Closure dalam Ketupat Sayur
Berdamai dengan trauma masa lalu
![Closure dalam Ketupat Sayur](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_62beb995a9345.jpg)
Dengan badan basah kuyup, Yanti, Tari dan Retno menghampiri food court mingguan di kawasan Bintaro. “Aku pokoknya mau sarapan lontong Medan. Dari semalam aku sudah membayangkan rasanya yang gurih, pedas, kuah santan campur taoco itu,” kata Tari. “Pakai rendang ya?” sahut Retno. “Sudah pasti itu. Aku lupakan dulu deh kholesterol,” jawab Tari sambil tertawa ngakak. “Kholesterol, yang baik dan yang buruk hanya ada di lab. Jadi mari kita nikmati dulu sarapan kita,” Yanti yang dari tadi diam tiba-tiba menyahut sambil melap badannya yang basah kuyup.
Sarapan bersama di food court ini merupakan ritual mingguan mereka bertiga setelah gowes yang merupakan kebiasaan baru sejak pandemi. Seperti banyak warga planet bumi, tiga sekawan ini rajin dengan takzim olah raga gowes, naik sepeda, yang tiba-tiba menjadi trend.
“Gowes ini selain sehat, juga environmentally friendly,” kata Retno suatu hari pada awal pandemi. Wajah dan nada suara Retno, seorang Executive Secretary terdengaar ceria. “Bukan karena sedang nge-trend ya? Sejak kapan kamu peduli soal lingkungan?” Tanya Yanti dengan nada ngegas. Yanti, yang berprofesi sebagai wartawan selalu bicara apa adanya, tanpa rem. “Kamu kan tiap hari diantar-jemput pakai mobil kantor yang mewah itu,” lanjutnya. “Kok jadi sinis gitu sih? Orang kan bisa berubah,” jawab Retno dengan muka asam. Tari segera menengahi ketegangan di antara kedua sahabatnya. Tari, manajer HRD, dengan penampilan tenang selalu mampu meredakan ketegangan di antara mereka ber-tiga.
Apa pun alasannya, entah karena sendang nge-trend, atau pun karena kesadaran mengenai pentingnya mengurangi emisi karbon, Tari, Retno dan Yanti sepakat untuk memulai olah raga bersepeda sejak 2 tahun yang lalu.
Puluhan kilometer mereka tempuh bersama baik di dalam Jakarta mau pun daerah sekitarnya seperti Bogor dan Bintaro. Ketiga perempuan di usia 40-an ini bersahabat sejak duduk di bangku SLTA. Persahabatan mereka dapat dikatakan sudah teruji: tertawa, menangis dan juga bertengkar sudah menjadi bagian dari pertemanan antara Tari, Retno dan Yanti. Mereka sudah saling mengenal karakter masing-masing luar dalam, mulai dari selera make-up, pakaian, filem sampai kuliner. Food court mingguan Bintaro yang terletak di pojokan sebuah ruko menyediakan aneka makanan pagi yang memenuhi selera mereka bertiga.
Yanti yang selalu berhasil menjaga berat badan ideal, bisa sarapan bubur ayam atau dim sum. Retno yang tidak terlalu mempedulikan nutrisi makanan dan sangat suka yang manis-manis, serta punya kebiasaan makan hanya kalau lapar, dapat menikmati bubur sumsum, bubur kacang hijau atau bubur biji salak. Sedangkan Tari yang selalu bangga bahwa ia selalu mementingkan nutrisi dan rasa tetapi abai kalori, bisa memuaskan diri dengan lontong Medan, ketupat sayur, nasi kuning, nasi uduk, nasi gudeg atau pun kwetiauw Sawah Besar.
Meja lontong Medan agak padat pagi itu. Ibu Aminah bersama 2 orang asistennya terlihat sangat sibuk. Piring-piring yang sudah berisi lontong disiram dengan sayur santan beserta labu, wortel, kacang panjang, ditambah kering tempe, tauco Medan, sambal dan ditutup dengan lauk pilihan pembeli, telur balado, rendang atau ayam balado. Tari yang selalu tidak sabar di saat antri makanan, mulai melirik jam tangannya, menghitung berapa menit lagi yang harus ia habiskan sebelum dapat menyantap makanan favoritnya.
Sekitar 10 menit kemudian, akhirnya Tari mendapatkan apa yang ia inginkan: lontong Medan dengan lauk rendang. Tari bergegas menghampiri Yanti dan Retno yang sudah menyantap menu pilihan sarapan mereka. Retno seperti biasa memilih yang manis-manis. Kali ini bubur biji salak yang dicampur dengan bubur ketan hitam. Gabungan warna coklat biji salak, dicampur dengan santan pekat berwarna putih dan ketan hitam sungguh menggugah selera. Dengan jarinya yang langsing serta terawat rapi, perempuan dengan rambut tergerai sebahu melumat bubur campur ini dengan penuh perasaan. Ekspresi Retno, perempuan di usia awal 40- an ini begitu menikmati, sampai menarik perhatian beberapa pengunjung yang tersenyum-senyum kecil.
“Apaan sih lo? Segitu enaknya bubur ini?,” tanya Yanti dengan suara agak tinggi. “Orang pada ngeliatin nih,” lanjut Yanti sambil membuang semut dengan tangannya yang terlihat berotot dan kuat. “Duuhh bawel banget sih lo. Ya biarin aja pada ngeliat, biar mereka beli juga bubur ini. Biar tambah laku. Mendukung UMKM tahu…!” jawab Retno dengan nada yang tidak kalah tinggi. Tari tidak berusaha menengahi ketegangan ini. Persahabatan mereka bertiga yang sudah puluhan tahun, sejak mereka duduk di bangku SMA pasti lebih kuat daripada pertengkaran-pertengkaran kecil seperti ini.
Tari duduk di hadapan Yanti, rambutnya yang panjang dikucir, mengibas ke kanan dan kiri, terhembus angin semilir. Tari mulai menyendok lontong Medan dengan perlahan. Menghirup santannya yang gurih, menyendok taoco kecoklatan serta mengunyah labu dan wortel yang empuk. Ia sengaja menyisihkan potongan rendang. “Ini untuk nanti, sebelum suapan terakhir. Yang paling enak harus selalu dimakan paling akhir,” begitu selalu keterangan Tari setiap kali ditanya mengapa rendang selalu disisihkan. Seperti Retno, Tari menumpahkan seluruh konsentrasinya pada sepiring lontong Medan. Suara Retno dan Yanti yang saling bersaing makin kabur bagi Tari, sampai Yanti menggamit tangannya. “Sama aja lo sama Retno. Kalau udah makan lupa semua," kata Yanti terkekeh sambil menggaruk kepalanyaa yang berambut pendek. “Gitu dong, ketawa, masak sarapan sambil ngomel-ngomel,” jawab Tari sambil memandang wajah sahabatnya yang selalu terlihat lebih muda dari umurnya. Mungkin rambut potongan pendek serta pakaian yang sportif menjadi faktor awet muda, begitu selalu terbersit di benak Tari.
Dengan suasana yang kembali gembira, Tari menyendok kembali lontong Medan favoritnya, namun tangannya terhenti, dan mulutnya seketika ternganga saat ia melihat sarapan Yanti. Sepiring ketupat sayur yang sangat menggugah selera sedang disantap Yanti. Yanti yang biasanya anti santan, anti gorengan, hampir tidak pernah mengkonsumsi ayam atau daging sapi, menyuapkan lontong sayur dengan lauk telur balado, tahu, serta paha ayam.
“Nggak salah????!!!” seru Tari yang menyebabkan Retno menoleh dan ikut terbelalak. “Enak ya Yanti? Segala makanan yang gurih dan manis enak lho Yanti,” sahut Retno dengan tertawa. Yanti tidak bersuara. Ia terus menyuapkan potongan ketupat dengan kuah santan, sayur, serta lauknya perlahan-lahan. Air mukanya terlihat sangat serius. “Gak takut kholesterol naik? Awas lho Yanti entar tiap hari ketagihan ketupat sayur. Lagian lo beli di mana sih? Pagi ini gerai ketupat sayur libur,” Retno menyambung dengan berisik. “Jangan-jangan lo bawa dari rumah,” timpa Tari yang dalam hati bergembira karena Yanti sudah ikutan makan santan.
Yanti mengangkat wajahnya, matanya tampak berkaca-kaca. Ia meletakkan telunjuk jarinya di depan bibirnya yang terkatup rapat. “Lho kenapa Yanti? Kok jadi sedih?” Retno yang berhati lembut bertanya dengan perasaan bersalah. Yanti tetap membisu, air matanya mulai berjatuhan. Bujukan Tari yang biasanya mampu menenangkan, kali ini membuat Yanti tambah sesenggukan.
Suasana yang tadinya ceria, berubah menjadi sendu. Celotehan ketiga sahabat terhenti, digantikan dengan suara sendok beradu dengan mangkok. Tari merasa waktu berjalan sangat lambat ketika akhirnya Yanti mengangkat wajahnya seiring dengan suapan terakhir ketupat sayur nya. Meski ekspresi wajahnya masih sedikit muram, Yanti terlihat lega. Diraihnya gelas berisi teh tawar. Dengan perlahan diteguknya cairan merah gelap yang bagi Yanti terasa menenangkan. Tari dan Retno tetap diam, dan memperhatikan gerak-gerik Yanti.
“Duuh maaf banget ya tadi kok jadi mellow nggak karuan,” Yanti memecah kesunyian. “Makan ketupat sayur pagi ini merupakan closure,” sambung Yanti. “Aku berpikir hari ini adalah saat yang tepat untuk melakukannya. Aku beli ketupat sayur di pojokan food court, karena counter di sini tutup.”
Tari dan Retno saling berpandangang. Closure? Closure apa? Bukankah mereka bersahabat sudah puluhan tahun? Apakah ada yang terliwat dalam episode pertemanan mereka? Tetapi rupanya selalu saja ada cerita yang belum terungkap, meski meliwati masa persahabatan yang sudah puluhan tahun, seperti yang kemudian disampaikan Yanti. Siapa yang menyangka bahwa ketupat, yang merupakan makanan istimewa di hari lebaran, namun juga makanan biasa di luar lebaran, membawa trauma bagi Yanti. “Melihat ketupat sayur membuatku selalu merasa menjadi anak durhaka,” kata Yanti sambil mengusap air matanya.
Melihat kedua temannya tampak semakin heran, Yanti menceritakan bahwa ketupat sayur selalu mengingatkannya kepada ayahnya yang telah berpulang 5 tahun yang lalu. “Ayahku kan sakit cukup lama, penyakit kronis, diabet, gagal ginjal, hipertensi. Jadi harus diet ketat, “ jelas Yanti. Namun dokter juga berpesan, sesekali boleh makan apa saja, asalkan jangan banyak-banyak.
Dua hari sebelum meninggal, Yanti menerima telpon dari ayahnya. “Papa maksa banget minta dibelikan ketupat sayur. Sedikit aja, papa ingin sekali. Segala bujukanku ditolak. Aku bingung, karena itu beberapa hari sebelum lebaran,” kata Yanti. Yanti berkeliling ke berbagai resto yang buka, tetapi tidak ada yang menjual ketupas sayur. Salah satu temannya menganjurkan agar ia pergi ke pasar siapa tahu ada yang jual. Benar saja masih ada yang jual. “Tapi ketupatnya sudah tidak bagus, dan sayurnya agak asam, jadi aku gak beli,” lanjutnya. Ayahnya ternyata sangat kecewa, dan meminta dengan sangat agar Yanti mencari sampai dapat. Yanti tidak melakukan permintaan ayahnya, karena ia juga sibuk mengurus rumah dan keluarganya. “Kata mama keesokan harinya Papa masih menanyakan ketupat sayur. Setelah itu papa tidak pernah menanyakannya. Papa meninggal di hari lebaran ke-2, tanpa pernah merasakan ketupat sayur,” tutup Yanti dengan berurai air mata.
“Aku didera perasaan bersalah. Ternyata itu adalah keinginannya terakhir, dan aku mengabaikannya. Padahal aku bisa juga masakin. Anak macam apa aku ini,” lanjut Yanti dengan suara tercekat. Sejak saat itu Yanti tidak pernah mau makan ketupat sayur, dan bahkan mulai membenci penganan itu. “Sudah lama aku tidak menyediakan ketupat saat lebaran. Aku menggantinya dengan lontong. Segala sesuatu yang berhubungan dengan ketupat membuat nafasku sesak. Ketupat yang bergantungan di tukang ketoprak seolah mengejekku,” air mata Yanti berderai.
Namun pagi ini Yanti memiliki perasaan yang berbeda. Tukang ketupat sayur yang berjualan di pojokan food court seolah menariknya seperti magnet. Dengan langkah tetap dan hati mantap Yanti mendekat, hatinya berdebar melihat jajaran ketupat, dan matanyaa berkaca-kaca menatap sayur labu kuning dan telor balado. “Tapi wajah bang Leman, tukang ketupat sayur itu begitu tenang dan senyumnya terlihat tulus. Apalagi setelah ia bercerita bahwa sejak pandemi pendapatanyaa berkurang 50%,” cerita Yanti. Pada saat itu lah Yanti tahu bahwa ia harus mengalahkan traumanya. Dengan membeli 1 piring ketupat sayur ia bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain.
“Aku pikir aku harus berdamai dengan kenyataan bahwa aku telah mengecewakan ayahku. Tapi ketupat sayur tidak bersalah, jadi aku harus bisa menerima dan menikmatinya, serta terus berempati kepada para pedagang kecil,” kata Yanti.
“Pagi ini kamu bisa mengatasi perasaan itu dan menikmati ketupat sayur. Kamu hebat Yanti,” Retno berkomentar dengan lembut dan Tari serta merta memeluk Yanti dengan hangat.
Tari melepaskan pelukannya, mengamati sahabatnya dengan penuh rasa sayang. “Menurut aku, kita semua memiliki trauma, dan kita juga melalui proses panjang untuk berdamai. Kamu sudah melakukannya Yanti. So congrats,” kata Tari.
Ketiga sahabat bergegas membayar dan meninggalkan food court. Kayuhan sepeda terasa ringan, seringan hati mereka yang telah berbagi di pagi yang cerah ini.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.