BUS MERAH

Bus merah itu menghantar yang pergi, yang datang dan yang tak perlu kembali, selamanya.

BUS MERAH
Bus merah yang menginspirasi cerita ini

Bus-bus merah tua itu selalu bolak balik di kampungku. Bentuknya yang unik sudah seperti bus safari di alam terbuka, mengangkut turis domestik atau asing yang mau singgah ke kampungku untuk melihat bangunan bersejarah, Klenteng-Klenteng tua di wilayah ini.

Jaman dulu, perkampunganku ini dipenuhi orang-orang Tionghoa yang diasingkan, mereka menetap dan membangun Klenteng sesuai kepercayaan masing masing, entah itu Konghucu, Tao atau Buddha.

Meski begitu, mereka rukun dan saling bantu apalagi di festival besar tahunan Sepuluh Harian, aku pernah diajak ayahku kesana. Selama sepuluh hari itu, umat dari Klenteng-Klenteng yang berbeda aliran merayakan ibadah besar-besaran yang diiringi dengan saling kunjung bergantian sambil membawakan hadiah tertentu entah itu berupa makanan atau barang, biasanya kue bulan, sate babi, sayur bakut, hasil bumi, guci dan piring keramik.

Dan meski kami Buddha, ayah selalu bersedia membantu membersihkan halaman dari Klenteng Konghucu. Ayah kenal baik dengan penjaga Klenteng tersebut sejak ia masih kecil. Dan kini saat penjaga tersebut sudah tua, ayah sering kesana membantunya bahkan ayah juga diijinkan untuk membersihkan meja abu dan beberapa patung dewa-dewi yang berdebu.

Perlahan, kampung ini pun agak sepi. Anak-anak yang telah dewasa, banyak yang meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke ibukota atau kota besar lainnya. Mereka baru kembali dengan menumpangi bus merah tersebut saat musim liburan atau perayaan hari raya tertentu seperti Imlek. Dan biasanya, jumlah penumpang bus tersebut meningkat drastis saat Festival Sepuluh Harian karena bukan saja diisi oleh para perantau yang sedang pulang untuk melepas kerinduan tapi juga rombongan wisatawan yang ingin melihat festival tersebut.

Adanya berbagai pergelaran kebudayaan khas Tiongkok yang digelar secara besar-besaran menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan ini. Mulai dari Barongsai, pertunjukan Kung Fu, Opera Cina, Wayang Potehi, tarian Kipas, pesta kuliner khas Cina, pesta Lampion dan lainnya. Kampung pun dihiasi berbagai ornamen cantik yang didominasi warna merah dan emas.

Hanya saja, sekitar lima tahun lalu ayahku naik bus merah itu, pergi ke ibukota dan tak pernah kembali. Ibu menangis berminggu-minggu, sebab tak ada kabar apapun dari ayahku. Hingga dua tahun kemudian, ia menikah lagi dengan pria lain yang menjadi ayah tiriku. Berhubung ayah tiriku tak menentu pekerjaannya, ibu pun terpaksa turut bekerja menopang kebutuhan keluarga. Ia sesekali memandu turis yang datang ke Klenteng, ibuku memang mahir berbahasa Mandarin dan sedikit bahasa Inggris, keuntungan tersendiri bagi keluargaku.

Tapi sial bagiku, disaat ibuku pergi bekerja, ayah tiri sering bertindak semaunya, memangku, meraba-raba bahkan sampai memperkosaku, untungnya tak sampai hamil. Ancamannya pun menakutkan, aku cuma bungkam dan pura pura tersenyum setiap ibu pulang. Rasa putus asa begitu kuat dalam diriku, tapi aku kasihan dengan ibuku, ia cinta mati dengan ayah tiriku. Menceritakan hal sebenarnya sama saja menghancurkan dirinya yang telah hancur terlebih dahulu akibat kepergian ayahku, aku bingung, aku takut, diam entah sampai kapan.

Dari tahun ke tahun, turis-turis ini semakin banyak serta beragam. Pernah mereka melewatiku dan dari dalam bus merah itu, mereka melambaikan tangan, memotret sambil melempar segenggam kacang. Iya, kacang! 

Sial! Dikiranya aku sebangsa monyetkah? Tapi kacang-kacang yang jatuh itu tetap kukunyah sambil berbaring tenang di tepi pematang sawah. Lalu datanglah seorang lelaki, meremasi susuku tanpa bisa kulawan karena aku sangat bergantung padanya, beginilah hidupku sehari hari sekarang.

Dulu saat aku membahas soal kematian bersama ibuku, dia pernah bertanya, "Kalo reinkarnasi nanti, mau jadi apa?". "Sapiiii.. bisa makan dan berbaring seharian, semaunya!" jawabku asal ucap. Dasar pikiran anak kecil, belum paham bahwa ucapan adalah doa.

Hingga suatu hari, kulihat dari jauh seorang pria menghentikan bus merah itu lalu naik, aku mengenalinya! Sesaat sebelum bus itu mendekat, aku menghambur ke tengah jalan. Supir kaget ada sapi melintas, bus oleng, menabrak pembatas, terjun bebas ke jurang terjal di bawah. BUMMMM, meledak! Bus merah itu hancur tak bersisa dilalap api merah.

Selamat jalan ayah tiri!

(Ditulis 29 September 2020 dan ditulis ulang lagi di tanggal 24 Juli 2022 dengan penambahan cerita)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.