[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #3

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #3

 

 

Tiga

Sepotong Dunia Teduh

 

 

Sejak Kresna membuka mata di tempat ini, tak pernah sekali pun pandangannya berhasil menangkap berkas sinar matahari. Sekelilingnya terkadang terang tapi redup. Terkadang juga gelap walaupun tak terlalu pekat. Ia hanya perlu membiasakan diri dengan siklus itu, yang rasa-rasanya nyaris serupa dengan siklus harian di luar sana.

 

Tentu saja semua itu menimbulkan rasa penasaran yang begitu besar. Rasa penasaran itu nyaris meluap dalam hati, kalau saja tidak dicegah oleh Wilujeng dengan kalimat yang disisipkannya dengan sangat lembut ke dalam benak.

 

‘Nanti juga kamu akan tahu.’

 

Jadi, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba untuk memupuk sabar di tengah rasa kantuk yang selalu menghampirinya setelah ia minum ramuan yang dibuat oleh Paitun. Ia menanti dengan penuh debar, kapan ‘nanti’ itu akan tiba. Juga ‘nanti’ yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan tentang keberadaan Wilujeng selama belasan tahun ini. Kalau ibunya itu memang masih utuh jiwa dan raga, mengapa tak kembali saja ke rumah? Benar-benar waktu tiga hari yang sangat menyiksa baginya.

 

Maka, ketika Paitun memberi isyarat bahwa ia sudah boleh meninggalkan pembaringan dan juga ruangan yang selama beberapa hari ini menjadi tempat istirahatnya, ia pun nyaris meloncat kegirangan. Tapi tatapan Paitun membuatnya mengerti bahwa ia harus menahan diri. Ia pun turun pelan-pelan dari atas pembaringan.

 

Kedua kakinya kini menapak lantai pondok yang terbuat dari kayu. Terasa halus dan sedikit hangat menyapa telapaknya. Pergelangan kaki kirinya sudah tak lagi terasa nyeri.

 

“Mandi dulu, ya, Kres,” ucap Wilujeng lembut. “Tempat untuk mandi ada di belakang. Sudah waktunya kamu BAB juga. Ayo, Ibu antar.”

 

Kresna pun menurut. Ia melangkah perlahan di belakang ibunya. Agak sedikit goyah sepanjang beberapa langkah. Tapi segera saja menjadi normal kembali.

 

Pondok yang sepenuhnya terbuat dari kayu itu tidak terlalu besar, tapi sangat bersih dan tidak sesak oleh banyak perabot. Bilik yang beberapa hari ini ditempatinya terletak di bagian depan, berbatasan dengan ruang kosong yang hanya beralaskan tikar anyaman pandan. Setelah itu ada lorong yang terletak di antara dua bilik. Lepas dari lorong, ada ruang cukup luas yang tampaknya tempat untuk memasak. Ada tungku-tungku besar dan beberapa perabot dapur di sana. Di salah satu sudut ruangan itu ada pintu yang terbuka. Langkah Wilujeng menuju ke sana.

 

Dan... Kresna ternganga begitu sampai di luar pintu. Ia berada di sebuah beranda yang dinaungi jajaran rapat rangkaian daun kelapa kering. Di luar beranda ada semacam kebun yang penuh berisi berbagai macam tumbuhan. Ada jalan setapak di tengah-tengah kebun itu. Wilujeng meneruskan langkahnya menembus kebun dengan Kresna tetap membuntuti.

 

Jalan setapak itu berujung di tepi sebuah sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Lebarnya kurang lebih satu setengah meter. Ada sebuah pondok kecil di sisi sungai itu. Wilujeng membuka pintunya.

 

“Di sini tempat kita mandi,” senyum Wilujeng. “Masuklah. Ibu tinggal, ya?”

 

“Mm... Bu....” Tatapan Kresna tampak ragu-ragu.

 

“Ya?” Wilujeng mengangkat alisnya.

 

“Apakah... tempat ini... aman?”

 

“Oh, ya! Tentu saja!” Wilujeng tertawa kecil. “Tuh, Janggo menjagamu.”

 

Tatapan Kresna mengikuti arah telunjuk Wilujeng. Seketika ia tercekat dan hanya bisa terbelalak dengan mata dipenuhi rasa ngeri. Seekor binatang menyerupai serigala berbulu coklat kemerahan duduk tegak sambil menatapnya di seberang sungai.

 

Astaga....

 

‘Apa astaga-astaga?’

 

Seketika Kresna terkesiap ketika suara berat itu menggema di benaknya. Ia menatap Janggo seolah tengah melihat film horor.

 

‘Sudah! Cepat mandi! Aku mau tidur setelah ini.’

 

‘Jangan galak-galak sama Mas, Janggo!’

 

Suara itu menggema di benak Kresna bersamaan dengan munculnya Pinasti dari arah belakang Janggo. Janggo menyeringai. Tatapannya seketika berubah jadi jenaka. Sementara itu, dengan bulu kuduk masih meremang, Kresna meloncat masuk ke bilik mandi.

 

* * *

 

Ya, Tuhan.... Tempat apa ini?

 

Kresna duduk mencangkung di tepi beranda depan pondok. Sekelilingnya begitu hening dan sunyi. Sesekali semilir angin menggoyangkan dedaunan dan sejenak singgah untuk menyapanya.

 

Selesai mandi tadi, sambil berjalan kembali ke pondok, ia sempat mendongak untuk mencari sepotong langit. Tapi nihil. Ia hanya bisa melihat ruang kosong berwarna gelap nun jauh di atas. Semacam langit-langit yang menaungi tempat itu. Ada semacam cahaya yang entah bersumber dari mana menerangi tempat itu. Tidak segemerlap sinar matahari, tapi cukup memberikan terang yang berkesan sangat teduh.

 

Kalau ini gua, sebesar apa dan di mana letak tepatnya? Tapi kenapa ada semacam hutan hijau dengan udara yang begini sejuk?

 

“Mas....”

 

Sapaan halus itu membuat Kresna sedikit tersentak. Ia menoleh dan mendapati Pinasti berdiri di ambang pintu pondok, menatapnya ragu-ragu.

 

“Ya?”

 

“Mm... Nini menyuruhku menemani Mas jalan-jalan,” ucap Pinasti, setengah menggumam. “Itu juga... kalau Mas mau.”

 

Hm.... Jalan-jalan? Menjelajahi tempat ini?

 

Semangat Kresna mendadak timbul. Tanpa berpikir panjang ia berdiri.

 

“Yuk!” sambutnya.

 

Pinasti pun mengangguk dan mulai melangkah. Ada semacam jalan kecil di depan pondok itu. Pinasti mengambil arah ke kiri. Kresna pun mengikutinya dalam hening. Segera saja butiran lembut pasir putih menyambut kaki Kresna yang telanjang. Seketika bibirnya membundar tanpa mengeluarkan suara.

 

Jajaran aneka pakis-pakisan dan keladi ada di kiri-kanan jalan itu. Tak jauh dari pondok, di tepi ujung jalan, ada pondok lain yang lebih kecil. Pinasti melintas di depan pondok, dan sejenak berhenti.

 

“Paman!” sapanya.

 

Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berambut gondrong yang diikat ke belakang menoleh. Kesibukannya membelah gelondongan kayu berhenti sejenak.

 

“Mau ke mana, Pin?” Suara berat laki-laki itu terdengar bersahabat.

 

“Ini, mau ajak Mas Kresna lihat-lihat sekitar sini,” jawab Pinasti dengan senyum manis tersungging di bibir.

 

“Oh....” Laki-laki itu membalas senyum Pinasti. Tatapannya kemudian beralih pada Kresna. “Sudah mulai pulih, Mas?”

 

“Ng.... Sudah, Paman,” Kresna mengangguk sopan.

 

Kembali tatapan laki-laki itu berlabuh pada Pinasti.

 

“Jangan jauh-jauh, Pin. Nanti masnya kecapekan,” pesannya.

 

“Iya, Paman,” angguk Pinasti.

 

“Ajak saja Janggo. Bangunkan dia.”

 

“Nggak usah, Paman,” Pinasti menggeleng. “Biar dia tidur dulu.”

 

Setelah berpamitan, keduanya kemudian kembali melangkah menyusuri jalan yang termyata belum berujung. Ada belokan ke arah kiri.

 

“Itu tadi Paman Tirto.” Pinasti menjelaskan. “Dia yang angkat Mas ke sini waktu Mas pingsan.”

 

“Oh?” Kresna mengangkat alis, tercenung sejenak. Kemudian ia menggumam, “Gimana aku bisa sampai di sini, Pin?”

 

“Oh, itu....” Seperti ada yang merintangi Pinasti untuk menjelaskan lebih lanjut. “Mm.... Kalau itu, biar Ibu atau Nini saja yang menjelaskannya.”

 

Walaupun rasa penasaran itu kembali menggunung di hati, Kresna berusaha keras untuk menahan diri. Tidak mendesak Pinasti lebih lanjut.

 

Beberapa puluh meter dari pondok Tirto, ada dua pondok lain yang berdampingan. Tapi terlihat tak berpenghuni karena pintu dan jendelanya tertutup rapat.

 

“Ada orang lain di sini?” tanya Kresna, terdengar berhati-hati.

 

“Ada.” Pinasti mengangguk. “Tapi sepertinya sedang pergi ke atas.”

 

“Ke atas?” Kresna mengerutkan kening. “Ke mana?”

 

“Ya, ke atas.” Pinasti menoleh sekilas.

 

Jawaban pendek Pinasti seolah menjadi peringatan bagi Kresna untuk menyimpan kembali pertanyaan selanjutnya. Pinasti melangkah terus. Jalan yang mereka lalui mulai menanjak. Seolah mendaki bukit.

 

“Kita ke situ, ya?” Tunjuk Pinasti ke satu arah.

 

Kresna hanya mengangguk.

 

Lalu, mereka pun sampai di puncak ‘bukit’. Tak terlalu jauh, tak terlalu tinggi. Dan, ketika langkah Kresna menjejak tepat di belakang tubuh Pinasti, seketika itu juga ia ternganga.

 

* * *

 

Wilujeng duduk termenung di atas balai-balai di sudut dapur. Tatapan kosongnya jauh menembus jajaran tungku di seberangnya. Paitun yang baru saja masuk dari kebun belakang dengan membawa nyiru berisi aneka dedaunan kemudian menghampirinya. Ia duduk di sebelah Wilujeng. Nyirunya ia letakkan di atas meja.

 

“Cepat atau lambat, kita memang harus menjelaskannya pada Kresna,” ucap Paitun halus, mengerti apa yang tengah dipikirkan Wilujeng.

 

Perempuan ayu itu menghela napas panjang. Ia menoleh dan menatap Paitun.

 

“Aku bingung, harus mulai dari mana, Mak?” gumam Wilujeng.

 

“Jawab saja pertanyaan yang dia ajukan.”

 

Wilujeng kembali menghela napas panjang.

 

“Aku rasa dia akan dapat memahaminya,” ujar Paitun lagi. “Kulihat Kresna anaknya mudah mengerti.”

 

Wilujeng mengangguk. “Iya, Mak. Hingga kutinggalkan, dia memang seperti itu anaknya. Tak pernah banyak tuntutan. Selalu bisa memahami dengan baik apa yang aku atau ayahnya katakan.”

 

“Jangan lupa untuk bertanya siapa yang mencelakainya.” Suara Paitun terdengar serius.

 

“Emak sama sekali tidak bisa melihatnya?”

 

Paitun menggeleng. “Setiap kali aku mencoba untuk mencari tahu, segera saja aku berhadapan dengan kabut tebal. Itu karena Kresna menyembunyikan kebenarannya. Tapi siapa tahu, kalau ibunya sendiri yang bertanya, barangkali dia mau mengungkapkan?”

 

Wilujeng kembali mengangguk.

 

“Pinasti berhasil mengajaknya melihat-lihat tempat ini,” gumam Paitun sembari meraih nyirunya. Tangannya dengan cekatan memisahkan dedaunan yang bercampur di wadah itu sesuai jenisnya.

 

“Semoga tidak terlalu jauh.” Wilujeng menanggapi.

 

“Ya,” angguk Paitun. “Aku pesan supaya Pinasti membawa Kresna ke danau.”

 

“Semoga dia tidak pingsan melihat pemandangan di sana.” Wilujeng menutup ucapannya dengan tawa kecil.

 

Paitun tersenyum lebar. Keduanya kemudian mulai sibuk mengolah dedaunan itu, sembari bercakap tentang banyak hal.

 

Wilujeng bercerita tentang masa kecil anak-anaknya, kehidupan awalnya bersama Mahesa, dan kebahagiaannya dengan keluarga. Seutuhnya, Paitun menangkap jutaan kerinduan meluap dari tatapan setengah menerawang Wilujeng. Sejenak ia menghentikan gerakan tangannya. Ditatapnya Wilujeng dengan serius.

 

“Aku tahu, kamu selalu bertanya tentang keberadaanmu di sini,” ujar Paitun dengan nada halus. “Sampai kapan, dan sebagainya. Kuharap kamu percaya pada suratan takdir, Jeng. Bahwa memang sudah seharusnya kamu untuk sementara waktu ada di sini. Untuk Pinasti. Untuk Kresna.”

 

Wilujeng mendegut ludah mendengar ucapan Paitun. Tak dapat ditahan lagi, sebutir air mata meluncur jatuh di pipi kirinya.

 

“Ada saatnya kalian kembali ke atas,” lanjut Paitun. “Pada saat yang tepat.”

 

“Pinasti?” Wilujeng mengerjapkan matanya.

 

“Ya,” angguk Paitun. “Pinasti juga.”

 

Wilujeng tersenyum kini. Pada akhirnya, harapannya akan berujung juga, walaupun waktunya belum tentu. Ada ucapan terima kasih terpancar dari dalam matanya. Paitun menanggapinya dengan senyum. Perempuan tua itu kemudian menunduk, meneruskan pekerjaannya yang terjeda. Sejenak ia menutup ruang pikirannya.

 

Suatu saat kamu akan tahu yang sebenarnya, Nduk.

 

Paitun mengerjapkan mata.

 

Suatu saat, pada waktu yang betul-betul tepat.

 

* * *

 

Sulit! Sulit sekali untuk memercayai penglihatannya. Selama beberapa jenak Kresna ternganga, hingga Pinasti meraih tangannya. Gadis muda itu menariknya menuruni bukit. Menuju ke sebuah danau kecil di lembah.

 

Mereka berdua sudah berada di tepinya kini. Danau itu sudah pasti luar biasa di mata Kresna. Sebuah danau di tempat antah berantah. Danau dengan air sangat bening sehingga bagian dasarnya terlihat jelas. Penuh dengan batuan warna-warni. Serupa dengan ratusan, bahkan mungkin ribuan ikan kecil yang hilir mudik di dalam air.

 

Tapi yang membuat Kresna takjub sekaligus bergidik bukanlah danau itu, melainkan apa yang ada di seberangnya. Puluhan ajak tengah berkumpul di sana. Memenuhi benak Kresna dengan dengung-dengung tak jelas bagaikan gumaman sekawanan lebah.

 

Ia hendak menarik tangan Pinasti untuk segera kabur dari tepian danau, tapi Pinasti sudah lebih dulu melambaikan tangan dan berseru, “Hei! Teman-teman!”

 

Kawanan ajak itu menoleh. Segera saja dengung bersahut-sahutan menyerbu benak Kresna. Dua ekor ajak terbesar – walaupun tak sebesar Janggo - berwarna putih dan coklat kemerahan serupa Janggo berlari menyeberangi danau yang ternyata dangkal itu. Pinasti berlutut dan kedua ajak itu tenggelam dalam pelukannya.

 

‘Mana Janggo, Pin?’

 

‘Janggo tidur manis di rumah.’ Pinasti tersenyum lebar.

 

Kemudian ajak putih menengok dan menatap Kresna. Tanpa sadar, pemuda itu merapatkan tubuhnya ke arah Pinasti. Gadis itu kemudian tersadar, bahwa ia tak datang sendirian. Ia kemudian berdiri, dan meraih tangan Kresna.

 

“Ini Mas Kresna, abangku,” ucap Pinasti. Ia kemudian menoleh ke arah Kresna. “Yang putih ini namanya Bondet, yang seperti Janggo itu Sumpil. Keduanya pemimpin kawanan masing-masing. Sudah terpecah jadi beberapa kelompok, tapi Bondet dan Sumpil tetap pemimpin utama.”

 

Kresna hanya bisa terbengong. Ajak putih itu mendengking pendek tiga kali, kemudian melangkah mengelilingi Kresna dan Pinasti.

 

‘Hm.... Rupanya kamu yang dicari mereka.’

 

“Mereka siapa?” mata Kresna seketika terbelalak.

 

‘Orang-orang itu, yang menuruni tebing.’

 

Tak berkedip, Kresna menatap Bondet. Ajak putih itu menyeringai sekilas. Ia kemudian menatap Pinasti.

 

‘Pin, kami kembali dulu. Salam buat Janggo.’

 

Pinasti mengangguk. Ia kemudian melambaikan tangan ketika Bondet dan Sumpil kembali menyeberang. Sesampainya kedua ajak itu di seberang danau, kawanan mereka bersahut-sahutan melolong. Kresna mendegut ludah dengan punggung seolah ditempeli satu balok besar es batu. Sekujur tubuhnya merinding sejadi-jadinya.

 

Sementara itu Pinasti bertepuk tangan dengan wajah riang. Ia menoleh, menatap Kresna.

 

“Mereka menyanyi untuk kita. Menyambut Mas,” ucap Pinasti dengan nada manis.

 

Membuat Kresna ternganga untuk kesekian kalinya.

 

* * *

 

Jadi mereka mencariku?

 

Kresna melangkah setengah tersaruk di sebelah Pinasti.

 

Setelah apa yang dilakukannya padaku?

 

Ada sebersit rasa sakit yang menghantam dadanya.

 

Bagaimana bisa dia tega melakukan ini padaku?

 

Hatinya masih diliputi kengerian. Teringat bagaimana perasaannya saat terlempar begitu saja dari atas tebing. Meluncur ke bawah sekian puluh meter. Gagal bertahan memegang sesemakan yang tumbuh di tebing. Kemudian terjebak begitu saja di sini. Dunia yang entah.

 

“Jadi, siapa yang mencelakai Mas?”

 

Suara halus itu membuat Kresna terlempar keluar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah adiknya. Mendapati gadis muda itu menatapnya dengan mata bening yang luar biasa indah. Sejenak Kresna merasa seperti tenggelam di dalamnya. Tapi ia kembali terlempar di permukaan ketika Pinasti mengerjapkan matanya.

 

“Dia....” Kresna mendegut ludah. “Aku... tak tahu....”

 

Pinasti menggigit bibirnya. Ia mengalihkan tatapan. Keduanya melangkah kembali ke rumah, kembali dalam hening.

 

Sepanjang kebersamaan di tepi danau tadi, keduanya lebih banyak menikmatinya dalam hening. Ada banyak kejutan yang dialami Kresna. Membuatnya tenggelam dalam lautan tanya yang belum ada jawabannya. Sementara Pinasti lebih banyak diam.

 

Adik....

 

Kresna mengerjapkan mata.

 

Yang tak pernah kutahu dia masih ada. Apakah memang seperti ini rasanya memiliki seorang adik?

 

Pemuda itu menggeleng samar. Perasaannya benar-benar asing terhadap Pinasti. Tak pelak ada rasa dekat, tapi juga jauh. Sesuatu yang rasanya sulit sekali untuk menjelaskannya.

 

Segalanya masih terlalu samar untuk dimengerti. Apalagi ia memang belum menerima penjelasan apa-apa. Dihelanya napas panjang. Pondok Paitun sudah kelihatan. Ia sungguh-sungguh berharap ia akan mendapatkannya. Entah seperti apa caranya atau bagaimana ia akan memahami hal itu kelak.

 

Hal itu.

 

Serangkaian penjelasan.

 

* * *

 

 

(Bersambung hari Kamis)

 

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.