Aku Bukan Perawan

“Uhuk, uhuk….”
“Eits…batuk nih. Tutup dong mulutnya, jorok ah. Ke ruang kesehatan gih, jangan-jangan…”
“Sembarangan ya kalau bicara. Ini gara-gara chat nih.”
“Chat?. Salah apa chat sama kamu?”
Sudah makan belum?, Jangan sampai telat makan ya!
Heran, perempuan kalau dapat chat begini, bisa bikin melambung hati. Padahal pacarnya pasti orang jahat. Setiap hari ditanya sudah makan atau belum, tidak pernah ditanya setelah itu, jangan lupa minum nanti keselek.
“Hahahahahha, berlebihan. Perempuan seperti kamu itu berlebihan. Digombalin sedikit saja sudah seperti ratu sehari. Kamu mau dengar tidak, chat yang enak seperti apa?”
“Seperti apa?”
“Aku lagi makan siang nih di resto kesayangan kamu, mau pesan apa?. Aku kirim via GoKir ya.”
“GoKir apaan tuh Nad, aplikasi baru ya?”
“Bukan, ini aplikasi bodong lamunan gue. GoKir alias Go Kirim.”
“Ada saja idemu Nad, tapi iya juga ya. Setiap hari ingatkan makan terus, kan lebih baik duduk satu meja, pesan makanan lalu makan Bersama.”
“Betul, atau kirim chat terakhir yang berbunyi, sayang tolong masak makanan kesukaan aku ya, mulai minggu depan. Kamu di dapur, dan aku duduk di meja makan”
“Ih Nadia, itu namanya sudah sah Nad.”
Nadia ini perempuan paling tangguh yang aku kenal. Konon perjalanan hidup Nadia tidak terlalu baik. Hingga suatu hari Nadia pernah sampaikan bahwa dia sudah tak perlu laki-laki. Menurut Nadia semua laki-laki sama saja. Bentuknya sama, kelakuannya sama, gombalnya sama dan hobinya sama yaitu membuat perempuannya menangis.
“Dulu aku selalu menganggap bahwa laki-laki itu tidak semuanya brengsek. Ternyata hampir semua laki-laki yang kukenal pernah jadi brengsek.”
Kala itu tahun 1999, usiaku baru saja 18 tahun. Belum cukup dewasa untuk mengetahui perjalanan hidup yang baik. Dari aku kecil semua terlihat sempurna. Semua berjalan tanpa cela hingga satu hari ibuku menangis tersedu-sedu. Hari itu adalah pemandangan pertama melihat ibu menangis selain saat ibu ditinggalkan oleh ibu dan bapaknya.
Kakak perempuanku hamil sebelum menikah. Hancur hati ibu.
“Gugurkan, ibu malu harus melihat kamu melahirkan tanpa suami!”
“Ampun, aku mohon ampun. Aku khilaf. Tapi tolong jangan paksa aku untuk gugurkan kandunganku. Aku rela berjuang sendirian.”
“Kamu pikir semudah itu membesarkan anak. Lantas siapa yang akan temani kau melahirkan nanti?. Bapakmu?. Ibu?. Ibu tidak sudi.”
Ibu tidak pernah kasar. Kali pertama ibu menampar kakak perempuanku di depan mataku. Lalu dengan nanar, ibu tunjuk perut Kak Shinta kemudian mengusirnya dari rumah.
Kak Shinta berlari ke kamar, aku menyusulnya. Aku tidak mengerti, tapi Kak Shinta sangat membutuhkan pelukan.
“Dek, kamu baik-baik ya. Kakak pergi dan doakan selalau agar keponakanmu selalu sehat
Aku tidak terluka, tapi ketahuilah kepercayaanku pada laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan ketakutanku mengenal laki-laki.
“Nad, tidak semua laki-laki seperti pacar Kak Shinta. Kamu tolong percaya aku, aku akan selalu menemanimu dalam suka dan duka.”
“Sulit Har, aku menyaksikan semua kekecewaan Kak Shinta hingga akhirnya kak Shinta pergi meninggalkan rumah, lalu keponakanku lahir dan setelah itu Kak Shinta pergi untuk selamanya. Kasihan Reno, besar tanpa kasih sayang ayah dan bundanya.”
“Aku tidak seperti itu, percayalah. Menikahlah denganku maka kau akan percaya semua yang aku sampaikan!”
Januari, 2003.
Dalam usia yang belum terlalu matang, aku putuskan terima pinangan Hardi.
“Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Febriansa dengan mas kawin 11 gram emas dibayar kontan.”
“Sah…sah?.”
“Saaaaaaaah.”
Hardi kecup keningku, dalam balutan adat Jawa, kami saling berbisik, aku adalah kehidupanmu, bila aku mati maka tidak ada kita.
“Kau membohongiku. Selama ini kau ketakutan aku meninggalkanmu sampai kau ragu untuk menikah. Ternyata kau sudah tak perawan.”
“Apa maksudmu Hardi?. Aku tak pernah melakukan sebelumnya, saat ini aku masih merasa perih dan bisa-bisanya kau bilang aku tak perawan?”
“Ah persetan dengan alasanmu, kau berbohong. Aku yang merasakannya. Malam ini juga aku ceraikan kau,”
Ya Tuhan, keperawananku aku serahkan pada laki-laki gila.
Nadia meneteskan air mata. Aku sangat memahaminya.
“Tapi kamu jangan terlalu khawatir, siapa tahu jodohmu baik.”
“Bagaimana aku tidak khawatir, kalau ternyata laki-laki sibuk bicara tentang perawan dan menghilangkan keperawanan.”
Rio Typing…
Kamu sudah makan belum?
Belum, aku sedang pesan minuman. Kamu tidak pernah ingatkan untuk minum. Ayam saja setelah makan pasti minum.
“Tidak usah pesan, nih minumanmu.”
Signature Chocolate, kesukaan aku dan Rio.
Rio di belakangku. Nadia di depanku. Haruskan aku bergembira karena kejutan dari Rio?. Atau biasa saja, karena aku meragu dengan Rio.
“Aku mencintaimu bukan karena keperawananmu. Aku mencintaimu bukan karena sejarahmu dan aku mencintaimu karena aku mau menempuh hidup bersamamu di masa mendatang.”
Kubuka sepuluh jariku, terima..tidak…terima…tidak.
#Bandung, 08 April 2020
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.