Titik Balik

Jalanan terasa lengang saat motor bututku melaju di tengah gerimis yang belakangan senang sekali turun. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, ah tapi cuaca selalu seperti ini menjelang tahun baru Imlek. Kulirik penanda bensin yang sudah berkedip sejak awal berangkat dari pool, harus kuisi malam ini juga kalau tak mau mogok lagi seperti malam lalu.
Tok tok tok kuketuk pintu rumah sambil mendorongnya, dan ternyata benar saja pintu dalam keadaan tak terkunci lagi. Pasti Alika deh yang kelupaan, kebiasaan itu anak, gerutuku dalam hati.
“Piye sih iki, lawang ora dikunci? Nek ono sing mlebu piye?,”1 omelku sambil mengunci pintu.
“Ya ma,” suara lembut Aileen menyahut sambil berjalan keluar kamar. Tangannya otomatis mau mengambil tasku untuk digantung di balik pintu kamar, tapi kutepis-tepis supaya dia menjauh dariku.
Sudah hampir satu tahun pandemi ini berlangsung, tetap saja terkadang lupa kalau habis berkegiatan dari luar rumah tak boleh kontak langsung dengan orang rumah sebelum bebersih badan dulu.
“Aileen, tolong panasin makanan ya, laper banget nih perut mama,” pintaku sambil menutup pintu kamar mandi.
-----
Di meja makan, kusendok nasi hangat, fuyunghai yang tinggal separuh dan ayam kuluyuk yang masih sepiring penuh. Nikmat sekali makan malam ini, puji syukur.
“Dari mamih ya?,” tanyaku sebelum suapan pertama masuk mulutku. Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu lagi kutanyakan karena sudah tau jawabannya.
“He eh,” jawab Aileen sambil ikutan menyendok nasi.
“Malam Tahun Baru ini kita makan enak juga ternyata,” cetus Aileen sambil menyuap nasi ke mulutnya.
-----
Sambil selonjoran di atas tikar, aku menghitung dan mencatat pendapatanku malam ini, empat puluh sembilan ribu lima ratus rupiah, tekor karena tadi harus isi bensin mobil. Puji Tuhan masih dapat tips dari penumpang-penumpang langganan.
Sudah hampir dua tahun ini aku banting setir dalam arti yang sebenarnya, dari tukang masak menjadi sopir taksi.
Kalau saja masih ada jalan lain, di mana aku tidak perlu meninggalkan anak-anakku selama lebih dari 12 jam per hari, pastilah sudah kujalani.
-----
Sejak pengkhianatan suamiku tiga tahun lalu, kehidupan kami bertiga seperti terombang ambing. Sejak sebelum kami menikah, suamiku bekerja di Jepang sebagai tenaga kerja ilegal , hanya pulang tiga kali dalam kurun waktu delapan belas tahun, seumur pernikahan kami. Putri bungsuku Aileen baru pertama kali melihat papanya secara nyata waktu suamiku pulang dari Jepang untuk yang terakhir kalinya tiga tahun lalu. Waktu itu ia berusia sepuluh tahun.
Tiga bulan sebelum kepulangannya ke tanah air, aku mendapat telepon dari kepolisian Jepang yang mengabarkan bahwa suamiku tertangkap oleh imigrasi karena pelanggaran izin tinggal. Proses sidang deportasi akan berlangsung dan informasi kepulangan akan diberitahukan kemudian, katanya. Disampaikan juga kondisi suamiku yang sehat dan dalam tahanan imigrasi di Osaka.
Panik dan histeris aku menelpon taciku2 Ci Ki, dan berusaha untuk menceritakan semua yang kudengar barusan di tengah isak tangis. Ci Ki berusaha menenangkanku; memintaku untuk menarik nafas, minum seteguk, lalu cuci muka sambil meyakinkanku bahwa dia akan menungguku melakukan semua itu di ujung telepon. Setelah lebih tenang, kucoba lagi untuk menjelaskan berita tadi dari awal. Dengan cepat Ci Ki memutuskan untuk menjemput anak-anak sepulang sekolah, sementara aku diminta untuk menenangkan diri di rumah. Alih-alih menenangkan diri, sepanjang waktu itu pula aku bolak balik menelepon ke hapenya karena tak tahu lagi apa yang harus kulakukan di rumah.
Begitu anak-anak sampai di rumah, Ci Ki meminta Alika dan Aileen untuk bilas, ganti pakaian dan beristirahat. Setelah anak-anak masuk ke kamar, Ci Ki memberi isyarat untuk ngobrol di mobil.
Di mobil, Ci Ki langsung menelepon adik kami Aang dan mencoba cari cara untuk tahu tentang kondisi suamiku yang sebenarnya.
“Ang, coba kamu tanya ke Engku3 siapa tau punya kenalan di imigrasi Jepang. Cici coba tanya ke abang juga. Secepatnya ya kita berkabar, aku masih nunggu di mobil sama Ci Amoy.”
Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku tanpa tahu jawabannya. Apakah benar suamiku ditangkap, dipenjara dan akan dideportasi? Apakah aku harus mengabari mertua dan keluarga besar suami sekarang atau setelah kami mendapat kepastian? Apa yang harus kujelaskan pada kedua anakku?
Selama tiga malam sejak hari sial itu, kami bertiga menginap di rumah Ci Ki. Ci Ki dan Bang Tegar, suaminya dengan sabar mendengar dan menenangkanku selama kami di sana. Begitu juga dengan Aang dan Lisa, istrinya yang menelepon setiap malam setelah toko mereka tutup. Alika anakku yang paling besar, walau terlihat cuek, kali ini menunjukkan perhatian dan pengertiannya dengan mengerjakan lebih banyak pekerjaan rumah tangga dari biasanya. Dan Aileen, yang memang lebih sensitif, selalu menangis setiap malam saat memelukku sampai tertidur.
-----
Butuh waktu berhari-hari dan bantuan banyak pihak sampai akhirnya kami bisa menemukan nomor telepon kantor imigrasi tempat suamiku ditahan dan memohon supaya bisa video call dan melihat sendiri kondisinya.
Puji Tuhan suamiku dalam kondisi sehat walau jelas terlihat jauh lebih kurus dan tua. Ternyata tidak banyak yang dapat kami katakan, hanya sebatas saling menenangkan diri sambil menunggu waktu kepulangan. Sempat terlontar dari mulutnya agar aku meminta pinjaman dari Ci Ki untuk biaya hidupku dan anak-anak selagi uang gajinya belum dikembalikan oleh imigrasi Jepang.
-----
Aku berusaha keras melamar pekerjaan ke mana-mana, tapi rupanya memang sulit untuk cari pekerjaan bagi perempuan seperti aku, usia sudah di atas empat puluh, berdarah keturunan Cina, kuliah tidak tamat, belum juga tanpa keahlian operasional yang memadai.
Tak mungkin aku terus bergantung pada Ci Ki dan Aang untuk semua pengeluaranku yang tidak sedikit–uang sekolah anak-anak, belum lagi kontrak rumah yang sebentar lagi akan habis.
Aku dilanda rasa bersalah karena tidak pernah menyisihkan sebagian dari uang kiriman suamiku selama ini. Semua habis kupakai untuk kebutuhan kami. Memang ada sebagian yang kuberikan pada ibu mertua yang hobinya membuat segala macam kerajinan tangan untuk nantinya dibagi-bagikan ke saudara dan tetangga. Ada juga rumah bertipe Rumah Sangat Sederhana milik kami di Semarang, kota asal suamiku. Tapi itu pun dibeli dengan cara mencicil yang masa lunasnya masih berpuluh tahun akan datang.
Memasuki minggu ketiga masa tahanan suamiku, masih belum ada kabar yang berarti dari kantor imigrasi Jepang. Status suamiku masih tahanan, sidang deportasi belum dijadwalkan, pembayaran gaji pun belum jelas.
-----
Malam sering kuhabiskan dengan berpikir yang tak berujung bagaimana cara kami harus bertahan selama belum ada pemasukan. Semakin lama ku berpikir, semakin dalam aku tenggelam dalam kubangan rasa bersalah. Dalam doa yang selama ini jarang kupanjatkan, aku berjanji akan belajar menabung kalau sudah ada penghasilan. Demi Tuhan!
-----
Dengan sisa uang yang ada, bagian depan rumah kontrakanku kupakai untuk berjualan barang kelontong dan masakan rumahan. Minggu pertama ramai pembeli, dari kalangan tetangga yang penasaran dengan masakanku juga dari para tukang bangunan yang masih membangun rumah-rumah di sebagian besar kluster tempat tinggalku. Minggu kedua si ibu tetangga mengajukan permintaan untuk menambah ini itu yang dengan bahagia kuturuti. Minggu ketiga sebagian besar barang permintaan itu hanya teronggok di pojok lemari karena ternyata si ibu itu pindah rumah lima hari setelah memberi daftar permintaan barang. Kalaulah modalku cukup, mungkin kerugian beberapa ratus ribu itu masih bisa kuputar dalam jangka waktu tertentu. Tapi waktu itu aku sedang kepepet, akhirnya kujual cepat yang penting balik modal dan tidak rugi, pikirku.
Setelah satu bulan berjalan, ternyata keuntungan dari usaha kecilku ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja. Uang sekolah anak-anak, bensin mobil dan cicilan rumah RSS kami di Semarang harus bergantung pada pinjaman dari Ci Ki dan Aang.
-----
Salah satu sahabatku sewaktu SMP di Ungaran dulu, Tini, menawarkan pekerjaan sebagai tukang masak warung bakmi kenalan tetangganya. Warung itu berlokasi sekitar sepuluh km dari rumah kontrakanku. Langsung kuterima tanpa pikir panjang walau tahu bahwa gaji yang akan kuterima hanya akan cukup untuk makan sehari-hari dan uang sekolah Alika. Biarlah untuk saat ini aku masih harus menahan malu terus meminjam dari Ci Ki dan Aang. Sambil nanti kucari-cari pekerjaan lain dan berharap suamiku cepat pulang.
-----
Tiga bulan berlalu, titik terang akan kepulangan suamiku sudah mulai terlihat. Dalam percakapan telepon terakhir, suamiku mengatakan bahwa mendapat jadwal sidang deportasi minggu berikut dan kalau lancar maka jadwal kepulangan akan diputuskan di akhir sidang. Puji Tuhan.
-----
Dua minggu sebelum tanggal kepulangan suamiku, masuk telepon dari petugas kantor imigrasi Jepang.
“Boleh saya berbicara dengan Nyonya Amoy?,” begitu suara perempuan dari ujung telepon.
“Saya sendiri,” jawabku sambil merapikan bon-bon warung.
“Perkenalkan saya Renata, yang akan menerjemahkan percakapan antara Nyonya dan Bapak Hiroshi, kepala kantor Imigrasi Osaka. Mohon ditunggu!”
Terdengar suara klik seperti telepon ditutup, lalu—
“Perkenalkan saya Bapak Hiroshi, kepala kantor Imigrasi Osaka. Apakah betul saya bicara dengan Nyonya Amoy, istri Tuan Handoko Suteja?” suara Renata langsung menerjemahkan menimpa suara laki-laki berbahasa Jepang di seberang sana.
“Betul, saya Amoy, istri Handoko Suteja.”
“Saya mau memastikan status pernikahan antara Nyonya Amoy dan Tuan Handoko Suteja. Tolong kirimkan scan Akta Pernikahan via email yang akan saya beritahukan sebentar lagi,” permintaan yang membuat keningku berdenyut-denyut.
“Boleh saya tahu alasan permintaan Akta Pernikahan kami? Apakah ada masalah?”
“Saat ini ada dua perempuan yang mengaku sebagai istri sah Tuan Handoko Suteja. Kami harus memastikan mana yang sah secara hukum, karena kami akan mengirimkan uang milik Tuan Handoko Suteja,” bagai petir di siang bolong suara Renata terdengar.
“Gimana ya maksudnya? Saya bingung. Bisakah saya bicara dengan suami saya?” tanyaku panik.
“Silakan mengirimkan permintaan kami secepatnya agar proses pengiriman uang tidak terganggu,” lagi-lagi terdengar bunyi klik telepon ditutup, lalu—
“Nyonya Amoy, saya akan menyudahi telepon ini, mohon segera mengirimkan scan Akta Pernikahan agar proses pengiriman uang dapat dilakukan tanpa hambatan. Terima kasih dan selamat siang,” tanpa menunggu jawaban, Renata menutup telepon.
Dan aku hanya bisa bengong dengan telepon yang masih menempel di kuping. Sulit kupercaya bahwa Ko Han punya keberanian untuk menikahi perempuan lain. Pastilah ini hanya kesalahan yang tak berarti apa-apa, pikirku meyakinkan diri.
Setelah warung tutup sore itu, aku bergegas menelepon Ci Ki di mobil untuk melaporkan kejadian siang tadi.
“Ci, kok bisa ya Ko Han kayak gitu? Apa iya ya? Tapi tak pikir-pikir kok ya mungkin juga. Tiap Alika minta papanya pulang, dia selalu mengelak, beralasan nanti susah kalau mau berangkat kerja ke Jepang lagi. Lah ya mau sampe umur berapa kerja ilegal gitu? Gak mikirke anak-anak. Dah tak bilangin ‘ayo pah pulang ae, anak-anak dah gede, butuh papahnya loh. Gak kasian tah sama Aileen yang sampe segede gini belum pernah ketemu papahnya? Duit kan bisa cari bareng-bareng, jualan bakmi atau yang lain, sing penting ya bareng to.’ Tapi ya jawabnya selalu anak-anak masih butuh duit buat sekolah, rumah masih belum lunas. Kebutuhan sih kalau diurutin satu-satu ya ndak ada habisnya.”
Kali ini Ci Ki lebih banyak diam, bikin aku makin uring-uringan karena merasa keluhanku gak disambut seperti yang kumau.
“Piye to Ci, kok meneng ae?”
“Lha ya, mau kamu tuh aku ngomong apa? Kalau masalahnya gak serius, kan gak mungkin toh Kepala Kantor Imigrasi sendiri yang ngomong ama kamu. Tentang kemungkinan Handoko ada perempuan lain toh udah pernah kita obrolin sama Aang waktu kita pergi makan pas ulang tahun Lisa tahun lalu. Namanya laki-laki, mana udah gak pulang hampir sepuluh tahun gitu, butuh iman yang super untuk bisa nahan godaan segitu lama.”
“Cici gak tau sih anehnya permintaan Ko Han kalau pas vidcall berdua sama aku doang,” sergahku sengit.
“Maksudmu gimana?”
“Lah ya bayangin aja, setiap vidcall sama aku, maunya cuma berdua. Pintu kamar suruh dikunci. Aku udah tahu dah maunya apa, tapi aku ya risihlah Ci, masa disuruh masturbasi sambil ngarahin kameranya kesitu. Yang bener aja udah setua gini masih disuruh kayak gitu.”
“Kamu ya disuruh nyusul ke Osaka juga gak mau toh Moy. Kenapa waktu itu kamu gak mau disuruh nyusul?”
“Ya emohlah masa disuruh nyusul sendirian, anak-anak disuruh tinggal sama Ama4nya.”
“Masa tah? Ya wes dah gak usah mikir yang lalu-lalu. Sekarang jadinya maumu gimana? Kalau menurutku sih kirim aja scan Akta Pernikahanmu itu, terus satu dua hari coba tanya lagi perkembangannya, gimana?”
“Iyalah gitu aja ya Ci,” sahutku pelan karena sadar bahwa aku memang tidak punya pilihan lain saat ini.
Pelan-pelan kusetir mobil pulang.
-----
Akhirnya hari kepulangan Ko Han sudah dekat, rumah sudah rapi, bahan makanan kesukaannya sudah kubeli, baju-bajunya sudah wangi kucuci lagi setelah hampir sepuluh tahun tersimpan di bagian dalam lemari. Aku pun sudah minta cuti selama satu minggu untuk mengantisipasi barangkali Ko Han minta ditemani.
Hari yang ditunggu akhirnya tiba, Ko Han terjadwal sampai jam enam sore dengan pesawat Garuda Indonesia. Kami sudah siap berangkat sejak jam dua siang. Akhirnya daripada mondar mandir gak keruan di rumah, kami pun memutuskan berangkat ke airport dan menunggu dengan santai di aula penjemputan.
Kemesraan yang kuharap akan terlihat saat Ko Han datang dan memeluk anak-anak sama sekali tidak kurasakan. Hanya kekakuan dan keterpaksaan yang terlihat. Alika yang biasanya manja sama papahnya, melihat papahnya kaku dan gak ada senyum, jadi malah menyorongkan tangan untuk bersalaman. Belum lagi Aileen yang memang belum pernah bertemu papahnya sebelumnya, terlihat seperti dapat nilai 3 di raport. Sampai giliranku, dia hanya melihatku sekilas, dan tanpa pelukan, hanya sapaan “Mah.” Wow. Seperti menyapa angin.
Malam itu aku berusaha untuk mencairkan suasana kaku dengan melayani Ko Han saat makan, menyiapkan pakaiannya, dan menyeduh teh kesukaannya sesudah mandi.
Di atas tempat tidur, Ko Han terlihat sangat gelisah dan tegang.
“Aku mau bicara Mah."
Perasaanku gak enak mendengarnya.
“Aku mau minta cerai,” katanya tanpa basa basi.
“Siapa perempuan itu?” berkecamuk segala pertanyaan tentang perempuan itu dalam kepalaku, tapi yang keluar hanya pertanyaan gak penting ini.
“Kamu gak kenal.”
“Ya pastinya, kalau kenal udah habis dia kuhajar,” jawabku sengit.
“Ya sudah, kita gak usah bicara panjang-panjang. Lusa aku pulang ke Semarang, nanti surat cerai aku yang urus, jadi Mamah tinggal tanda tangan ae,” katanya santai seperti sedang memesan sebungkus nasi goreng.
“Anak-anak gimana?”
“Anak-anak ikut kamu, biaya kita bagi dua. Aku gak sanggup kalau harus biayain dua anak.”
“Terus mau kamu suruh siapa yang biayain anak kamu satunya?” nada suaraku sudah naik satu oktaf.
“Kamulah, kan kamu mamahnya.”
Busyet deh ni orang, gak ada matinya ngeles dari tanggung jawab.
“Besok kamu yang ngomong sendiri sama anak-anak, sekarang kamu tidur di ruang tamu,” sahutku sambil melemparkan bantal guling ke lantai.
-----
Tidak pernah kubayangkan akan bercerai, karena saat akan menikah dulu kami membuat komitmen di hadapan Gereja dan Tuhan bahwa hanya maut yang dapat memisahkan.
Bahkan sebelum menikah, aku minta Ko Han untuk bersumpah untuk tidak menceraikanku apapun yang terjadi.
Bukan apa-apa, aku tidak mau anak-anakku tercerai berai seperti waktu dulu orangtuaku bercerai.
Sesal memang selalu datang belakangan.
Mengapa aku tidak sedikitpun memaksa suamiku untuk pulang setiap satu atau dua tahun?
Mengapa aku tidak menuruti keinginannya supaya aku menyusul dan bekerja bersamanya di Jepang?
Mengapa aku tidak berjuang lebih keras untuk mempertahankan pernikahanku?
Segudang mengapa dan tak ada jawaban...
Ternyata perceraian membawa dampak yang luar biasa bagi perkembangan mental anak-anakku. Alika lebih sering bergaul dengan orang yang baru dikenalnya secara online, dan menjadi sangat emosional saat ditegur. Aileen menjadi semakin pendiam dan menarik diri. Dan aku bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan kami bertiga, karena bekerja di warung bakmi saja tidak mencukupi kebutuhan kami. Walau Ko Han berjanji untuk membiayai Alika, pada kenyataannya ia lebih sering mangkir dengan berbagai alasan. Untungnya rumah RSS kami yang di Semarang itu atas namaku, sehingga bisa kujual untuk menutupi kebutuhan hidup kami bertiga dan karena tidak mampu lagi membayar cicilannya. Kami juga terpaksa cari kamar kontrakan di lokasi yang tidak sebagus rumah kontrakan kami sebelumnya. Berkali-kali kami pindah kamar kontrakan karena rupanya masih ada orang yang kurang nyaman bertetangga dengan keturunan Cina seperti kami ini.
Ci Ki dan Aang selalu menawarkan untuk tinggal bersama dengan salah satu dari mereka, tapi aku berkeras untuk mandiri. Bukan karena tidak menghargai mereka, tapi aku juga tidak mau menjadi beban bagi keluargaku.
Bekerja serabutan juga tidak selalu menjanjikan terpenuhinya kebutuhan kami bertiga, sehingga aku harus berpikir untuk mencari pekerjaan lain yang bisa lebih menjanjikan.
Akhirnya aku memutuskan untuk melamar jadi sopir taksi yang langsung ditentang oleh cici dan adikku itu.
“Coba cari kerjaan lain yang lebih aman toh Moy, kan kamu udah sering dengar kalau sopir taksi itu sering diserang, dirampok. Apalagi kamu perempuan,” kata Ci Ki.
Tapi keputusanku sudah matang. “Semua kerjaan mah ada aja resikonya ci, biar kerjaan ini aku coba dulu. Siapa tau rezekiku di sini. Aku yakin Tuhan selalu melindungiku. Apalagi di mobil itu ada kode rahasia kalau-kalau kita ada apa-apa di jalan. Wis yakin aku, doain aja ya,” pintaku sambil mencoba meyakinkan diri sendiri.
-----
Sampailah kita disini, tiga tahun setelah kumulai pekerjaan sebagai sopir taksi. Memang tidak mudah. Setiap hari ada batas minimal argo yang harus dicapai. Berjam-jam keluyuran mencari penumpang dengan harapan mendapat argo lebih banyak. Kalau minimal argo tidak tercapai, aku harus merogoh kocek sendiri untuk isi bensinnya.
Sebagai perempuan, setiap klien pun merupakan potensial peleceh seksual. Pertama kali aku dilecehkan di taksiku sendiri, jantungku berdegup kencang, bibirku kelu dan kering, tangan dingin dan kaku. Aku pun heran aku masih bisa mengemudi dengan tenang, menepi di pinggir jalan yang ramai, dan meminta penumpang itu membayar argo dan turun dari taksiku. Bayangkan, predator itu masih bisa menyumpah serapah dan mengancam akan melaporkanku ke kantor pusat karena menurunkan mereka sebelum sampai di tujuan. Aku hanya bisa bangga pada diri sendiri bahwa aku mampu membela diri saat itu.
Ini bukan cerita untuk membuatmu mengasihani aku. Dalam tiga tahun sejak titik terendahku, aku ingin berpikir bahwa aku telah membuat kemajuan yang lumayan. Walaupun aku belum bisa memenuhi semua kebutuhan finansialku, paling tidak aku sudah bisa menjadi perisai bagi keluargaku. Perlahan-lahan, aku belajar membela diri sendiri. Sebelum semua ini terjadi, mungkin aku tidak akan pernah terpikir aku bisa seperti ini. Tapi ya, siapa yang tahu Tuhan punya rencana apa untuk kita?
1 Bagaimana sih ini, kok pintu gak dikunci? Kalau ada yang masuk, gimana?
2 Sebutan kakak perempuan dalam keluarga Tionghoa
3 Sebutan paman dalam keluarga Tionghoa
4 Sebutan nenek dalam keluarga Tionghoa
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.