan mengutip maqolah yang terdapat pada kitab Nashoihul Ibad yang berbunyi:
الشهوة تصير الملوك عبيدا
والصبر يصير العبيد ملوكا
"Syahwat akan menjadikan seorang raja menjadi budak, sedangkan sabar akan menjadikan budak sebagai seorang raja."
***
Lalu mengapa saya memanggil Rahmani dengan sebutan 'cok'?
Begini. Rahmani adalah pemuda berdarah Bugis. Orang bugis biasanya memiliki nama kecil, atau biasa disebut dengan panggilan manja. Panggilan manja Rahmani sendiri adalah Acok. Di kalangan teman-temannya, ia biasa dipanggil dengan sebutan Acok. Sebutan Acok telah mendarah daging dalam dirinya.
Itulah alasan mengapa saya menerima kopi yang dibuat Rahmani dengan ungkapan, "terima kasih, Cok". Sebab saya terbiasa menyapa dan memanggilnya dengan panggilan Acok.
Tak jarang, jika teman-temannya misuh saat kalah main game, Acok menyahut dari kejauhan. Ia mengira temannya sedang memanggilnya, padahal temannya sedang misuh karena kalah dalam game. Hahahah...
***
Seperti biasa, jika saya masuk ke ruangan ini, saya selalu dibuatkan kopi hitam panas oleh teman-teman asrama Raja Ali Haji.
Kadang, saya harus menginformasikan kepada mereka untuk tidak membuatkan kopi, sebab kopi yang ada di gelas sebelumnya masih ada. Tapi kali ini saya sedang sibuk menyelesaikan urusan dengan Laptop kesayangan saya, sehingga lupa memberi tahu teman-teman kalau kopi masih ada di atas meja.
Sepertinya mereka hafal betul, bahwa saya sangat suka ditemani kopi hitam saat menyelesaikan semua pekerjaan dan urusan di atas meja berantakan tak terurus ini. Setiap kali saya masuk ke ruangan ini, mereka segera ke dapur untuk membuatkan kopi hitam. Walhasil, saat ini ada dua gelas kopi berjejer di hadapan saya.
Bahkan, saat tulisan ini selesai diketik, gelas yang terisi penuh itu, alias kopi yang dibuatkan oleh Acok, masih berstatus perawan dan belum saya sentuh untuk kedua kalinya setelah menerimanya dari sarjana hangat itu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.