Cokelat yang Tak Sampai ke Mulut Gebetan


Tulisan ini pernah dimuat di Kompasiana. Semasa sekolah menengah tingkat pertama, adalah salah satu masa puber yang seringkali berlanjut urusan cinta monyet. Ada sebuah pengalaman yang lucu sekaligus mengesalkan. Saya dulu mempunyai seorang teman sekelas, sebut saja namanya Nanang, sebuah nama yang saya samarkan, untuk menghormati privasinya dan jaga-jaga siapa tahu ada teman sewaktu satu sekolah SMP saya membaca tulisan ini. Waktu itu di sekolah kami ada jam kosong, kebetulan sang guru yang seharusnya mengajar, mendadak diutus untuk mengurus urusan sekolahan ke Departeman Pendidikan dan Kebudayaan di Kabupaten.
Singkat cerita kami sekelas diminta oleh guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) untuk belajar sendiri, alhasil waktu jam kosong ini kami manfaatkan untuk mengobrol dan bercanda. Suatu momentum langka yang harus dimanfaatkan dengan baik.
Di saat itu, Nanang yang sengaja pindah tempat duduk di sebelah bangku saya dan mendekati saya bercerita. "To, minggu lalu aku diminta Dedi antarkan cokelat ke Rita."
"Rita yang anak kelas 2B, ya?" tanya aku untuk menyakinkan diri sendiri saja, kalau memang yang dimaksud adalah orang yang sama.
"Betul, Rita yang itu dan Dedi kasih cokelat lumayan itu. Cokelat Silver Queen."
"Wuuih.... lebih mahal dari cokelat Jago dan Welco," jawab aku dengan sedikit terkagum-kagum.
"La...iyo mosok dikasih cokelat biasa lah!" Saat tahun 1990-an yang terkenal memang tiga macam cokelat itu, yaitu Silver Queen, Welco dan Cap Jago.
Kemudian Nanang bercerita bahwa Dedi sudah menaksir Rita sejak lama. Mulai sejak kelas 1 dia sudah ingin menyatakan cintanya tapi baru kali ini dia mulai mencoba menyatakan cintanya. Sebagai penasihat cinta dadakan, Nanang menganjurkan Dedi untuk memberikan cokelat kepada Rita sebagai tanda perhatian untuk melancarkan sinyal-sinyal tanda cinta monyetnya (sengaja saya tulis cinta monyet).
"Tapi To.... cokelatnya nggak sampek," Nanang melanjutkan ceritanya.
"Lah... terus lu cokelatnya ndek mana?" tanya aku keheranan.
"Udah tak makan duluan cokelatnya... ha...ha...!" jawab Nanang dengan tertawa lepas kegirangan. "Lumayan, cokelat mahal, enak lagi.... makan dhewek ae wes. Aku nggak kasih ke Rita."
"Lah... lu terus bilang apa sama Dedi?"
"Aku bilang udah tak kasih ke Rita."
"Terus lu nggak takut Dedi tanya ke Rita?" aku bertanya dengan sedikit penasaran.
"Nggak lah.... Dedi ora kiro wani lah!" Seperti perkiraan Nanang, Dedi tidak pernah menanyakan perihal cokelatnya kepada Rita. Semenjak itu, saya menjadi yakin dan seyakin-yakinnya untuk masalah urusan percintaan monyet tidak lagi berani berkonsultasi dengan Nanang.
Pesan moral dari kejadian ini, adalah untuk urusan cinta lebih baik andalkan diri sendiri saja. Ha...ha...ha....! (hpx)
*Catatan: Mosok = masa? Dhewek = sendiri. Ae Wes = saja. Wani = berani.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.