Rindu tak bertepi

Rindu tak bertepi
Rindu tak bertepi

Rindu tak bertepi

"Ada rasa rindu, rindu yang tak bertepi." Sepotong lagu yang sangat mendalam maknanya. Mendengar lagu yang dinyanyikan alamku melayang 27 tahun lalu. Tersungging senyum kecil mengenang masa disaat hati bermekaran cinta.

Aku terpaku. Entah perasaan apa yang ada di hatiku sesaat setelah membaca surat. Bagaimana tidak seorang yang sedang merintis dalam kehidupan khusus menyatakan mau menjalin hubungan khusus denganku.
Pertemanan yang telah berjalan lima tahun. Meskipun hanya melalui surat ternyata masuk ke dalam Sukma. Karena aku sungguh memandangnya sebagai sosok yang bisa saling berbagi cerita. Maka selama ini aku selalu menceritakan segala pergumulanku termasuk hubunganku dengan seorang pacar. Namun saat ini dia mau jadi pacar aku. Ya seperti pepatah Jawa yang mengatakan, "tresna jalaran saka Julina" 

"Kapan libur?" sepenggal kalimat yang diungkapkan dalam sebuah suratnya. Yah. Sebentar lagi kenaikan kelas akan tiba. Artinya aku punya waktu libur. Meskipun sebagai seorang guru, aku tetap punya tugas di sekolah. Melintas dalam angganku wajah yang kurindukan. Meskipun surat datang secara rutin, namun bertemu secara langsung adalah sebuah kerinduan.

"Kita mau jalan kemana Nora?" Tanyanya.
"Aku ikut saja kak Yudi." Jawabku singkat. Akhirnya kami memutuskan ke Kebon Binatang Ragunan. Sebenarnya tempat itu sudah kerap aku kunjungi sejak ku kecil. Sesampai di gerbang kami memutuskan untuk segera masuk. Mengingat hari itu adalah hari Minggu. Pasti banyak pengunjung yang akan datang. Berjalan seiringan kami langsung menuju taman. Dengan saling berbagi cerita berjalan menelusuri taman. Tiba tiba tanganku di tarik dan di ajak bersembunyi di balik semak. Aku kaget dan tak mengerti.
"Kenapa kita mesti sembunyi?" Tanyaku.
Yudi memberikan isyarat dengan menutup mulutnya dengan jarinya. Dengan sesekali melihat di balik semak.
Aku diam penuh tanda tanya. Namun aku juga tetap diam. Setelah di rasa aman.
"Yuk kita duduk di sini saja Nora"
Aku mengikuti tempat yang ditunjuknya. Setelah duduk tenang aku bertanya. "Kenapa tadi kita harus sembunyi?"
"Tadi itu ada orang yang mengenalku. Bisa bahaya kalo tahu aku jalan-jalan ke sini."
Aku mengangguk tanda mengerti. Ya memang di asrama Yudi tinggal sangat ketat. Sehingga tidak bisa sembarangan pergi apalagi ke tempat wisata. 
"Kita pacaran kok kaya main kucing kucingan."
Namun selanjutnya kami ketawa bersama menyadari akan kenakalan kami.
Banyak hal yang kami ceritakan. Tak terbatasi lagi dengan lembaran kertas seperti biasanya. Waktu seolah berjalan sangat cepat. Tanpa kami sadari hari sudah menjelaskan sore.

"Kak Yudi.. bagaimana menurutmu kalo aku pindah kerja ke Jakarta?" Tanyaku dalam sebuah surat. Jawaban yang diberikan mendukung dan akhirnya aku mencoba untuk mencari informasi peluang pekerjaan di kota metropolitan. Dan akhirnya aku mendapatkan pekerjaan yang baru. Semakin jauh jarak antara kami. Itu yang membuat kami tidak bisa lebih sering bertemu seperti dahulu. Meskipun demikian surat tetap berjalan lancar tak ada perubahan. Jatuh dan bangun dalam proses pengenalan. Pacaran jarak jauh menjadikan kadang kami memutuskan untuk berpisah. Namun tak lama akan bersatu kembali. Meskipun banyak peluang buatku untuk mengenal pria lain namun hatiku tak bisa berpaling. 

Ketika aku sedang istirahat sepulang kerja. Tiba-tiba pintu kamar diketuk oleh seorang teman. 
"Mba Nora ada tamu di depan."
"Siapa Cik?"
"Ndak tahu mba. Baru pernah kesini. Orangnya tinggi besar."
"Makasih ya Cik."
"Siapa ya?" Ungkapku dalam hati. Segera aku merapikan diri dan menuju ke ruang tamu.
"Kak Yudi?" Kaget aku melihat orang yang ku cinta duduk di ruang tamu.
"Kaget ya?" Rasanya aku seperti bermimpi melihat kehadirannya.
"Kok kak Yudi tahu dimana aku kos aku?"
"Tahu dong. Kan aku pernah nanya alamatnya. Ya udah aku cari saja dari alamat itu." Jawabnya.
"Dalam rangka apa ke Jakarta? Kok tidak kasih kabar. Bahkan aku baru mau balas surat yang kuterima tadi siang."
"Kalo kasih kabar namanya bukan kejutan." Sambil tertawa dan mengacak rambutku.
Ku pandang dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Kenapa aneh?" 
"Masih belum percaya aja kak Yudi bukan yang datang."
"Masih belum percayakan aku yang datang?" Sambil dipeluknya aku dengan erat.
"Kok, belum di jawab pertanyaanku tadi?"
"Kebetulan aku ada praktek sosial selama 3 Minggu. Maka kuambil keputusan di Jakarta. Supaya aku bisa ketemu kamu juga."
"Terimakasih kak Yudi. Aku juga sudah kangen. Sudah setahun lebih kita tidak berjumpa ya? Soalnya sekarang jarak kita semakin jauh. Tidak seperti dulu cukup 4 jam perjalanan."
"Maka itu selagi ada kesempatan, aku ke Jakarta saja. Supaya sambil praktek sosial juga kita bisa bertemu."
"Jadi sementara ini tinggal dimana?"
"Sementara ini aku tinggal di Depok. Tetapi anak anak binaan tersebar di beberapa tempat."
"Baik aku tak bisa lama, besok kalo ada kesempatan aku datang lagi"
" Ok kak Yudi. Hati hati di jalan ya."
Rasa hatiku begitu berbunga. Bagaimana tidak dengan berbagai cara membuat kami bisa saling bertemu.

"Kak. Bagaimana kelanjutan dari hubungan kita ini."
"Maksudnya?"
"Sampai kapan kita akan begini terus. Apakah tidak ada langkah selanjutnya."
"Studiku belum selesai. Dan aku sendiri belum berani memutuskan apa apa."
"Iya, aku memahami hal itu. Namun usiaku juga sudah lebih dari cukup."
Tak ada jawaban apapun, ia hanya memelukku. Aku merasakan debaran jantungnya yang terdengar kuat.
Dan akhirnya,
"Akupun menginginkannya, hanya saat ini aku belum bisa."
"Sekiranya sampai kapan Kak?"
"Itupun belum bisa kujawab sekarang."
Ketidakpastian terbentang luas di depanku. Aku sendiri tidak bisa menentukan arah hidupnya. Beberapa waktu aku begitu galau.

Akhirnya aku mempunyai tekad buat hidupku. Aku mau tahun ini harus bisa mempunyai rumah sendiri. Sejak saat itu focus dalam hidupku bagaimana cara aku dapat memiliki rumah.
Mulai kucari rumah. Bila libur aku  berjalan jalan untuk survey lokasi. Puji Tuhan sebelum akhir tahun kunci rumah sudah ada di tanganku. Dan sampai saat inipun aku belum mendapat jawaban kepastian dari mas Yudi. Akhirnya aku mempunyai keinginan untuk mendapatkan jawaban dalam doaku.

Waktu berjalan, hingga saat akhirnya akupun harus berpikir. Akan kemanakah aku melangkah. Tahun ini usiaku sudah menginjak angka 28 tahun. Kalo di kampung sudah pasti dapat julukan perawan tua. Untung aku hidup di kota dan hanya sesekali pulang ke kampung. Memang ibu sendiri tidak pernah bertanya akan pacar dan apalagi sebuah pernikahan. Hanya orang lain yang bertanya dan itu hanya kujawab dengan seulas senyum.


"Tuhan, malam ini aku datang ke hadapanMu. Terimakasih atas segala berkat dan perlindunganMu sepanjang tahun ini. Banyak liku dan badai yang kualami, namun Engkau senantiasa membimbingku. Sehingga aku diberkati. 
Terimakasih tahun ini Engkau sudah memberi aku hadiah rumah. Namun Tuhan dengan siapa aku akan tinggal di sana. Tuhan, Engkau mengetahui siapa yang kucintai dan siapa yang mencintaiku. Namun sampai saat ini belum ada jalan bagi kami. Jikalau Engkau menghendaki kami bersatu. Tunjukkanlah jalan bagi kami. Apabila Engkau menghendaki aku bersama yang lain berikanlah tanda bagiku. Namun jika Engkau menghendaki aku hidup selibat. Akupun sudah siap.
Kuserahkan segala kehidupanku di hari ini dan di masa yang datang ya Tuhan."
Itu adalah dia yang kudaraskan dimalam Natal.

Beberapa hari kemudian. Entah ada seorang yang mengenalkan seorang pria padaku. Ya, kubiarkan mengalir seperti air.
Dan akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang yang serius. Meskipun aku mengakui belum ada yang namanya cinta si hatiku. Bukan karena aku ingin menikah. Tetapi lebih dari itu. Seandainya aku tidak menikah maka kak Yudi selalu hidup dalam persimpangan. Antara aku dan panggilan hidupnya. Akupun ingin agar ia mantap menapaki jalan yang telah dipilihnya.

"Selamat malam kak Yudi."
"Selamat malam Nora. Apa kabar. Aku sudah merindukanmu." Jawaban terdengar melalui ganggang telepon.
Sesaat aku terdiam.
"Nora... Nora.. mengapa kamu diam? Tidak rindukan kau pada kakak?"
"Kak. Aku mau meminta maaf dan restu darimu."
"Ada apa Nora?"
"Aku mohon maaf karena sampai hari ini belum ada kepastian dari kakak. Maka aku memutuskan untuk menerima pinangan dari orang lain. Dan hari besok akan diadakan acara lamaran."
"Apa.. tidak bisa Nora. Kita harus bicara dulu. Tidak boleh kamu ambil keputusan sendiri.'
"Bagaimana kak? Calon dan keluarga semua sudah hadir di rumah dan besok  acara dilangsungkan?"
"Praak" suara telepon dibanting.
Aku hanya terpaku di depan telepon. Dan kemudian lari ke dalam kamar.
Aku menjadi ragu akan keputusan yang aku ambil. Sakit rasa hati ini. Aku masih sayang kak Yudi. Namun aku tak bisa berbuat banyak. Kesedihan yang kurasakan membuatku tidak bisa tidur di malam itu.
Acara lamaran berlangsung, meskipun jiwaku entah melayang kemana.

Setelah hari itu, setiap surat yang dikirimkan tidak ada satupun yang dibalas. Dan aku menelepon tidak mau menerima juga. Perasaan bersalahku semakin dalam. Namun kehidupan di depanku tetap kujalani. 
Hingga sampai hari pernikahan, dan juga kehidupan selanjutnya.
Di saat ada kesempatan aku mencari informasi tentang kak Yudi. Hanya keinginan untuk meminta maaf atas segala keputusanku. Aku tahu itu sangat melukai hatinya. Meskipun tidak pernah dibalas beberapa kali kulayangkan surat permohonan maaf.

Menjelang tahun ke empat pernikahanku. Suatu sore berdering sebuah telepon masuk tanpa nama.
"Halo selamat siang"
"Selamat siang" serasa tak percaya aku mendengar suara itu.
Akhirnya kami bertemu. Dan aku ungkapkan permohonan maaf atas keputusan yang membuatnya sakit. Entah ada maaf secara tulus darinya atau tidak. Tetapi aku merasa sedikit lega dari beban yang selama ini aku rasakan.

Kak Yudi semoga selalu setia dalam jalan yang telah kau pilih.

#LombaMenulis
#HambaAllah
#TheWriters

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.