Pelacur Kabur

Pelacur Kabur
Image by pixabay.com

“Kenapa kau paksa aku berkemas?”
 

Kalut, seketika pikiranku berantakan. Aku kira Bram bersungguh-sungguh denganku, rupanya aku salah dengan pikiranku sendiri.

Aku malu dengan barisan kata yang kutulis, cintaku pada Bram telah kutuangkan semua. Pengharapan tak pernah aku redakan.

 

Menarik nafas yang panjang, merenung tak berujung.

Kuseruput segelas coklat panas, kutatap dengan segenap rasa.

 

“Salahku di mana lagi?”
 

Percuma coklat ini kuajak bicara, kamu tak sehebat kopi. Kamu tak mampu menelusuri relung hatiku. Kamu tak mampu membaca keinginanku saat ini.

 

Kutinggalkan dia di meja. Rugi berlama-lama cerita bersama dia.

 

Kubasuh wajahku, sedikit diberi perona agar tidak terlalu kelihatan jika aku sedang bersedih.

 

Pantai ini terlalu panjang untuk aku telusuri, setidaknya cukup untuk aku menyaru tangis.

Berlari mendekati bibir pantai, tertawa terbahak-bahak, kubiarkan suara sumbang terselip di dalamnya, tangis ku biarkan bersatu dengan air laut.

 

“Hei, kalau mau nangis, tidak usah di tahan!”
“Eh, apa? Aku tidak mendengarnya.”
“Kamu , kalau mau nangis, tidak usah ditahan. Tetap saja kelihatan kok kamu sedang menangis.”

“Ah, sok tahu kamu. Kenal aku saja tidak, sok menebak aku sedang menangis.”

“Kalau begitu, kenalkan aku Raja.”

 

Ah, siapa ini?. Aku tak mau diganggu sama siapapun, mau apa dia?.

Otakku memutar sebentar.

 

Berjongkok sedikit, lalu kuambil air laut kupercikkan ke sekitarku dan berpose sedikit dengan handphone di tanganku.

 

“Ih, bagus hasil fotonya. Sebentar ya, aku ke tengah sedikit.”

 

Kubiarkan laki-laki tadi.

 

Aku benci laki-laki, aku benar-benar membencinya.

“Tuhan mau kasih ujian apalagi?. Aku itu lelah Tuhan, tidak cukup tangisku bertahun-tahun?”

 

Kutumpahkan kesalku pada buih yang bermain. Kuhabiskan tangisku pada riak ombak. Terus berjalan ke tengah, berharap ada yang menyeretku setelah ini.

 

Telingaku penuh dengan suara alam, entah mulai menuli atau Tuhan tutup lubang kupingku.
Samar-samar orang berteriak hebat, satu persatu berlari menuju bibir pantai. Ada yang sibuk mencari pasangannya, ada yang sibuk mencari papan selancarnya, juga ada yang sibuk menarik tanganku.

 

“Hei, kau itu bodoh ya?”

“Kenapa Bapak tahu saya bodoh?”

“Jelas, yang lain menyelamatkan diri, kau malah sibuk semakin ke tengah.”
“Oh, hanya begitu saja?”
“Kau bosan hidup?”

“Kenapa Bapak tahu saya bosan hidup?”

“Gila, kamu.”

 

Tuhan masih selamatkan aku.

Di sana di ujung pondok, lelaki tadi ada lagi. Aku tak kenal. Dan aku tak mau kenal.

Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak memulai lagi menumpahkan sayang untuk laki-laki.

 

Aku mulai paham, bahwa kali in bukan perkara ujian dari Tuhan, tapi perkara nasib yang harus aku jalankan.

 

Dan soal Bram.

Kucoba mengingat kembali setiap kenangan Bersama Bram. Ah, tolol sekali seorang Dru. Lemah jadi perempuan. Sedikit-sedikit bahagia, sedikit-sedikit senang. Padahal tak ubahnya seorang bocah, diberi balon satu saja luar biasa bahagia, ketika meletus dia akan menangis, diberi balon lagi pasti akan bahagia lagi.

 

Dan itulah Dru.

Senang lalu sedih lalu senang lalu sedih lagi.

“Dru, Dru tidak lelah kamu seperti itu?”

 

Sepertinya ada suara.

Di balik tangis yang terus aku kumpulkan ada suara yang aku kenal.

 

“Met…?”
“Lu ribet ya, liburan ga ngajak. Giliran kena musibah gue kena imbasnya.”

“Mana tahu bakal dapat musibah Met.”
“Kan aku sudah bilang, kalau ke Bali hanya untuk nangis ya tidak usah. Kenapa lagi, soal Bram lagi?”

“Bukan. Untuk apa aku menangis soal Bram. Enak banget jadi laki-laki ditangisi begitu.”
“Lantas soal apa?. Gila kali Dru, orang nangis terus tertawa lalu berlari ke tengah padahal ombak sedang ganas.”

“Sok tahu ya Metta. Memang kamu pasang CCTV di kepala aku?”

 

Metta mlengos.

“Aku yang cerita.”
“Kok, lancang. Apa hak kamu bercerita?”
“Ya, hanya cerita saja sih. Semoga dengan bercerita, temanmu lebih peduli sama kamu.”
“Kamu pikir kamu siapa?. Tahu apa soal peduli Metta untuk aku?”

“Maaf jika kamu marah. Tapi yang terjadi tadi sangat membahayakan. Apalagi saat dengar dari Metta, kamu sengaja untuk lakukan itu.”

“Sok tahu lagi. Aku memang suka main di tengah laut kok.”
“Tidak sedang ganas juga ombaknya Mba.”

 

Perawakan kurus tidak gemuk juga tidak, tinggi kurang lebih 180 cm dan rambut yang dibiarkan plontos. Lumayan ganteng kalau aku perhatikan.

 

Sibuk menyiapkan sajian untuk Metta. Aku jadi bertanya-tanya, dia siapa dan aku di mana.

 

“Met…ssst Met.”

“Apa Dru, kamu mau duduk?. Manja bener. Duduk aja sih, kan tidak lumpuh.”
“Ya Allah Met, kamu rusak scene ya.”

“Hahahaha, lagi lebay banget deh. Kamu tadi cuma keselek air sedikit. Kamu pingsan bukan karena tenggelam, tapi maagmu kambuh tuh. Berapa hari kamu tidak makan?. Kata Dokter ususmu luka. Heran aku, kenapa kamu tidak mati saja sih. Nyusahin terus jadi orang.”

“Ya Allah Met. Lurus begitu ya ocehannya. Kamu tidak khawatir sama aku?”
“Dih tidak penting harus peduli dan khawatir sama perempuan yang tidak bisa move on.”

 

Metta kalau bicara tidak punya rem.

 

“Kamu, siapa ya kamu,maaf aku lupa nama kamu.”
“Saya…Raja.”
“Iya Raja. Ini saya dimana ya?”
“Ini Villaku. “
“Sombong, ditanya dimana malah jawab Villaku.”
“Iya, kamu ada di Villa. Villa ini punya aku Mba.”

“Ya bilang saja. Di Villa. Selesai.”
“Terserah deh. Lama-lama kok kamu menyebalkan.”

 

Yes, aku berhasil bikin Raja sebal sama aku. Lagi sok perhatian banget.

Di teras kulihat Metta sedang bercengkrama dengan Raja. Ganjen. Baru kenal sudah berani bercanda seperti itu. Metta kadang-kadang suka umbar kecantikan dan pesona sesukanya.

 

Mereka berhenti bercerita. Sadar dari tadi aku perhatikan. Metta menepuk pundak Raja, lalu berjalan ke arahku.

 

“Sudah Met, tebar pesonanya?”
“Cie, cemburu.”
“Tidak penting Metta Kumala aku harus cemburu.”

“Terus kenapa sewot Dru Lavisae?”

 

Metta mengemas pakaiannya. Pasti dia akan pindah ke hotel lalu bawa aku pergi juga.

“Met, barangku masih di Hotel. Kita kesana dulu ya, baru habis itu ke tempatmu. Dimana kita menginap?”
“Di sini Dru. Aku tidak bisa lama-lama. Aku hanya pastikan kamu baik-baik saja. Dan aku percaya Raja bisa jaga kamu dengan baik. Tidak seperti Bram. Kamu mati saja dia tidak peduli.”
“Mulai deh Metta hina Bram.”

“Besok jadwalku untuk ke Ambon tidak bisa cancel Dru. Sorry ya. Pulang dari Ambon aku kesini lagi jemput kamu. Baik-baik ya sama Raja.”

 

Kenapa aku tiba-tiba tidak paham.

Bukan tipe Metta mudah percaya sama orang. Kenapa dia tega titipkan aku pada Raja, yang tidak kami kenal sebelumnya.

 

“Mba Dru, aku bikin teh jahe tadi. Mau aku siapkan?”
“Kamu semuda apa sih?. Dari tadi Mba Mbu Mba Mbu.”
“Kan biar sopan Mba Dru. Kalau keberatan aku panggil saja Dru ya?”

 

Raja menuju ke dapur. Berjalan dengan tegak sambil sesekali membalikkan badannya.

Badannya yang atletis, sedikit pun tak membuat aku terbelalak. Hanya kepalanya yang plontos memang menyempurnakan keseksian mata dan senyum Raja.

 

“Dru, aku boleh tanya tidak sih?”
“Boleh tapi tidak sambil berteriak dari ruang tamu ke dapur lah Raja.”

“Sehebat apa sih Bram, sampai kamu berani habiskan usia ketika Bram tidak ada di dekatmu?”
“Kamu mau tahu?”
“Makanya tanya.”

 

Kuperhatikan Raja.

Ada yang janggal. Berani sekali bertanya seperti itu seolah dia sudah dekat denganku dan seolah dia memang sudah banyak tahu tentang aku.

 

“Kamu, kenapa mau tahu?”
“Iya karena aku bingung. Untuk perempuan seperti kamu kalah sama laki-laki itu janggal.”

 

Loh, malah Raja yang janggal terhadapku.

Dipikir-pikir, betul yang disampaikan Raja. Sehebat apa Bram hingga mampu membuatku depresi.

 

“Dru, hello. Keberatan jawab?”
“Aku lelah sebetulnya Raja. Entah salahku dimana, rasanya setiap aku punya pasangan, seolah hanya aku yang membutuhkan. Aku selalu berusaha memperbaiki diri. Memahami setiap pasanganku, ujungnya selalu dicampakkan.”

“Menurutmu?”
“Iya menurutku. Bahkan sepertinya, aku hanya perempuan penghibur yang menemani mereka tertawa lantas setelah mereka bosan, aku dibuang begitu saja. Tak ada satupun lelaki yang mau berjalan bersama aku. Tak ada satupun lelaki yang ingin menua bersamaku.”
“Itu kan katamu Dru.”
“Iya, memang kataku. Aku merasa seperti pelacur. Disayang lalu dibuang. Bedanya kalau pelacur mungkin bisa kuat, kalau aku malah kabur. Aku tak sanggup.”

 

Raja hanya menatapku.

“Itu semua hanya perasaanmu Dru.”

“Kamu kan tidak tahu yang selama ini terjadi denganku. Mana kamu tahu?”

“Aku tahu, aku tahu semuanya. Kamu pikir dengan aku tiba-tiba ada di dekatmu dan memperhatikan setiap gerak-gerikmu, semua hanya kebetulan?”
“Tidak ada kebetulan di dunia ini ya Raja?”
“Betul. Metta yang memintaku. Aku ada di Bandara saat kamu landing. Metta yang pesankan hotel itu untuk kamu kan?. Aku supirmu saat kamu tiba.”
“Hah, bagaimana?. Kamu kenal Metta sebelumnya?”
“Iya, Metta yang memintaku mengawasi kamu. Dia khawatir sesuatu yang buruk terjadi padamu. Tapi Metta lupa, kalau di sini ada Bram. So, maaf kalau ceritanya tidak seperti yang Metta mau.”

 

Makin janggal. Ini ada apa sebetulnya?.

 

“Kamu, kalau tinggalkan aku. Bukan aku yang jahat tapi kamu Dru.”
 

Ada Bram. Di Villa Raja ada Bram. Ah persekongkolan macam apa ini?

 

“Aku tak pernah anggap kamu sebagai pelacur Dru. Aku tak pernah mau kamu dengan yang lain.”
“Drama apalagi sih Bram. Setelah kata-kata yang jelas kau sampaikan, pembelaan diri macam apa yang akan kau sampaikan?”

“Aku cinta sama kamu Dru. Kenapa kamu selalu salah paham untuk setiap kata yang aku sampaikan, kenapa harus selalu dengan cara menjauh dari aku sih Dru?”
“Terserah aku Bram. Sana kau pergi saja. Aku benci sama kamu.”

 

Raja tersenyum ke arahku. Dia tinggalkan kami berdua.
“Bram, aku tidak peduli hubungan kamu, Raja dan Metta. Aku Cuma mau pergi dari kamu. Aku tak pantas kau perjuangkan. Aku hanya pelacur yang berusaha kabur dari hingar bingar dunia percintaan.”

“Kabur ke mana?”
“Tak perlu tahu.”

“Ke hatiku mau?”
 

 

Dasar laki-laki.

Sudah membuat tangis. Bisa-bisanya mengadu nasib merayu kembali.

 

#Bandung, 5 September

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.