DYAS, Namaku: Dyas Dewanto (#2)

Bagian Dua
Sammy
Kubuka pintu kamar Dyas. Bau aromaterapi menyebar seantero kamar. Beberapa pasang sepatu dan sandal Dyas masih berserakan di dekat lemari pakaian. Pemandangan yang sama sekali tak diinginkan bila Dyas di kamar. Dyas termasuk tipe apik dan pembersih. Semua barang-barang harus tertata rapi di tempat nya.
Kuperhatikan tiga buah lemari kaca yang berhadapan persis dengan tempat tidur Dyas, juga tempat tidurku. Gaun-gaun show, sepatu dan sandal serta tas tertata rapi. Mbok Marni, asisten rumah tangga Dyah yang punya wewenang penuh untuk membersihkan dan menata semua.
Satu-satu pintu lemari kutarik pelan. Kurang ajar! Semua terkunci. Kuncinya? Entah lah.
Aku beralih ke dua nakas yang ada di sebelah kanan dan kiri tempat tidur. Yes!! Dua-duanya tidak terkunci! Koran, tabloid dan majalah, semua kukeluarkan. Lipatan koran dan tabloid, halaman per halaman majalah, kubuka satu per satu. Dan…aku tak menemukan apa pun.
Uang rupiah, uang dollar, perhiasan, emas koin, atau apalah. Nihil. Tak ada satu pun. Kebangetan!
Bel pintu apartemen berbunyi. Aku melirik ke jam. Pukul 22.00. Aku segera bangkit dan menutup rapat kamar Dyas. Aku janjian dengan Pedro, make up artis Dyas. Sesuai arahanku dia datang. Harus datang malam hari.
Pedro memelukku erat bahkan matanya kulihat berkaca-kaca. Kita kemudian duduk berhadap-hadapan di sofa panjang di ruang tamu.
“Bagaimana bro kabar mbak Dyas?” tanyanya antusias. “Banyak banget wartawan yang DM gue, bahkan ada yang telepon langsung. Oya bro, maaf banget baru bisa datang sekarang. Shooting iklan empat hari, setelah itu gue tepar. Njir, badan gue langsung rontok setiap selesai shooting iklan,” Pedro nerocos.
“Masih seperti kemarin-kemarin. Belum ada respons. Masih seperti orang tidur aja,” jawabku datar.
“Punya foto mbak Dyas di rumah sakit nggak bro?”
Aku mendekatkan tubuhku ke Pedro. Kutunjukkan empat foto Dyas padanya.
“Ya Allah bro…Ya Allah bro… separah itu mbak Dyas?”
Aku mengangguk. “Besok mau menjenguk bareng gue? Jam 10.00 di lobi Rumah Sakit Hanara ya. NO wartawan.”
Pedro setuju. Percakapan selanjutnya, aku sedikit menceritakan garis besar peristiwa kecelakaan yang menimpaku dan Dyas.
Aku tidak tertarik bercerita detail tentang Dyas ke lelaki ini. Pedro ‘ikut ‘ Dyas sudah 8 tahun, berarti lebih lama 6 tahun daripada aku. Mungkin…sangat mungkin…semua rahasia Dyas ia pegang. Tapi khusus untuk peristiwa ini, aku tak mau berbagi ke siapa pun.
Diamku membuat Pedro jengah. Seperti biasa, aku lihat dia salah tingkah. Tak berapa lama Pedro pamit pulang. Great !
Oya aku sengaja mengantarnya ke lobi apartemen. Sekaligus memastikan apakah dia membawa wartawan atau adakah wartawan yang sengaja nongkrong di lobi apartemen untuk mencegat aku. Ternyata clear!
Balik ke kamar Dyas, aku masih berharap bisa menemukan barang berharga yang bisa kujual. Gawat. Uang di ATMku tinggal 10 juta rupiah. Kuat berapa lama untuk rokokku, bensin, makan dan dugem? Ahai…sejak Dyas dirawat, aku tak pernah lagi dugem. Berarti sudah seminggu. Hmm..kangen dengan suasananya.
Masih ada beberapa majalah, koran dan tabloid yang masih berserakan di depan nakas. Aku sedikit tahu mengapa Dyas masih menyimpan rapi semua barang ini. Dyas pernah bilang semua manusia punya cerita: masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dan artikel-artikel tentang dia adalah bagian dari cerita hidupnya.
Sebuah majalah pria dewasa agak tebal, menarik perhatianku. Ada lipatan kecil di halaman tengah majalah yang menandai artikel tentang Dyas. Foto Dyas memakai celana super pendek dan rok span mini, ada di majalah itu dengan berbagai gaya. Majalah itu terbit bulan November 8 tahun yang lalu, dan itu berarti Dyas masih berumur 25 tahun. Ranum.
Siapa pun pria akan terpesona dengan kemolekan tubuh Dyas. Dan aku harusnya adalah pria yang sangat beruntung memilikinya. Tubuh Dyas semampai, langsing, kakinya jengjang mulus dan….dadanya besar. Idaman semua pria kan?
Kukeluarkan rokok dari sakuku. Perlahan kunikmati harum kretek kesukaanku. Kubayangkan Dyas tengah memelukku dan menciumiku. Agar terpuaskan imajinasiku, kunikmati kesendirianku bersama foto-foto seksi Dyas di balkon apartemen.
-0-
Sudah dua tahun, apartemen ini adalah tempat tinggalku bersama Dyas. Sebelumnya Dyas tinggal sendiri di sebuah perumahan di daerah Jakarta Selatan. Pilihannya memutuskan hidup bersamaku atau tidak, aku mengajukan satu syarat yang tidak boleh ditawar: tinggal di apartemen bersamaku atau kita putus berhubungan.
Ha..ha…ha…alasanku waktu itu agar aku tidak ribet dengan pertanyaan-pertanyaan ketua RT perumahan di mana Dyas tinggal. “Kalau kita tinggal di apartemen dan status kita bukan pasangan suami istri, orang tidak ada peduli,” rajukku waktu itu.
Penolakan Dyas atas usulku berlangsung lama. Diskusi kami kadang diwarnai dengan pertengkaran-pertengkaran. Alot!
Strategi untuk pura-pura sabar harus kujalankan. Ya..ya..pura-pura sabar. Karena sejujurnya aku ingin teriak keras di telinganya, betapa bodohnya dia.
Rasa sabar harus kubangun susah payah mengingat umur perkenalanku dengan Dyas yang masih 2 bulan, waktu itu. Terlalu singkat bila aku kekeuh untuk menguasainya.
Yang paling menganggu pikiran Dyas adalah biaya sewa apartemen terlalu mahal. Kubilang padanya, anak kecil juga tahu kalau sewa apartemen kelas menengah atas, mahal. Tetap Dyas tak bergeming.
Seperti strategiku yang sudah-sudah, aku merayunya setiap kali selesai berhubungan badan dengannya. Kubuat dia terpuaskan lalu sambil keelus-elus rambutnya, dan dor… ‘kutembak’ dengan kalimat-kalimat manis tentang apartemen ini.
“Image kamu sebagai selebritis bakal naik sayang. Mahal? Ah..harga sewa apartemen dan biaya maintain per bulan, tercover oleh setengah feemu manggung ke luar kota,” rayuku waktu itu.
Mata Dyas langsung berbinar biasanya. Kena! Setiap kali bicara tentang karir, pencapaian hidup, Dyas memang selalu antusias. Good girl! My excellent strategy!
Oya, apartemen ini cukup startegis. Mau ke semua mall keren di Jakarta cuma beberapa menit. Yang lebih penting lagi, aku sudah sangat tahu seluk beluk apartemen ini. Beberapa security sudah kukenal baik. Tiga tahun yang lalu, aku pernah tinggal bersama seorang cewek keturunan Jepang di sini.
Pagi ini, aku absen olahraga di gym kecil di lantai 4 apartemen. Kepuasanku yang memuncak bersama foto-foto Dyas, di balkon apartemen semalam, membuatku letih dan tidur pulas semalam.
Lemari kaca yang semalam aku padangi, kali ini lebih kuamati lagi. Dari sudut satu ke sudut yang lain, sedetail mungkin aku teliti. Aku masih belum menemukan bagaimana cara membukanya tanpa cacat. Tentu agar orang lain, termasuk agar Mbok Marni tak curiga.
Lelah tak menemukan cara, akhirnya aku browsing artikel tentang hal ini. Mmm.. satu-satu cara adalah memanggil tukang kunci. Yup tukang kunci.
Melangkah ke dapur kecil di sudut apartemen, kuseduh satu saset kopi. Hanya ada roti, selai dan mentega di meja makan. Mbok Marni membeli roti baru kemarin.
Setiap hari Mbok Marni datang ke apartemen sekitar pukul 11.00 dan balik sekitar pukul 15.00. Itu bila Dyas ada. Karena Dyas masih di rumah sakit, kuminta mbok Marni pulang lebih awal. Toh tak ada pekerjaan yang dilakukan selain bersih-bersih.
Handphoneku bergetar tanda ada telepon masuk. Pak Rohadi, salah satu security di apartemen ini menelpon.
“Ya pak. Ada apa?”
“Lapor bos. Sekitar tiga hari yang lalu ada 4 orang dari televisi datang ke apartemen. Katanya, mau wawancara bu Dyas. Cari bos juga sie. Sesuai perintah, saya bilang: bos dan bu Dyas sedang ke Jawa.”
“Siap pak. Laporan diterima,” jawabku bercanda.
Selain pak Rohadi, ada pak Wirya yang kugaji sebagai mata-mata di apartemen ini. Semua tamu Dyas, tak kecuali, harus dilaporkan padaku. Kuberi pengertian kepada mereka, meskipun artis, Dyas juga manusia biasa yang perlu istirahat dan tidur cukup. Sebagai manajer Dyas, akulah yang mengatur semua itu, termasuk siapa-siapa yang ingin wawancara Dyas atau bertamu.
Tamu cowok hanya kuijinkan beberapa yang bisa menemui Dyas. Salah satunya adalah Pedro. Dua slop rokok merk kesukaan mereka adalah gaji per bulan Pak Rohadi dan Pak Wirya.
Ohya selain tugas mengawasi Dyas, jatah dua slop rokok akan bertambah bila mereka bisa memberi informasi akurat tentang siapa-siapa yang pernah menjemput Kessy, cewek manis kenalanku saat ngegym di apartemen beberapa waktu yang lalu. Ha..ha…perfect!
-0-
Dyas
Entah sudah hari ke berapa aku di rumah sakit ini. Hari ini hari apa, tanggal berapa, bulan apa, aku tidak tahu. Aku merasa terpisah dari dunia nyata meskipun aku masih ingat bahwa aku adalah aku.
Entah di hari ke berapa, aku merasakan hal yang sangat menakutkan. Belum pernah setakut itu selama hidup. Gelap. Semuanya gelap. Setitik cahaya pun tak bisa kulihat.
Aku mencoba menggerakkan sedikit tanganku atau bagian tubuhku yang lain. Tidak bisa. Sekuat tenaga aku mencoba berbicara, bibirku tak bisa dibuka. Aku tak bisa bicara. Mencoba berteriak, apalagi. Tak mampu. Mulutku terkunci rapat. Kuat.
Meninggal dunia. Ya..meninggal. Pikiranku tak jauh-jauh dari: aku sudah meninggal dunia. Tapi di saat-saat tertentu aku masih mendengar suara. Meskipun suara tersebut sangat samar dan kadang seperti diteriakkan dari tempat yang jauh. Suara itu sering memanggil namaku: Dyas.
Sampai suatu kali, wajah dan dadaku terasa ditetesi air es. Setetes…demi… setetes…. Rasa dingin menyebar ke seluruh otot-otot wajah dan dadaku. Sebaran dingin perlahan kurasakan.
Seorang gadis cantik, berbaju putih dan berbau wangi, pelan-pelan muncul bersamaan dengan cahaya yang muncul di tengah kegelapan. Tangannya yang lembut mengandeng tanganku, dan seketika ragaku seperti mengambang terbang menembus lorong waktu bersamanya.
Sekilas aku melihat tubuhku berbaring di sebuah ranjang rumah sakit, sendiri, sebelum akhirnya aku diajak melihat kembali aktivitasku beberapa hari sebelumnya.
Aku seperti melihat film di bioskop super besar yang pemerannya adalah aku dan Sammy
“Itu kamu sebelum kecelakaan,” katanya.
Adegan di film itu adalah aku sedang berada di dalam mobil. Speedometer mobil menunjukkan angka 140 km/jam di jalan tol daerah Tanjakan Pasir Embe, Purwakarta. Aku memegang kemudi, Sammy di sebelahku. Aku konsentrasi melihat ke jalan raya, sedang Sammy memainkan handphonenya.
“Jalan tol sepi, kamu ngebut,” bisik gadis itu ke telingaku.
Adegan selanjutnya tiba-tiba mobil yang kukendarai seperti menghindari sesuatu. Mobil melaju zik-zak tak kendali ke kanan ke kiri, dan braaakkkk…dueerrr…. menabrak pembatas jalan dengan keras. Sempat dua kali terpental, lalu mobil terhempas di tanah berumput di sisi kiri jalan.
“Kamu tahu kenapa mobilmu hilang kendali?” tanya gadis itu.
Aku menggeleng.
Wanita itu tersenyum. “Kamu melihat dua wanita sedang menyebrang dan kamu berusaha menghindari mereka. Dua wanita itu adalah aku dan ibuku”
Aku binggung. Di jalan tol, aku menghindari dua orang penyeberang jalan?
Adegan yang kulihat selanjutnya: body mobilku sudah tak berbentuk, semua kaca depan, belakang pecah. Berceceran di beberapa titik jalan. Kaca mobil samping kanan utuh. Kedua pintu mobil ringsek dan terbuka.
Aku dan Sammy terlihat masih duduk di bangku. Pingsan. Lengan kiri Sammy luka dan berdarah. Sedang aku, wajahku penuh darah segar. Darah segar mengucur dari kepalaku.
Tiba-tiba aku melihat seorang wanita berbaju putih terbang dari sisi kanan jalan ke arah mobil. Ya..wanita itu terbang. Melayang, terbang.
Tubuhku yang masih berada di dalam mobil, dibopong ke luar oleh gadis itu. Lalu diletakkan di rumput, tepat di sisi mobil. Selesai meletakkan tubuhku, wanita itu kembali melesat terbang menghampiri ibunya yang berdiri di sisi kanan jalan.
“Itu aku. Tubuhmu kuangkat dan kuletakkan di atas rumput agar kakimu tidak terhimpit badan mobil lebih lama,” katanya.
Ya..wanita itu… wanita itu…wanita itu adalah gadis yang membawaku melihat semua adegan ini.
Beberapa mobil mendekat ke arah mobilku yang sudah tak berbentuk. Dua pria turun dari mobil dan salah satunya mendekat ke arah tubuhku.
“Telepon informasi tol woi... Masih hidup itu.. Masih hidup…” teriak seorang lelaki berbaju biru.
“Kamu dan pacarmu mengalami kecelakaan tunggal di jalan tol. Untunglah kalian selamat,” gadis cantik itu menerangkan.
Beberapa menit kemudian suasana di dekat lokasi kecelakaan mulai ramai. Satu mobil polisi, beberapa mobil yang sengaja merapat memberi pertolongan, tiga patroli tol dan dua mobil ambulans.
Tak lama setelah tubuhku dan tubuh Sammy dimasukkan ke mobil ambulans, bunyi sirene meraung-raung dan melesat tancap gas.
“Kalian dibawa ke rumah sakit terdekat. Sehari kemudian, kamu dipindahkan ke rumah sakit ini,” terang gadis itu sambil menggandeng tanganku lagi.
Aku memandang sekilas wajahnya. Cantik. Pucat pasai, tapi. “Sudah. Yuk..kita pulang,” katanya.
Tubuhku kembali mengambang ringan, masuk ke lorong waktu. Gadis cantik itu seolah mengembalikan aku ke tempat semula. Lalu pelan-pelan cahaya yang menyelimuti tubuhnya meredup…meredup…dan aku kembali di kegelapan.
Sejak kejadian itu, gadis bercahaya berbaju putih itu tidak pernah menemuiku lagi. Padahal aku kuingin dia hadir lagi, mengajakku ‘jalan-jalan’. Lewat wanita itu aku mendapat informasi lewat puzzle-puzzle gambar.
Mmm.. kapan ya dia lagi?
“Pagi bu Dyas, mohon maaf terlambat sedikit. Tadi malam tidurnya bagaimana? Nyenyak?” suara Anik.
“Baik Nik,” jawabku dalam hati. Seperti biasa, suara Anik kadang terdengar, kadang tidak. Suara Anik pagi ini cukup ceria.
“Pagi ini hujan lho bu. Itu kenapa saya terlambat bla…bla…bla...” Anik bercerita.
Membayangkan wajah Anik seperti apa, aku cuma mereka-reka. Kalau boleh aku meminta pada Anik, ceritanya jangan itu-itu saja. Yang kutunggu adalah cerita tentang Sammy atau tentang Pedro. Suara Sammy beberapa kali aku dengar, selalu cuma: “apa kabar sayang?”
-0-
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.