Mari Kita Sudahi

Aku tak mau berbicara tentang Tuhan, juga tak mau berbicara tentang alasan Tuhan tentang aku dan kamu, apalagi berbicara mengenai masa tak tepat jatuhkan sasaran.
Mari kita sepakati bahwa tangan kiri memegang janji dan tangan kanan saling bergenggaman.
Satu ajaran Tuhan yang sampai saat ini harus aku lakukan adalah mengenai bersyukur.
Hidupku terlalu indah, polesan warna yang selalu disematkan padaku selalu enak dilihat. Bukan oleh mataku tapi oleh ribuan pasang yang menyengaja juga yang tak mau melihat namun ujung mata tetap memantau.
Yes, aku berhasil membuat iri orang-orang di sekelilingku.
Ini tawaku, dalam kehidupanku, tawa muncul pada bait pertama dengan ditulis tebal dan akan muncul di halaman-halaman berikutnya.
Hal ini jelas berakibat fatal, semua orang mengira bahwa aku tak pernah kenal tentang pahitnya kehidupan.
Memang…
Saat alam yang begitu indah sudah mulai menggodaku, maka aku putuskan untuk bersenggama dengannya. Satu persatu aku jajaki. Kuperkenalkan diriku dengan sedikit menepuk dada.
Kenalkan, aku Sayang.
Aku mau berteman denganmu. Kenalkan padaku bagaimana caranya bercanda dengan embun, berlari dengan matahari, bercumbu dengan batu dan berkasih sayang dengan rumput yang bergoyang.
Akan kulepasakan sehelai demi sehelai, kain firman yang selama ini membuatku aman. Rupanya menjadi putri raja tak selalu enak. Perlahan kurobek kepompong, kukeluarkan aku dengan kukuku yang tajam, kuperhatikan sayap kiriku, wow cantiknya. Lalu sayap kananku, yaaa sedikit luka.
Ah, terlalu tidak sabar. Prematur untuk mengenal dunia.
Kaki yang tak sempat kenal dengan rumput basah membuatku selalu berjinjit dalam manapaki hidupku yang baru, terkadang aku berlari agar aku cepat sampai di titik yang aku mau.
Satu hari aku menemukan indahnya air terjun yang aku dapatkan dengan cara menyusuri lembah. Sungguh terlalu rumit untuk aku ceritakan.
Saat semua berkumpul untuk membaca denah dan arah panah, aku sibuk membaca kompas dan mengikuti hembusan angin.
“Oke, Regu Mawar ambil jalan ke Timur dan Regu Rusa ambil jalan ke Barat. Perhatikan setiap petunjuk, kalian akan menemukan 6 pos penjaga, untuk memastikan bahwa arah kalian benar. Ada pertanyaan?”
Semua manggut-manggut. Hmm aku rasa mereka sok pintar. Ini adalah perjalanan kami yang pertama untuk menyusuri Perkemahan Gunung Puntang.
Masa sih tidak ada pertanyaan, minimal tanya bakal menemukan apa di perjalanan nanti, atau kira-kira berapa jam waktu mengitari perkemahan ini atau kalau seandainya nyasar harus lakukan apa?.
“Baik karena tidak ada pertanyaan, artinya kalian semua paham ya. Pastikan perbekalan sudah lengkap dan jangan terlalu banyak yang dibawa. Kita hanya akan mengitari perkemahan ini sekitar 3 jam. Sebelum adzan ashar, saya pastikan kalian sudah sampai di pos terakhir dan saya akan siapkan hidangan terbaik untuk kita semua.”
Wow, hidangan terbaik. Seperti apa ya?. Selama ini hidangan terbaikku adalah opor ayam buatan mama.
Satu persatu barisan bubar. Ada dua regu besar yang terbagi menjadi masing-masing lima regu kecil, masing-masing regu kecil berjumlah tujuh orang. Total ada tujuh puluh orang anak barisan yang siap mengisi pos-pos penjagaan.
“Bram, pindah ke belakang ya, pastikan barisan kita lengkap!”
“Oke Pras.”
“Cyn, jalannya yang betul dong, nanti kita ketinggalan. Teman-teman tolong rapikan barisan.”
Ya ampun rame bener deh, pertama kali aku ikut kelas berkemah seperti ini, aku ga paham yang seharunya seperti apa.
Niatku ada di sini bukan untuk ikut barisan dan lapor di setiap pos penjagaan.
Aku ingin bebas dan merasakan dunia tanpa pengamanan.
Pinus merajalela, matahari malu-malu semburkan cahayanya. Aku tak mengenali ke enam puluh Sembilan orang ini. Kalau aku keluar secara perlahan aku rasa mereka tak akan menyadarinya. Yang pasti aku akan bertemu mereka di pos terakhir.
Sebentar, saatnya belum tepat. Tepat di belokan tajam setelah batu besar aku akan perlahan mundur ke belakang barisan.
“Ngapain lu?”
“Ini tali sepatuku lepas, duluan aja. Ntar aku lari kejar barisan.”
“Jangan lama-lama, repot urusan kalau sampai ketinggalan barisan.”
“Siaaap bos.”
Yes, rencanaku berhasil. Pura-pura aku betulkan tali sepatuku, aku lepaskan lagi dan aku betulkan lagi.
Perlahan aku geser badanku mendekati batu besar yang sudah aku tandai, di dekatnya ada jalan melandai. Aku penasaran.
Kuikuti jejak kaki pada lumpur di antara batu-batu kecil. Sesekali harus kutahan kakiku agar tidak tereglincir.
Wow pengalaman luar biasa.
Sebagai burung dalam sangkar, yang melulu hanya melihat hal yang itu-itu saja. Jelas ini sangat memicu keingintahuanku yang semakin besar.
Kutambah kecepatan kakiku, tepi lembah sudah mulai terlihat.
Kusenderkan sebentar unutk sekadar memuji keagungan Tuhan.
Menurut buku yang aku baca, di hutan pegunungan akan terdengar suara bersahutan bila kita berteriak. Apa ya namanya aku lupa?
“Wooooi…. Wooooi.”
“Alamku apa kabar?...alamku apa kabar?”
“Aku, Sayang. Aku, Sayang.”
Ya Tuhan, indahnya.
Seketika aku merasa bebas. Mataku menatap kebesaranMU.
Telingaku terbebas dari sumpah serapah, berganti dengan tadahan batu yang bertabrakan dengan kerikil kecil yang sesekali terjatuh karena dentuman air terjun.
“Ko menangis?. Apa ga sayang, jauh-jauh tinggalkan barisan cuma untuk melepas tangis?”
“Eh, lancang benar kamu.”
“Maaf, dari tadi aku perhatikan kamu. Dari tadi pula aku ikuti kamu.”
“Ngapain, ga ada kerjaan?”
“Lah kamu ngapain? Ga ada kerjaan?”
Kutinggalkan dia, laki-laki dari kerajaan mana, aku tak tahu dan tak mau tahu. Ganggu saja.
Kutelusuri lembah, kusapa barisan rumput liar, sesekali bermain dengan putri malu yang masih malu-malu.
“Hey, kamu. Apa kabar?. Mana tanganmu, kuberi kau kehangatan agar kau tahu bahwa energiku besar sekali hari ini?”
“Hey, Sayang. Apa kabar?”
“Kau tahu namaku?”
“Tentu, teriakanmu mengganggu kami.”
“Maaf ya, aku hanya sedang luapkan rasa.”
“Kau gembira?”
“Iya, sangat gembira?”
“Kau bahagia?”
“Iya, sangat bahagia.”
“Kalau begitu teruskan, nikmati kami, rengkuh aliran air di ujung sana, basuh mukamu dan kau rasakan indahnya kebebasan.”
Kebebasan.
Bukannya ini yang aku nantikan sejak lama.
Baik, aku siap lepaskan segala firman.
Kubuka helai demi helai. Bukan helaian firman tapi kelaian kain yang membungkus tubuhku.
Kusentuh air dengan ujung ibu jari kakiku. Kususul dengan sisa jari kakiku.
Kubiarkan bermain tanpa beban, ya Tuhan darahku kembali mengisi setiap kebekuan nadi. Kembali kudengar mereka bernyanyi, du du du…du du du.
“Kenapa kau hanya biarkan kami yang bermain?”
“Melihat kalian bernyanyi saja aku sudah senang.”
“Bukannya yang tersakiti hatimu, maka dia lebih berhak bermain daripada kami.”
“Kau mau seluruh tubuhku bermain dengan mainan barumu?”
“Tentu, lihat setiap garis nadimu begitu menggelora berdentum dengan alunan air yang berpijak sempurna.”
“Baiklah, akan kutelanjangi dan kubiarkan tubuhku bersetubuh dengan bebatuan. Kubiarkan aliran darah bersenggama dengan beningnya aliran air dan kubiarkan angina\ menarik rambutku agar menari dengan arah mata angina kepunyaannya.”
Keciprat keciprit, keciprat keciprit.
Tak ada norma, tak ada cibir dan tak ada tatapan nanar.
Aku bebas sebebas-bebasnya. Kutenggelamkan kepalaku, berdetik-detik kuhirup segarnya air di bawah sana. Kulepaskan dengan hentakan dari dasar air dan kukibaskan rambutku.
Kucuran air yang disapa sedikit mentari, turun menelusuri leherku, kubiarkan dia mengenal tubuhku yang lama tak tersentuh kegembiraan.
Perlahan rambut mulai mengering, kubiarkan kembali mentari bermain dengan sisa air di rambutku.
Menelusuri tubuh telanjangku, aliran air melewati dada kemudian sedikit menyentuh puting yang kubiarkan tanpa kututupi walau dengan jari sekalipun.
“Aku tepati janjiku.”
Ah, laki-laki tadi, malas aku membalik badan. Panik, aku mulai panik karena tak ada sehelai kainpun menutupi tubuhku.
Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan, aku pikir di sini hanya aku seorang diri.
“Aku tepati janjiku.”
Dia tutup tubuhku dengan selembar kain. Tunggu baunya aku kenal.
“Hario…. Kamu di sini?. Ngapain?”
“Aku yang seharusnya bertanya, kamu ngapain di sini. Kenapa kau biarkan tubuhmu telanjang. Tak punya lagi harga sekarang?”
“Ini tubuhku, terserah aku.”
“Ini aku di sini. Aku tak suka caramu, sekarang bergegas kau berpakaian!”
“Aku tidak mau.”
“Aku bilang, berpakaian Sayang.!!!.” Muka Hario memerah, pertanda dia sangat marah.
Duduk di tepi sungai, senja sudah mulai menyapa
“Nih, kopi kesukaanmu!”
“Aku gak mau.”
“Kamu itu kenapa sih?”
“Loh kamu yang kenapa, ngapain di sini?”
“Ya aku gak tahu, aku ga pernah tahu akan bertemu denganmu di sini?”
“Ga tahu?. Ga niat artinya kamu bertemu aku kan?, sekarang pergi dari aku!!!”
“Aku tidak mau. Kau lupa?”
“Lupa apa?”
Jika ada catatan perjalanan yang tidak kita ketahui atau jika ada takdir yang mungkin sudah tercatat dan jika suatu hari aku sendiri begitu juga dengan kau, apa kamu akan mencari aku?
Singkat aku jawab, ya.
“Dan ini harinya. Aku menemukanmu kembali.”
“Maksudmu?”
“Aku penuhi janjiku untuk mencarimu.”
“Kau sendiri?”
“Kau sendiri?”
Angin berhembus agak kencang, kicauan jalak menyalak galak. Lembaran pinus membuka tarian pertamanya, sungguh cantik formasinya.
Di hitungan ketiga satu sama lain saling menjauh dan mentari menyuguhkan rona pipinya.
Hentakan demi hentakan dia suguhkan dengan manja, pelan, perlahan lalu mulai berputar-putar.
Batu dan kerikil saling kerlingkan mata, beradu pada kepala menghasilkan dentuman hebat di antara jatuhnya bulir-bulir air terjun.
Duk, duk, bum…duk, duk, bum…
Tanganku mulai menghangat, ada jemari lain menyusup jemari yang sudah lama beku. Darah mulai menjalar pelan, jemari gemeritik dan kau jepit di antaranya.
Kau kecup punggung tanganku, kau teruskan sesukahatimu, lalu pada tatap mata kau sampaikan.
“Aku mencintaimu dengan segenap doa. Aku mencintaimu dengan dosa yang sudah kucuci janji yang suci.”
“Kehidupanku gelap.”
“Aku bertugas meneranginya.”
“Perjalananku menyakitkan.’
“Aku bertugas menyembuhkan.”
“Kerikilku terlalu tajam.”
“Aku bertugas membersihkannya.”
“Kau yakin untuk meyakinkanku?”
“Sayang, mari kita sudahi untuk saling meludahi. Bukannya jutaan doa yang kau panjat adalah aku dan kau menjadi kita?”
Lembaran pinus mengubah formasinya, masing-masing mengambil peran agar sama-sama mengagungkan kekuatan cinta tanpa paksaan.
Matahari menyetel cahayanya, menyebar dengan binarnya.
Senja sebentar lagi lindap. Dia ingin pulang dengan senyuman.
Dengan kekuatan rindu yang sudah lama tertahan, alunan menjelang maghrib begitu terasa mengesankan.
Piringan matahari akan lepas dari cakrawala, dari jauh kudengar bulan dan bintang sedang mendandani diri. Tak mau kalah dengan senja, dia berkolaborasi dengan meteor agar pada puncaknya besutan cahaya akan mencatatkan sejarahya.
“Kalian ini bagaimana, waktu sudah mau isya dan Sayang belum juga ditemukan?”
“Maaf, tadi Sayang berjanji akan mengejar barisan, namun karena kami ingin segera sampai pos pertama, kami lupa bila Sayang masih betulkan tali sepatunya di belakang.”
“Arrghh, kacau ini. Kita simpan dulu makan malamnya, api unggun tetap dinyalakan, saya minta tiga orang bantu saya mengitari perkemahan. Semoga Sayang bisa segera ditemukan.”
Mereka bersiap-siap mencari aku. Ah biarkan saja. Lucu juga melihat betapa khawatirnya mereka kehilangan aku. Sementara selama ini keberadaanku selalu di sia-siakan.
Kupejamkan mataku untuk berterimakasih pada Tuhan, berjuta doa sudah Tuhan kabulkan.
Telingaku menangkap sesuatu, alunan gitar begitu indah kudengar.
Di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu
Aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta
Hati ini kembali temukan senyum yang hilang
Semua itu karena dia
Oh Tuhan, kucinta dia
Kusayang dia, rindu dia, inginkan dia
Utuhkanlah rasa cinta di hatiku
Hanya padanya
Untuk dia
Syu du-du-du-du du-du-du
Pak Wiro, membalikkan badannya.
“Ya ampun Sayang. Kamu dari mana saja?. Kami panik mencari kamu. Apa kamu baik-baik saja Sayang?”
“Aku baik Pak Wiro. Maaf bila aku membuat panik teman-teman semua.
“Syukurlah, kamu datang dan ada di sini untuk kami beri semangat. Jika kami malah membuatmu hilang, artinya kami gagal mengembalikan kehidupanmu. Maaf Sayang, siapa yang kamu bawa.”
Tanpa instruksi dariku, Hario hentikan suara gitarnya, lalu dengan lantang.
“Perkenalkan saya Hario, kami sudahi perdebatan yang saling meludahi. Tak berani mengakui adalah kesalahan yang membosankan. Untuk kamu yang masih menyimpan cinta, luapkan pada orang yang tepat, tatap matanya maka kau akan mengetahui betapa hidup dapat menjalar dari kebekuan yang tak berkesudahan selama kau saling menggenggam rasa yang kau isi dengan kehebatan asa.”
Cinta bukan sekadar ada
Cinta bukan bicara meminta
Dia datang tak diundang
Dia datang dengan segenap juang
Jangan kau salahkan persimpangan
Bukan ranahmu bicara pada Tuhan
Kelak biar menjadi kerinduan
Yang saling bersaksi mengenai perasaan
Selamat datang kehidupan.
#Bandung, 17 Mei 2020
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.