Kutukan Mbak Bea

Jalan hidup manusia siapa yang tahu? Itu adalah rahasia semesta, dan kita hanya bisa menjalaninya dengan patuh.

Kutukan Mbak Bea
Kriiiiiing…,” telepon di meja jati kecil di sudut ruangan berdering.
 
Aku tersentak kaget. Dengan heran kupandangi pesawat telepon berwarna biru itu. Benda dari jaman dinosaurus yang selama ini kukira sudah tak hidup lagi. Sejak aku mulai tinggal di rumah ini, sekitar dua bulan lalu, baru kali ini benda itu berbunyi. Kukira ia hanya tinggal pajangan saja.
 
Kriiiiiing…,” ia berbunyi lagi.
 
“Eeeh…, iya…, iya… sebentar!!!” aku berseru sambil bergegas ke si telepon.
 
Lupa bahwa tak ada perlunya meminta maaf pada benda mati seperti itu.
 
Saat tangan menyentuh gagang telepon, terasa debunya yang tak tipis. Aku tak heran pada keberadaan debu itu, tapi kukagum bahwa kakak, dan adikku yang sebelumnya tinggal di rumah ini, masih ‘memelihara’ telepon ini. Mungkin itu salah satu cara mereka menjaga kenangan akan orangtua kami ya?
 
“Ha—halo…,” gagap kumenyapa.
 
Tak ingat kapan terakhir kali aku menjawab telepon rumahan seperti ini. Lama aku tak berada di tanah air, dan bertahun-tahun lamanya aku sudah menjadi lebih akrab dengan telepon genggam. Harusnya sama saja ya, tapi rasanya ada tata tertib tertentu yang berbeda dalam menjawab telepon landline.
 
Dulu, ayah yang mengajariku tata krama menyahut telepon masuk. Ternyata, bila dipikir lagi, adab bertelepon genggam sedikit berbeda. Lebih bebas. Mungkin karena lebih personal. Hal yang baru kusadari saat mengangkat telepon di meja kecil ini. Dengan adanya pemikiran itu, aku pun jadi gagap menjawab.
 
“Selamat sore, bisa bicara dengan Kak Raya?” dari sebelah sana terdengar suara sopan bertanya.
 
“Raya sedang keluar. Apakah ada pesan?” aku menjawab sambil mata jelalatan mencari alat tulis.
 
Tiba-tiba aku sudah merasa berada dalam elemenku. Bahwa, apabila ada telepon masuk untuk yang sedang tidak ada di rumah, harus dicatatkan nama, pesan, dan nomor yang bisa dihubungi. Seperti ajaran ayahku dulu.
 
Oh, baik, ya, saya ada pesan,” datang jawaban dari sebelah sana.
 
“Eh, maaf, sebentar ya, saya ambil kertas buat mencatatnya,” kataku.
 
Bergegas aku ke meja tulis mahoni model art deco di seberang ruangan. Tempat satu-satunya di ruangan ini yang sudah sangat akrab denganku. Meja kerjaku selama lebih dari dua bulan aku tinggal di rumah peninggalan orangtua kami ini. Aku tahu apa saja yang ada di situ. Aku tahu di sana ada kertas dan alat tulis yang kubutuhkan untuk mencatat pesan telepon. Ke sanalah aku menuju.
 
Sambil berlari kecil, aku kembali ke telepon. Kalau tadi aku hanya berdiri, sekarang aku duduk di bangku ottoman merah beledu yang sudah kusam karena umur, yang ada di sebelah meja telepon kecil itu. Supaya enak ketika harus menulis pesan.
 
“Ya, silakan,” ujarku di telepon.
 
"Saya Wanarani, nomor ponsel saya 081x-xxxx-xxx. Saya dulu teman kuliah adiknya Kak Raya. Saya harap Kak Raya bisa bantu saya untuk menghubungi adiknya itu,” kata yang di sebelah sana dengan terlalu sopan.
 
Raya adalah kakak sulungku. Adiknya ada tiga. Aku salah satunya, pas dibawahnya. Kupandangi catatan itu. Ya, ada yang kurang. Dia tak menyebut nama adik si Raya yang dicarinya.
 
“Adiknya yang mana ya?” aku bertanya.
 
Maksudku sebenarnya adalah: adiknya yang namanya siapa.
 
Yang perempuan, mbak,” jawabnya.
 
Duh! Mataku melirik ke atas memandang langit-langit. Kusilangkan kaki kiriku ke atas kaki kanan. Ingin tertawa, tapi kutahan. Dengan jempol, kugerak-gerakkan pena di tanganku jadi seperti baling-baling. Ah ya, tapi mungkin dia tidak tahu kami empat bersaudara semua perempuan…
 
“Yang mana? Adiknya Raya perempuan semua,” kujelaskan.
 
Eh iya, maaf! Yang saya cari Lilin,” katanya cepat.
 
Baling-baling pena ditanganku berhenti. Sunyi di telepon. Kupandangi catatan pesan telepon. Kuamati nama penelepon yang tadi kutulis: Wanarani. Wanarani? Ah! Wanarani!
 
Halo? Halo?” dari seberang terdengar panggilan.
 
“Rani? Ini Rani?” kubertanya.
 
I—iya…,” yang di seberang menjawab ragu dan kaget.
 
“Woi!!! Lilin nih!!!” aku berseru keras nyaris berteriak.
 
Eeeh, Lilin!!! Ya ampun!!!
 
Ade ape?” Betawi-ku langsung keluar.
 
Inget si Anas? Anastasia? Dia mau ngawinin anak pertamanya tuh!
 
Singkat cerita, yang namanya Anas, teman seangkatan kami masa kuliah dulu, ingin mengumpulkan teman-teman seangkatan. Untuk sekalian reuni di perkawinan anaknya. Rupanya, ada kerinduan untuk mengulang keseruan semacam pernikahannya dulu.
 
Kami, hampir seluruh teman seangkatan, dulu ramai-ramai naik kapal Pelni dari Jakarta ke Padang.  Untuk menghadiri pernikahan Anas. Pulangnya juga. Kami semua di kelas ekonomi. Tidur di dek tanpa penyekat ruangan selama satu malam perjalanan. Persis seperti Jack Dawson yang diperankan oleh Leonardo diCaprio dalam film Titanic keluaran 1997. Nasibnya saja yang berbeda. Kami selamat pada setiap perjalanan kami.
 
Maklum, sebagian dari kami adalah sarjana baru yang masih belum stabil penghasilannya. Sebagian lagi malah masih berstatus mahasiswa tahun akhir, atau nyangkut tak lulus-lulus. Yang kami miliki adalah semangat kebersamaan. Sehingga, bagaimanapun gembelnya, kami lakoni. Bahkan sampai ke Padang sekalipun.
 
Panjang buntut ular, pendek buntut kodok; Rani bercerita bahwa Anas dengar aku sudah kembali ke Indonesia. Dan, dasar kuat kemauan, dia mencari cara bagaimana bisa menghubungi aku. Akhirnya, secara six degrees of separation, dia berhasil mendapatkan nomer telepon dinosaurus rumah kami ini. Melalui teman dari temannya yang temannya teman dari mertua kakaknya yang mantunya blahblahblah
 
Undangan buat lo ada di gue. Gue kirim pakai ojek online ya?” tanya Rani.
 
Nggak usahlah. Gue catet aja lokasi dan waktunya. Nanti kita ketemu di sana aja langsung, atau kalau mau nyampe bareng, kita tentukan aja titik ketemu,” kataku.
 
Penaku mencoret nama dan pesan yang tadinya kutulis untuk Raya. Kuganti dengan tulisan nama lokasi, hari, dan jam pesta pernikahan.
 
Janji pun kemudian dibuat. Beberapa hari kemudian, di satu Minggu pagi, sembilan orang dari kami teman seangkatan bekumpul di satu titik. Kemudian, tiga mobil beriringan menuju lokasi resepsi di daerah Halim, Jakarta Timur.
 
Pemilik mobil yang paling depan adalah yang katanya paling paham lokasi. Perjalanan mulus saja, dan lancar sampai tiba di lokasi.
 
Ramai suasana di lokasi resepsi. Untuk mengisi buku tamu, kami harus antre. Untung tak lama. Segera tiba giliran kami untuk mengisi buku tamu dan memasukkan amplop uang hadiah ke kotak dana.
 
Masing-masing kami mendapat souvenir berupa cangkir beling bertekstur garis-garis lengkung. Dengan tinta emas yang bertuliskan nama pengantin dan tanggal pernikahannya. Kantung kain tule yang tembus pandang berwarna merah, membungkus cantik cangkir tersebut.
 
Sambil jalan masuk menuju ke ruang utama resepsi, kami melihat-lihat foto-foto pre-wed. Aku tak kenal dengan si pengantin, jadinya tak bisa berkata apa-apa. Yang lain sepertinya juga tak tahu.
 
"Koq Dewi kelihatannya tirus banget ya?" gumam Rani.
 
Dewi adalah nama panggilan pengantin wanita. Anaknya Anas.
 
"Lo kenal sama pengantinnya, Ran?" aku bertanya.
 
Rani mengangguk sambil mengernyitkan alisnya. Matanya terpantek pada foto-foto pre-wed itu. Lalu, diamatinya gelas souvenir. Nama Dewi tercantum sebagai nama depan penganten perempuan. Dari gelas, Rani mengalihkan pandangannya ke arah pelaminan nun di kejauhan sana.
 
"Penasaran gue," Rani bergumam. "Sebentar ya, gue cek dulu. Kalian tunggu di sini aja," katanya.
 
Ia kemudian melesat ke arah pelaminan. Melewati antrean tamu yang mengular hendak bersalaman.
 
"Eh, ke mana si Rani?" tanya Wita, si penyetir mobil nomor satu.
 
"Mau ngecek, katanya," jawabku.
 
"Ngecek apa?"
 
Aku hanya mengangkat bahu
 
"Kita disuruh tunggu di sini. Ngomong-ngomong, kalian ada yang kenal dengan pengantinnya?" tanyaku.
 
Ternyata, semua seperti aku. Tidak ada yang kenal. Kalaupun ada, beberapa hanya ingat saat Dewi masih bayi sampai balita belaka. Yang masih berkontak cukup intensif dengan Anas memang hanya Rani. Aku? Aku paling duluan menghilang. Kapan si Dewi itu lahir saja aku tak tahu.
 
Rani kembali ke rombongan kami dengan bergegas. Mukanya terlihat panik.
 
"Keluar dulu yuk," katanya ke kami semua sambil menggaet tanganku
 
"Eh, ada apa?"
"Lho!?"
"Kenapa?"
 
Semua bertanya-tanya. Rani diam saja, jalan terus sampai kami semua tiba di dekat salah satu mobil rombongan kami di area parkir mobil.
 
"Kita salah tempat! Ini bukan tempat mantenan anaknya Anas!" jelas Rani.
 
"Apaaa!!!"
"Eeeeh..."
"Koq bisa!?"
 
"Masak sih!?" Wita yang tadi jadi penunjuk jalan, berseru dengan sedikit pucat.
 
Salah satu dari kami mengeluarkan undangan, yang lain membuka peta di ponsel. Jengjeng!!! Yak!!! Salah lokasi!!! Gedung pertemuan di daerah Halim ternyata lebih dari satu. Kami saling pandang-pandangan dengan panik, tapi kemudian tertawa terbahak-bahak.
 
“Waaah, amplop nggak bisa diminta lagi ya?”
"Tekor nih, mustinya kita makan dulu tadi".
"Yuk, makan dulu aja. Udah laper nih".
"Jangan ah! Pengen cepet-cepet ketemu Anas!"
"Lumayan tapinya kan, udah dapet gelas".
"Bisa untuk ngupi-ngupi cantik".
 
"Biarpun harganya mahal ya, mengingat isi amplop kita kan…," kataku.
 
Tawa kami lagi-lagi berderai keras. Tetamu yang melewati kami sampai memandang dengan heran.
 
"Waduh, gimana nih, pada bawa amplop cadangan nggak buat anaknya Anas?" Wita bertanya.
 
Tak satu pun ada yang membawa amplop cadangan. Untungnya, semua masih punya uang yang cukup untuk kado pengantin. Meski beberapa lembar uang sudah tak kinclong lagi.
 
“Kita pakai saja kantong tule bungkus gelas souvenir salah tempat ini”.
“Ah, iya! Ide bagus! Cantik kantongnya”.
“Tapi kelihatan donk uangnya”.
“Dibungkus terlebih dahulu dengan tisu, baru masukin ke kantong tule”.
“Wah, ide brilian!”
 
Masalah ketiadaan amplop pun berhasil kami pecahkan bersama.
 
Kami tertawa-tawa lagi. Saat membayangkan keheranan pengantin karena ada sembilan bungkusan aneh di kotak hadiah.
 
Perjalanan kami lanjutkan. Kali ini dengan panduan peta online di ponsel, kami tiba dengan selamat di tujuan yang benar. Musik Minang menyambut kedatangan kami.
 
"Nah, ini yang bener! Musiknya aja beda," kata Rani.
 
Iya juga, yang tadi gending Sunda.
 
Selesai segala ritual isi buku tamu, dengan menggenggam souvenir kipas kain beludru berbagai warna, bersulam benang emas khas Sumatra Barat, kami masuk ke dalam. Bergabung dengan antrean panjang, untuk mengucapkan selamat pada pengantin dan keluarganya.
 
Saat mengantre itu, pandanganku terpaku pada komposisi di pelaminan. Ada yang aneh tuh! Kucolek Rani.
 
"Ran, kenapa di bagian orangtua pengantin perempuan, ada dua pasang orangtua?" tanyaku.
 
"Sssttt...," Rani berisyarat agar aku tak keras berbicara.
 
Delapan pasang mata lainnya memandangku terkejut.
 
"Oh iya, Lilin nggak tahu ya. Kelamaan ngacir dari tanah air sih," kata salah satu teman.
 
"Anas cerai dengan Mas Wied, Lin," jelas Rani dengan suara pelan. Nggak enak didengar orang lain.
 
"Aaah, koq bisa!"
 
Kenanganku kembali ke masa kuliah. Anas adalah satu-satunya di antara kami yang sudah tunangan. Ia perantau dari kota Padang, tinggal di asrama kampus. Tunangannya, Mas Wied, keturunan Jawa yang lahir dan besar di kota Padang. Ayahnya dulu polisi, yang ditugaskan di ibukota propinsi Sumatra Barat itu, sejak sebelum Mas Wied lahir. Anas dan Mas Wied bertemu saat keduanya masih tinggal di Padang.
 
Bagiku, Anas dan Mas Wied adalah pasangan yang serasi. Pasangan idaman. Kami sering ikutan mampir ke kontrakan Mas Wied, yang berada tak jauh dari kampus kami. Mas Wied lima tahun lebih tua dari Anas. Dia sudah bekerja di Jakarta sejak dua atau tiga tahun sebelum Anas menyusul untuk kuliah.
 
Pendapatku, Mas Wied itu orang yang pendiam. Kalem. Sabar. Persis seperti Anas. Bedanya, Anas adalah sosok yang sangat terbuka, dan kadang bisa sangat lucu. Mas Wied sepertinya tidak. Kaku orangnya. Dia juga tak pernah menunjukkan minat untuk mengenal kami, teman-teman Anas, secara lebih jauh lagi. Atau, mungkin juga dia malas ya, mengingat kami adalah bocah-bocah kecil perempuan yang selalu berisik kalau sudah berkumpul.
 
Menghadiri pernikahan mereka di Padang adalah kenangan indah yang sangat terpatri di ingatanku. Sungguh aku tak tahu bahwa mereka ternyata bercerai.
 
"Apa sebab mereka bercerai, Ran?” kubertanya dengan berbisik.
 
“Pengkhianatan…,” Rani menggantung kata-katanya.
 
“…G30S/PKI?” kusambung secara asal.
 
Kami semua tertawa.
 
Gue nggak tau juga cerita yang sebenarnya, Anas nggak banyak bicara soal itu" Rani berbisik.
 
"Tapi, koq lo nggak kasih tau gue sih kalau mereka sudah cerai," protesku.
 
"Sori, nggak ada kesempatan aja," jawab Rani.
 
"Iya sih...". Aku paham.
 
"Sekarang, mereka masing-masing sudah menikah lagi. Makanya ada dua pasang orangtua untuk pengantin perempuan,"
 
Duh, tapi aku benar-benar syok. Terguncang. Sedikit mengambang rasanya berjalan ini. Bayanganku tentang Anas dan Mas Wied sebagai pasangan ideal yang terpatri selama puluhan tahun, baru saja hancur. Gamang saja rasanya.
 
"Anas, selamat yaaa," kataku ketika tiba giliran mengucapkan selamat.
 
"Aduh, Lilin! Senangnya!"
 
Kami berpelukan dengan erat. Duh, kangen!
 
"Eh, jangan kelamaan, macet nih!" protes Wita yang ada tepat di belakangku.
 
Anas dan aku tertawa sambil melepas pelukan kami.
 
"Lin, ketemuan ya minggu depan," Anas berkata sebelum aku beranjak menyelamati suami barunya.
 
"Apa kabar, Lin?" tanya sang suami baru.
 
Jeder! Rahang bawahku jatuh terbanting ke lantai. Ya Tuhaaaan!!! Cobaan apa lagi ini!!!
 
Jadi, saudara-saudara, sang suami baru Anas itu bukan orang asing bagiku. Aku kenal. Sangat kenal. Lebih dari kenal. Sudah seperti abangku sendiri dulu itu. Namanya Baroto. Kakak kelas kami di kampus. Mentorku di kegiatan kepecinta-alaman kampus.
 
Penting diketahui, Baroto satu jurusan dengan kami semua termasuk Anas. Tapi, lebih penting untuk diketahui, bahwa dulu dia bukan klik-nya Anas. Mereka mungkin saling kenal, karena jurusan kami tak besar. Tapi, mengobrol saja tak pernah. Aku dekat dengan Baroto karena kami punya bidang minat yang sama.
 
Tuhan Sang Maha Pencipta, sungguh hebat jalan hidup manusia yang Kau buat. Benar-benar hanya semesta yang tahu bahwa akhirnya Anas dan Baroto harus menjadi suami istri.
 
"Kaget lagi kan lo," kata Rani sambil tersenyum.
 
Kucubit pantatnya saking gemasnya. Rupanya, yang satu ini, tentang Baroto, sengaja tak disampaikannya padaku. Buat iseng saja.
 
Hari yang bukan main! Begitu banyak hal luar biasa yang terjadi, dimulai dari salah gedung. Pulangnya, kami bersembilan sempat kongkow sejenak. Melepas kangen. Sampai di rumah, tubuhku terasa sangat lelah, namun hatiku terasa hangat. Aku merasa seperti dirangkul kembali oleh teman-teman lamaku. Teman-teman yang dulu juga menjagaku dalam rangkulannya.
 
Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa keputusan untuk pulang kembali ke Indonesia betul-betul keputusan yang tepat. Keraguanku selama ini, pupus sudah. Luka hati yang kubawa, terasa berkurang. Kutelpon kakakku Raya untuk berbagi rasa sukacitaku. Berkat kakakku inilah aku sekarang berada kembali di tanah airku. Berkat Raya, aku berani mengambil keputusan untuk pulang.
 
Malamnya, untuk pertama kalinya juga, aku tidur dengan sangat nyaman. Benar-benar merasa sudah pulang. Aku melihat, kini aku sudah berada di jalan ke kesembuhan hatiku.
 
Seminggu kemudian, di hari Minggu juga, adalah waktuku untuk bertemu dengan Anas. Di sebuah mall di Jakarta Selatan—ampun ya Jakarta, mall-nya banyak sekali!
 
Kami bertemu di sebuah kafe yang kata Anas teh-nya enak-enak.
 
"Lilin!!!"
 
Kudengar namaku dipanggilku. Mataku mengarah ke panggilan tadi berasal. Kulihat Anas melambaikan tanggannya dengan semangat. Kusegera mendekatinya. Dengan rasa girang yang luar biasa, kami berpelukan.
 
"Apa kabar sih temen gue yang satu ini," katanya dengan gemas sambil mencubit-cubit pipiku pelan-pelan.
 
Aku tertawa.
 
"Masih peminum teh, kan? Di sini teh-nya enak-enak lho! Eh, sudah kubilang ya. Ingat kalau kamu peminum teh, maka kupilih tempat ini untuk kita bertemu".
 
Ah, Anas sekarang dan dulu ternyata sama saja. Selalu berpikir detil tentang temannya. Tak heran kalau dia berkeras mencariku untuk diundang ke acara mantuannya.
 
“Jadi, bagaimana cerita hidupmu selama menghilang dari permukaan bumi Nusantara?” Anas bertanya setelah aku selesai memesan teh-ku.
 
Berbagai cerita ringan kami pertukarkan. Guna melepas rasa rindu. Perlahan, aku mulai bercerita tentang apa yang terjadi padaku di nun belahan dunia sebelah sana.
 
"Demi cinta, aku meninggalkan Indonesia. Ikut dia pulang ke Nazareth di Belgia. Aku bahkan sampai melepas kewarganegaraan Indonesiaku. Itu semua demi cinta," kataku membuka cerita.
 
"Dua puluh tahun lebih menjadi istrinya, kami tak punya anak karena dia bilang dia tak mau punya anak".
 
"Sedemikian penurutnya aku padanya, sehingga aku rela membunuh keinginanku untuk menjadi seorang ibu. Sungguh bodoh..."
 
Anas menggenggam tanganku.
 
“Ya, kuingat dulu kau selalu bilang hendak punya anak minimal dua, lelaki dan perempuan, buat diajak naik gunung bersama,” kata Anas.
 
Aku mengangguk.
 
“Kau ingat ya, Nas. Jadi, kau bisa lihat betapa bodohnya aku, bukan?”
 
“Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau tak salah,” katanya.
 
Aku tersenyum. Genggamannya sungguh menenangkan hatiku. Aku menghela nafas panjang beberapa kali, sebelum melanjutkan cerita.
 
"Tiba-tiba, di satu hari, Jan, suamiku, berkata bahwa ia ingin cerai. Rasanya seperti dipecut oleh kawat berduri".
 
"Ketika kutanya alasannya, dengan tenang dia berkata, 'aku hendak membesarkan anakku dan Saskia di Brussels'".
 
"Anak! Dia yang berkata tak ingin punya anak, ternyata punya anak dari orang lain. Dan, tahukah kau, Anas, pada saat itu usia anak tersebut sudah enam tahun. Ya Tuhan, bodohnya aku! Selama itu aku tak tahu apa-apa, tak juga mencurigainya".
 
Genggaman Anas pada jemariku terasa makin menguat.
 
"Sungguh pintar dia mengelabuiku. Baru kusadari hari itu, bahwa aku tak tahu siapa dia sebenarnya. Dengan pilu kuberkata, ‘sungguh tega kau menghianatiku’. Tahu apa katanya!?”
 
"Lilin, tak ada niatku untuk menghianatimu. Kebetulan saja, pada hari sial itu aku bertemu Saskia di satu bar di Brussels. Sehabis pertemuan bisnisku dengan tim dari Belanda”.
 
“Sebagai informasi untukmu, Nas, Saskia itu adalah mantannya,” aku menjelaskan.
 
“Oh…,” bisik Anas.
 
“Jan bilang, ‘sepertinya, kami terlarut pada masa lalu. Ditambah alkohol, terjadilah semuanya...’".
 
Ya, selalu ada yang bisa dikambinghitamkan. Selalu ada yang bisa disalahkan, Alkohol yang tak bisa membela diri, memang empuk dijadikan sasaran.
 
"Sungguh! Kami melakukannya hanya sekali itu saja! Tak kusangka dia hamil," Jan berusaha meyakinkanku.
 
Ah, indahnya bersembunyi di balik kata-kata. Seolah-olah selama tujuh tahun itu dia hanya melakukannya saat itu saja. Sekali saja-nya itu adalah kunci pembuka ke berkali-kali. Dasar pembohong!
 
"Kasihan kalau harus digugurkan. Awalnya, aku hanya hendak menemaninya sampai ia melahirkan saja. Mendukung biaya melahirkan. Tapi...," Jan berusaha merasionalkan keputusannya.
 
"Tapi, ternyata tak terasa tujuh tahun berlalu ya," aku memotong.
 
Jan mengangguk.
 
"Kau mengerti, kan? Percayalah, aku pun lelah selama itu harus membohongimu. Karenanya, sekarang aku berterusterang mengungkapkan semuanya. Kau tahu? Keputusan ini aku ambil demi kebaikanmu”.
 
Demi kebaikanku!? Memangnya aku bisa percaya itu? Apa sih yang dia harapkan dariku?
 
"Please, jangan berpandangan buruk padaku. Aku benar-benar memikirkanmu. Kalau tidak, aku akan terus saja berbohong padamu. Mungkin itu lebih gampang. Seolah-olah hanya ada kita berdua saja. Aku sungguh-sungguh memikirkanmu. Ini semua demimu. Kuharap kau mengerti".
 
Bagiku, jelas bahwa ini semua semata hanya tentang dia. Kutak paham, kenapa dia masih saja terus berusaha menyelamatkan reputasinya di mataku. Apakah dia pikir hatiku buta?
 
"Aku akan pergi membawa sebagian dari barang-barangku sekarang. Sisanya akan aku ambil kemudian. Barang-barang yang kuambil dan kubawa, keperluan pribadiku saja. Rumah dan isinya, kau yang memutuskan".
 
"Terserah! Tapi, harap dicatat, beritahu aku terlebih dahulu kalau kau mau datang lagi. Supaya aku bisa pergi. Tak ingin aku melihat wajahmu lagi," kataku tegas.
 
Aku beranjak dari dudukku di meja makan. Menuju dapur. Tiba-tiba aku sangat menginginkan secangkir coklat panas.
 
"Tolonglah, jangan hindari aku. Aku kan bukan virus sumber penyakit," protesnya.
 
"Tolonglah, jangan minta apa-apa lagi dariku. Kau habiskan tujuh tahun dari hidupku dengan sia-sia, apa tak cukup?"
 
Ia menghela nafas. Wajahnya terlihat kecewa. Sambil menunggu air mendidih, aku mengeluarkan mug-mug kopi miliknya. Termasuk hadiah-hadiahku untuknya.
 
"Bawa ini semua. Aku tak mau melihat jejakmu ini".
 
“Mungkin kau tak percaya, tapi yang sebenarnya kucintai adalah kau,” Jan berkata pelan.
 
“Tak soal lagi, bukan? Pilihan sudah kau putuskan,” ujarku sambil menyeduh coklat di mug.
 
Kuangkat mug coklat itu, memegangnya dengan kedua tanganku. Hangatnya meresap di telapak tangnku yang menjadi dingin gara-gara emosi. Sebelum beranjak ke luar, aku mengutarakan kata-kata terakhirku.
 
"Jangan lupa untuk mengunci pintu saat kau pergi. Tak usah pamitan padaku lagi".
 
Aku hendak menenangkan diri di kebun apel di belakang rumah. Sambil duduk di bangku besi yang berada di tengah-tengah kebun, kuhirup coklat panasku pelan-pelan. Pandanganku menyapu ke sekeliling kebun.
 
“Kebun apel ini adalah idamanku sejak kecil,” kata Jan dulu.
 
Cita-cita Jan tak hanya sekedar memiliki kebun apelnya sendiri. Tapi juga ingin mempunyai tempat untuk mengolah apel menjadi selai dan berbagai kudapan berbahan apel lainnya. Olahan rumahan. Tiba-tiba, minatnya untuk mengurus kebun apel dan segala tetek-bengeknya menghilang. Kebun ini pun terabaikan dan merana.
 
Beberapa kali kubertanya, apa sebab ia kehilangan minat. Dia hanya mengangkat bahu. Kini, aku tahu kenapa. Apa sebabnya.
 
Kudengar saat Jan meninggalkan rumah. Setelah suara mobilnya menjauh, aku segera kembali masuk ke dalam rumah. Kuraih telepon genggamku. Tiba-tiba aku rindu pada kehangatan keluargaku di tanah air. Aku sangat ingin berbicara pada kakakku di Jakarta.
 
Kulihat jam, saat itu di Jakarta kira-kira pukul 21.00. Lebih baik sekarang aku menelpon mumpung kakak belum tidur.
 
"Raya, Lilin nih..."
 
"Hai adikku sayang, apa kabar!?" Raya yang selalu ceria terdengar senang menyapaku.
 
Mataku mulai terasa panas.
 
"Ray, tadi, barusan ini, Jan...," …dan semua pecah di titik itu.
 
Airmata yang tadi tak hadir, kini keluar bagai bendungan jebol. Semua kata tertumpah. Raya mendengarkanku sampai ceritaku selesai. Aku kenal kakakku ini. Dia tidak suka menghakimi orang bila tak perlu, apalagi adiknya sendiri.
 
Tapi, dulu Raya satu-satunya orang yang dengan terbuka menyampaikan ketaksukaannya akan rencanaku ikut suami ke Belgia.
 
"Kamu yakin mau sampai melepaskan ke-WNI-anmu? Nggak apa juga sih, asal jangan pernah menyesali semua keputusanmu ya," Raya dulu bilang begitu.
 
"Aduh, jangan negatif gitu donk," kataku yang mendadak cemas.
 
"Hanya mau mengingatkan. Karena, aku koq merasa nggak sreg dengan yang namanya Jan Frederik itu, ya".
 
Kuyakinkan Raya bahwa aku pasti akan baik-baik saja. Terus terang, hatiku menjadi sedikit ciut melihat Raya tak sepenuhnya mendukungku. Kenapa? Karena, dianggapnya aku terlalu buta. Bahwa ada kacamata kuda yang terpasang di sisi sebelah kedua mataku.
 
Namun, Raya menghargai keputusannku. Itu sebab ia tak melarangku sama sekali. Hanya disuruhnya aku sekali lagi memikirkan baik-baik keputusanku. Tapi, keputusanku sudah tetap, dan berangkatlah aku ikut suamiku ke negara asalnya di Eropa ini.
 
Kini, aku akan menerima saja apapun yang dikatakan Raya padaku. Dia boleh menghujatku. Bukan hanya karena ia kakak tertuaku, tapi karena apa yang dikhawatirkannya ternyata benar.
 
Kurasa, paling tidak dia akan bilang, "kubilang juga apa...". Seperti saat kami kecil dulu, ketika adik-adiknya yang tak mendengarkan nasihatnya mendapatkan tulah seperti yang dikhawatirkannya. Kakak tertua yang selalu bijaksana.
 
"Balik sajalah ke tanah air, Lin. Kutemani kau membenahi hatimu di sini," kata Raya setelah kelar aku mencurahkan nestapaku.
 
Eh, apa? Sungguh tak kuduga Raya akan berkata seperti itu. Kukira ia akan menasehati atau menyalahkanku. Atau, sejenisnya.
 
Ah, rupanya, aku terlalu memandang kecil kakakku yang besar hati ini. Tangisku meledak lagi. Kali ini, nyaris tak ada urusan dengan patah hatiku. Separuhnya karena rasa bersyukur bahwa aku punya Raya sebagai kakak, separuhnya lagi karena aku benar-benar merasa bahwa aku dicintai.
 
"Eeeh, koq mewek lagi!!! Ya gimana, soalnya aku kan repot kalo harus ke Nazareth buat nemenin kamu," Raya menyahut dengan kaget.
 
"Makasih ya, Ray, karena selalu ada untukku," kataku masih dengan isak.
 
"Ih, cengeng! Gue kan cuman jalanin karma hidup gue sebagai mpok lo aja hahaha... Lagi pula, rumah ayah-ibu perlu ada yang jaga nih. Bagus kalau kamu pulang. Daripada bayar orang, kamu ajalah yang jagain. Win-win solution hahaha…".
 
Lihat! Ternyata ada rumah di tanah air untuk aku pulang! Bahagianya!
 
Rumah almarhum orangtua kami di Bintaro ternyata akan segeta kehilangan penghuni terakhirnya. Adikku si bontot dan suaminya yang selama ini menempatinya, akan pindah ke Manado.
 
Diam-diam tanpa sepengetahuan Jan, aku mengatur kepulanganku ke tanah air. Karena statusku yang WNA, Raya akan menjadi sponsorku di Indonesia untuk mendapatkan visa menetap. Sehingga aku bisa menjadi permanent residence sebagai orang ‘asing’. Menurut peraturannya, kata Raya, setelah lima tahun aku bisa mendapatkan kembali ke-WNI-anku.
 
Rencana ini tak kusampaika pada Jan, tentunya. Karena, dia bukan lagi orang yang perlu kuberi tahu rencana hidupku.
 
Semula, aku bermaksud untuk menyisihkan barang-barang yang harus dia bawa, atau untuk aku buang karena aku tak mau melihatnya lagi. Tapi, berkat rencana bersama Raya, aku ubah strategi. Aku tentukan barang-barang yang tak boleh dia bawa. Umumnya buku-bukuku dan peralatan kekriyaan. Berbagai alat tenun dan tapestry, dan alat wet felting untuk memenuhi hobiku.
 
Jan masih dua kali datang mengambil barang-barangnya. Tiap kali dengan mendadak, tanpa pemberitahuan. Sungguh menjengkelkan! Di tiap kedatangannya, dia selalu mengingatkanku bahwa aku boleh memutuskan tentang rumah dan isinya, dan kebun apel yang terbengkalai itu. Aku boleh terus tinggal disitu, atau menjualnya. Meski yang terakhir tak diharapkannya.
 
"Pengacaraku akan atur urusan legalnya sesuai dengan keinginanmu," katanya.
 
Aku diam saja. Dia pikir, apakah dengan demikian dia membuat kebaikan untukku?
 
Setelah Jan selesai mengambil barang-barang di kloter terakhirnya, keesokan harinya kunci rumah dan pagar kuganti semua. Dan, aku pun mulai mengepak barang-barang untuk dikirim ke Indonesia. Sambil mengurus pengajuan visa tinggal sementara di Indonesia. Disokong oleh upaya Raya di tanah air. Dengan mengurus segala hal yang dibutuhkan di Deplu.
 
Sebab mengapa kunci rumah kuganti, karena Jan selalu datang tiba-tiba meski sudah kuminta untuk mengabariku sebelumnya. Aku tak mau dia menginterupsi proses kepindahanku, jadi dia tak boleh tahu bahwa aku tengah membereskan rumah untuk kutinggalkan.
 
Setelah visa-ku keluar, dan ada kepastian waktu untuk finalisasi perceraian, aku segera memesan tiket pesawat terbang satu kali perjalanan ke Jakarta. Barang-barangku pun segera kukirim semua ke Jakarta dengan kargo kapal laut.
 
Finalisasi perceraian berlangsung di kantor pengacaraku di Brussels. Hari itu, dengan sangat bersemangat, aku datang. Barangkali, ada percikan-percikan penuh semangat itu yang keluar dari diriku. Karena, kulihat pandangan kaget Jan padaku.
 
"Sekali lagi, mengenai rumah dan kebun apel, kau bebas menentukan. Lebih bagus kalau kau tetap tinggal di sana, menurutku".
 
Masih tetap mau mengatur hidupku ya?
 
"Akan kujual. Sudah kuserahkan pada Pak Vermuellen segala urusannya," kataku sambil menunjuk ke pengacaraku.
 
Pak Vermuellen tersenyum sambil mengangguk.
 
"Eh!?" Jan bereaksi heran.
 
Kelihatannya ia terkejut. Haha..., dipikirnya aku mau untuk tetap berada di rumah itu? Walau tak hendak pulang ke Indonesia pun, rasanya aku juga tak sudi untuk tetap tinggal di situ.
 
"Kunci-kunci semua sudah kuganti. Tapi, jangan khawatir, kalau kau masih ingin melihat dan mengambil barang-barang yang masih kau inginkan, hubungi saja Pak Vermuellen. Aku meninggalkan semua urusan termasuk kunci-kunci pada Pak Vermuellen," ujarku.
 
Dahi Jan berkernyit ketat. Seperti biasanya kalau dia mendapatkan situasi yang berada di luar kendalinya.
 
"Meninggalkan semua?" tanyanya.
 
Aku mengangguk.
 
"Kau mau ke mana? Pindah ke mana?"
 
Aku tersenyum sungsang. Malas menjawab.
 
"Masih tetap di Nazareth, atau ke Brussels?"
 
Uah, mungkin ada baiknya juga memberitahu. Entah apa baiknya sih.
 
"Pulang ke Indonesia".
 
"Apa!!!" Jan berteriak sambil berdiri dari kursinya.
 
Pengacaranya memegang lengannya dan menuruhnya untuk duduk kembali.
 
"Tidak bisa! Aku tak setuju!" Jan berseru.
 
"Siapa kau? Masih berani mengatur hidukku?" kataku sambil melambaikan berkas perceraian yang sudah tuntas.
 
"Kita sudah selesai, kan?" tanyaku ke Pak Vermuellen.
 
Lelaki tua dan bijak itu tersenyum sambil mengangguk, "ya, sudah".
 
Dan, aku pun pamit.
 
Aku sedang tergesa-gesa. Karena, masih harus mampir di KBRI. Selanjutnya, aku masih ingin sedikit belanja. Keponakan-keponakanku sangat menyukai coklat Belgia yang terkenal itu. Aku juga ingin membekali diriku dengan berbagai permen dan teh liquorice. Dan, tentunya, berbagai teh buah dan rempah yang hanya ada di Belgia. Hadiah perpisahan untukku, dari diriku sendiri.
 
"Tunggu! Lilin! Tolong, jangan sama sekali putuskan kontakku ke kamu! Bagaimana aku bisa menemuimu kalau kau pindah begitu jauh?" Jan bertanya sebelum aku keluar dari ruangan.
 
Aku berbalik, memandanginya dengan heran.
 
"Kau yang mengatur skenario sampai jadi seperti ini. Protes saja pada dirimu sendiri," kataku menahan emosi.
 
“Dan, lalu, Nas, aku pun beranjak keluar dengan anggun. Menuju ke kebebasanku yang baru. Dan, lihat, di sinilah aku sekarang, bersama dengan sahabat lamaku,” kataku sambil mengangkat cangkir teh rempahku.
 
Kusesap teh itu dengan nikmat.
 
"Ah, sudah agak dingin," gumamku sambil meletakkan cangkir.
 
Plok! Anas menepuk kedua pipiku.
 
"Betulkah ini kebebasanmu yang baru?" tanyanya.
 
"Tentu! Juga, kini, aku akan terus hangat. Tak lagi harus berhadapan dengan salju haha..."
 
"Tapi, kau masih terluka, kan?"
 
Aku menghela nafas dan mengangguk dengan tersenyum
 
"Masih. Karena, sepertinya aku masih mencintainya. Kadang timbul rasa rindu padanya. Tapi, sudah tak ingin lagi bertemu atau berhubungan dengannya".
 
"Menangislah kalau perlu," Anas berkata.
 
"Gue nggak suka nangis. Setelahnya, bukannya terasa lega, malah badan terasa remek semua," aku menjawab.
 
"Memang, sih. Nangis itu belum tentu selalu enak. Lalu, bagaimana kehidupan barumu di Jakarta?"
 
"Masih menyesuaikanlah. Baru hampir tiga bulan saja. Sambil melihat ke depannya bagaimana yang enak. Atur strategi dulu. Untuk sementara, aku jalanin hidup apa adanya saja".
 
Anas menepuk pipi kiriku dengan tangan kananya tiga kali. Kebiasaan lamanya.
 
“Sambil membenahi hatimu ya?” tanyanya.
 
"Eh, lalu, apa ceritamu, Nas? Info ringkas dari Rani, nggak jelas gitu. Disuruh tanya langsung padamu," aku bertanya
 
“Soal apa?”
 
“Perceraianmu dengan Mas Wied and all that jazz”.
 
“Hehe…, ya udah nggak cocok aja ternyata”.
 
“Sesederhana itu?” tanyaku.
 
“Sesederhana itu,” jawab Anas.
 
“Ya ampuuun…, padahal jaman kuliah dulu, kayaknya kompak banget!!!”
 
“Iya kan!? Ternyata akhirnya nggak. Baru ketahuan ketika anak sudah dua pula”.
 
“Eeehhh…, jangan-jangan kamu selingkuh ya sama si Baroto!?” aku menyelidiki.
 
Anas terbahak.
 
“Ya nggak lah! Aku dan Mas Wied pisah baik-baik. Setelah bercerai, baru aku merapat ke Mas Bar”.
 
“Baroto sendiri gimana? Selingkuh denganmu ya!” tuduhku.
 
“Idih! Waktu mulai PDKT, Mas Bar juga sudah duda. Istrinya kena kanker usus besar yang terlambat terdeksi”.
 
“Astaga!” aku menangkupkan kedua tanganku ke dada, kaget mendengar kabar tak menyenangkan itu.
 
“Begitu ketahuan, ternyata sudah stadium akhir. Dokter kasih ancar-ancar rentang waktu hidupnya, antara enam dan duabelas bulan. Masuk bulan ketiga, istrinya sudah nggak kuat…,” Anas mengakhiri ceritanya dengan suara yang hampir hilang ditelan haru.
 
Hening melingkup kami. Tangan-tangan kami saling menggenggam erat. Aku berusaha untuk menyalurkan enerji positifku ke Anas. Anas menghela nafas.
 
“Lalu, gimana ceritanya perjumpaan kalian?” tanyaku, mengharap ada keceriaan yang ingin kudengar dibalik kisah kasih mereka.
 
“Meski tak pernah bertegur sapa di masa kuliah dulu, bukan berarti kami tak saling tahu. Kemudian, ternyata kantor kami satu gedung. Sering berpapasan di lobi, saling lihat di kantin gedung, bersama dalam satu lift. Biasanya bertukar senyum saja”.
 
“Haha lucu juga ya kalau dipikir-pikir. Namanya nasib. Dulu nggak pun halo-haloan di kampus. Ternyata masa depan kalian sudah tergariskan begini. Namanya hidup, siapa yang tahu ya!” aku berkomentar.
 
“Begitu deh…”
 
“Terus?”
 
“Apanya?”
 
“Terus gimana? Dari halo-haloan lalu bisa jadi suami-istri kan ada ceritanya donk…,” kuguncang-guncang tangan Anas dengan gemas.
 
Sengaja nih dia mau bikin aku tegang…
 
“Lin, kita di sini kan untuk membicarakan persoalan hatimu. Bukan tentang aku,” Anas ngawur memperingatkan.
 
“Enak aja!!! Siapa bilang!? Ayo, cerita!!!” protesku
 
“Hahaha, baiklah…,” Anas tertawa.
 
Diseruputnya teh-nya sebelum melanjutkan ceritanya.
 
“Satu hari, saat bertemu di lift, hanya kami berdua saja, di tiba-tiba dia menegur, ‘Kamu seangkatan kan ya sama Lilin?’ Kujawab ‘Ya’. Sudah. Begitu saja. Kami berdua diam sampai di lantai tujuan kami masing-masing. Tapi, hari-hari berikutnya, jadi sering ngobrol”.
 
“Eh, nama gue dibawa-bawa…”
 
“Haha iya. Setelah kami menikah, Mas Bar cerita, bahwa itu satu-satunya taktik yang bisa dipakai buat ajak ngobrol gue”.
 
“Tapi,” lanjut Anas, “di lift itu setelah menyebut nama lo, terus dia bingung sendiri mau ngobrol apa lagi”.
 
Kami berdua tertawa.
 
“Saat itu dia sudah tahu bahwa aku janda cerai. Dia juga sudah duda. Karenanya, dia memberanikan diri untuk bersapa. Setelah itu, aku semakin sering aja melihat dia. Heran juga koq banyak kebetulannya, mana kutahu kalau dia sudah jadi stalker haha…”.
 
“Hahaha, dasar Baroto…,” aku berkomentar, membayangkannya stalking Anna.
 
“Lama-lama, ya gitu deh, here we are…,” Anas menutup ceritanya.
 
“Apa sih maksudnya ‘ya gitu deh’ itu?” tanyaku penasaran.
 
“Hehe, dia mulai duduk semeja denganku saat di kantin. Makin sering jumpa di lift. Tahu-tahu kami sering keluar kantor barengan, jadi pulang bareng. Tepatnya, diantar karena kebetulan—bener-bener kebetulan, rumah kami searah. Setahun kemudian, Mas Bar melamar aku hahaha…”.
 
“Caranya melamar gimana?” tanyaku penasaran.
 
“Dia bilang, ‘Nas, kita udah sangat dekat selama setahun belakangan ini. Seharusnya, aku mengajak kamu pacaran. Tapi, aku ajak kamu menikah saja langsung, boleh ya’ katanya”.
 
“Hah!? Sangat tak romantis! Sangat Baroto,” kataku sambil terbahak
 
“Iya kan? Dikatakannya di mobil pula, dalam salah satu perjalanan pulang kantor bersama. Sekian kisah hidup gue,” Anas berkata.
 
Aku mengendus.
 
“Ah, kurang seru ceritanya! Nggak ada tragis-tragisnya!!!” protesku.
 
“Hahaha…, maaf deh!!! Tapi, asal kau tahu saja, sebenarnya, aku kena tulah, Lin!” kata Anas ditengah derai tawanya.
 
“Eh!? Maksudnya?”
 
“Gara-gara pernah menggoda seniorku di kantor, yang pernikahannya adalah pernikahan kedua. Ah, nggak menarik sih ceritanya, jadi nggak usah cerita ya”.
 
Nggak bisa! Ayo cerita!” paksaku.
 
“Sungguh, Lin, nggak ada yang menarik dari cerita itu. Nggak ada seru-serunya hahaha…, kau sendiri tadi bilang nggak seru kan,” Anas berkelit.
 
Tapi, aku tetap memaksa. Aaah…, menyesal juga tadi aku bilang kisah pertemuannya dengan Baroto kurang seru.
 
“Maksudku tadi kan hanya bercanda, Nas”.
 
Akhirnya, Anas bersedia bercerita. Dengan mewanti-wantikan bahwa ceritanya terlalu biasa, malahan cenderung konyol. Harap penonton tak kecewa.
 
“Aku belum pernah cerita ke temen-temen kita. Nggak usah cerita-cerita ya, sebab konyol banget. Kamu orang kedua yang kuceritakan nih…,” kata Anas.
 
“Orang pertamanya siapa?” selidikku ingin tahu.
 
“Mas Bar”.
 
Serempak tanpa dikomando, kami tertawa bersama. Entah kenapa. Entah apa yang lucu. Lucu saja rasanya.
 
“Senior kantor yang aku sebut tadi, Mbak Bea namanya, anaknya tiga orang. Satu bawaan dia, satu bawaan suaminya, satu lagi anak mereka bersama. Hasil merger,” Anas mulai bercerita.
 
“Satu hari, aku baca cerita humor, yang lalu kuceritakan pada Mbak Bea untuk lucu-lucuan. ’Mbak Bea, denger nih,’ kataku padanya. ‘Ada seorang istri yang menelepon suaminya. Katanya, pak, anakku dan anakmu mengeroyok anak kita’”.
 
“Mbak Bea tertawa ngakag bersamaku. Lalu katanya, ‘awas lho, nanti kamu ketulah, kalau kejadian sama kamu, gimana!’ kata Mbak Bea bercanda dan masih sambil tertawa. Aku nyengir saja”.
 
“Saat itu aku menikah belum setahun. Masih mesra-mesranya. Kupikir, nggak mungkinlah aku akan berakhir seperti Mbak Bea. Yakin sekali aku cinta banget ke Mas Wied, dan Mas Wied ke aku”.
 
Anas menghela nafas. Tangannya memegang kedua pipinya, kepala sedikit di telengkan ke kiri. Ia lalu tersenyum lucu.
 
“Dan, ternyata kejadian…,” ujarku.
 
“Ya, dan ternyata kejadian…”
 
“Apa kata Mbak Bea ketika kamu berakhir seperti dia?”
 
“Mbak Bea nggak tau soal itu. Dia keburu mengundurkan diri dari kantor karena suaminya yang tentara dipindah-dinaskan entah ke mana. Belum masanya ponsel, dan kami pun putus kontak”.
 
Anas menutup ceritanya dengan menyeruput teh panasnya yang sudah tak panas lagi, secara dramatis. Kelingking tangan yang memegang cangkir, dilentik-lentikannya dengan sama dramatisnya.
 
“Waduh, kamu kena kutukan Mbak Bea!” seruku.
 
“Nampaknya demikian hahaha… Aku bawa anak dua, Mas Bar satu, lalu ada anak merger. Situasinya mirip ya dengan Mbak Bea, meski jumlah anaknya beda,” dan Anas pun terbahak.
 
Kemudian, Anas berubah menjadi sangat serius. Katanya…
 
“Tapi, Lin, nggak usah cerita-cerita ya ke siapa-siapa. Baik soal pertemuanku dengan Mas Bar, maupun soal Mbak Bea.”
 
Gimana juga, ada Mas Wied yang perasaannya harus kujaga. Ada anak-anak kami berdua. Saat bercerai, kami tak punya masalah apa-apa. Kumau selamanya begitu. Itu sebab aku nggak banyak cerita ke teman-teman kita,” Anas memohon.
 
“Oh, baik, Nas. Makasih ya, udah mau berbagi denganku”.
 
Kami lalu menghabiskan sore sampai malam bersama di mall itu. Jalan-jalan cuci mata, makan malam, lalu nge-teh lagi. Sampai kembung.
 
“Kita harus sering-sering nge-teh bareng ya, Lin!” kata Anas di penghujung malam.
 
Aku mengangguk dengan semangat. Kami bercipika-cipiki, lalu berpisah.
 
Sesampaiku di rumah, seperti Minggu lalu, aku merasakan enerji yang dahsyat mengalir dan memenuhi jiwa dan ragaku. Aku merasa semakin yakin, betapa tepatnya keputusanku untuk pulang ke tanah air. Di sini, ada rumahku yang bukan hanya sekedar house, tapi sebuah home. Ada Raya kakakku, ada saudara-saudara sekandungku lainnya. Ada Anas dan teman-teman lainnya.
 
Mereka adalah penopangku. Mereka yang akan selalu menjagaku dalam rengkuhan dan rangkulan. Aku sudah tak lagi berada di jalan ke kebebasannku, tapi aku sungguh sudah berada dalam kebebasanku. Luka hatiku terasa makin mengecil. Kuyakin, sebentar lagi pasti akan sembuh.
 
Terima kasih! Sungguh kubersyukur padamu, wahai semesta...   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.