Lelaki Bernama Tuhan

Lelaki Bernama Tuhan
Sumber imej: pixabay.com

 

Sialan! Gara-gara media sosial, keberadaanku diketahui banyak orang. Dan gara-gara itu pula hidupku menjadi kacau. Pangkal perkaranya adalah namaku. Ya, namaku. Sepele, bukan?

*

Namaku Tuhan. Aku tidak tahu persis mengapa Bapak menamaiku begitu. Jangankan bertanya, bicara dengannya pun aku tak pernah. Ia mati tepat saat aku dilahirkan. Bapak hanya berpesan kepada Emak agar aku dinamai Tuhan. Dan Emak memenuhi wasiat itu.

Itu saja.

Seperti anak-anak yang lain, ketika usiaku tujuh tahun emak menyekolahkanku di sekolah dasar. Semua berjalan normal-normal saja. Teman-teman memperlakukanku sewajarnya, tidak ada yang istimewa. Aku juga bermain gundu, belajar kelompok, dan merayakan purnama dengan bermain petak umpet.

Yang aneh justru guru-guruku. Mereka tidak pernah menyuruhku menghapus papan tulis atau melakukan pekerjaan apa pun. Mereka juga tidak pernah memanggil namaku setiap mengabsen murid-muridnya. Jika aku tidak masuk karena sakit, atau karena malas, guru-guruku tetap mencentang namaku di kolom kehadiran.

Suatu kali aku pernah memberanikan diri bertanya kepada salah satu guruku, mengapa ia tak pernah memanggil namaku setiap mengabsen. "Karena saya yakin Tuhan selalu ada," begitu jawabnya tanpa bisa kubantah.

Selepas SMP aku melanjutkan ke SMA. Tapi hanya sampai kelas satu. Seingatku, hanya jalan satu semester. Aku mangkir setelah teman-teman tak pernah mau memanggil namaku. Mereka bahkan mengucilkanku. Entah kenapa.

*

Umurku hampir tujuh belas ketika paman mengajarkanku membuat kusen hingga, boleh dibilang, aku menguasai pekerjaan itu dengan sangat baik.

Untuk membuat kusen aku selalu memulai dengan pemilihan kayu yang bagus. Aku lebih memilih kayu jati karena kuat, awet, dan indah. Kusen bikinanku juga bebas sambungan. Murni kayu utuh. Bagiku, sambungan hanya akan menghasilkan kusen yang tidak kuat dan rawan dimakan cuaca. Mudah memuai atau melengkung. Paman juga mengajariku struktur kayu. Itulah kenapa aku tidak menjadikan pangkal kayu sebagai bagian atas kusen supaya kusen bisa berdiri kokoh.

Namun aku yakin bahwa yang bikin kusenku bagus bukan pengetahuanku tentang kayu tetapi karena aku mengerjakannya dengan hati dan dengan hati-hati. Termasuk ketika aku harus mengampelasnya atau memilih tekstur kayu yang tepat agar hasilnya optimal ketika kupelitur.

Kusen bikinanku sudah terpasang di banyak rumah. Mulai dari rumah orang-orang biasa, pengusaha, hingga rumah-rumah pejabat. Menurut mereka, kusen terbaik adalah kusen bikinan Tuhan. Siapa yang tak bangga dipuji begitu?

*

Menginjak usia dua puluh lima, aku kawin dengan perempuan dari desa sebelah. Namanya Sri Pengasih, anak bungsu seorang petani. Aku biasa memanggilnya Asih. Aku sangat bersyukur memilikinya. Dia adalah perempuan yang tidak cuma cantik tetapi juga seorang wanita yang baik. Saking baiknya, ia sering dimanfaatkan orang lain. Aku sering menasihatinya soal itu. Tetapi ia selalu yakin bahwa kebaikan akan berbalas kebaikan. Mungkin tidak sekarang, bisa jadi di lain waktu atau bahkan di lain dunia, kilahnya.

Itulah Asih. Karena itulah aku sangat menyintainya.

Hasil kawinku dengan Asih adalah seorang bocah yang kuberi nama Anak. Sesungguhnya, dia adalah anak yang baik dan periang hingga kabar keberadaanku menyebar melalui media sosial. Dia berubah menjadi pemurung. Anak tak mau lagi ke sekolah karena malu digoda oleh teman-temannya. Pancen sialan media sosial itu!

Asih juga berubah menjadi orang yang tertutup. Bahkan sejak sering kedatangan wartawan, Asih lebih sering mengungsi ke rumah orang tuanya. Sebenarnya ia tak terlalu mempermasalahkan jika harus mengulang-ulang jawaban yang sama atas pertanyaan yang sama dari wartawan yang berbeda-beda. Namun Asih mulai jengah ketika para wartawan itu menanyakan hal-hal yang ia sendiri tidak paham apa pentingnya hal itu ditanyakan. Contohnya, Makanan apa yang disukai Tuhan? Apakah Tuhan rajin keramas? Apakah Tuhan rajin ibadah? Bagaimana perasaan Ibu menjadi istri Tuhan?

Pernah, para wartawan mencoba mengorek pendapat anakku. Namun, karena saking takutnya, Anak tidak menjawab. Dia malah berlari sambil berteriak, "Aku bukan anak Tuhaaaannn!"

Anak berlari kencang hingga menubrukku yang baru pulang dari tempat kerja. Aku memeluknya, menciumnya, dan menggendongnya pergi. Aku urung pulang ke rumah dengan harapan para wartawan itu segera bubar tanpa membawa kabar.

Namun dugaanku meleset. Keesokan harinya, koran-koran menuliskan berita tentangku dengan judul yang hampir sama: Tuhan Sangat Menyayangi Anaknya.

Hebat betul wartawan-wartawan itu!

Sejak kejadian itu rumahku jadi sering tak berpenghuni. Asih dan Anak menginap di rumah mertuaku, sementara aku lebih memilih tidur di tempatku bekerja membuat kusen. Sayangnya, hal itu tak lantas menghalangi para wartawan mencariku. Itulah mengapa aku meminta seorang teman untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada wartawan yang datang.

Benar saja, ada seorang wartawan yang mencariku. "Maaf, hari ini Tuhan sibuk," kata temanku, "Kalau mau, silakan tunggu di sini sampai Tuhan memanggilmu,"

Dan wartawan itu memilih pulang sebelum kupanggil.

Lagi-lagi, inilah hebatnya wartawan. Meskipun gagal mendapatkan kabar apa pun, dia tetap bisa menulis tentang aku. Bahkan kemudian menambahkan embel-embel hasil investigasi. Lihatlah, di halaman depan koran dimana dia bekerja, tulisan tentang aku berada persis di samping berita utama.

Koran itu memuat berita utama tentang pernyataan seorang menteri dalam menyikapi kondisi ekonomi yang terus memburuk. Judulnya, Kita Serahkan Semuanya Kepada Tuhan. Dan, tulisan tentangku berada persis di sampingnya dengan judul: Maaf, Hari Ini Tuhan Sibuk.

Celakanya, halaman koran itu kemudian difoto oleh entah siapa lalu disebarkan melalui media sosial hingga makin menyebarlah berita tentangku ke delapan penjuru mata angin!

Akibatnya bisa diduga: pembicaraan tentang aku semakin kencang. Foto dan KTP-ku betebaran di hampir semua media, mulai dari media sosial, media online, media cetak, hingga televisi. Di ruang-ruang pertemuan warga, pejabat, hingga ibu-ibu arisan, semua membicarakanku.

Tapi, tunggu dulu! Bisa jadi bukan aku yang mereka maksud tetapi TUHAN yang sesungguhnya. Jangan-jangan, namaku hanya membangkitkan kenangan mereka kepada TUHAN yang sempat mereka kenal sebelum kemudian dilupakan. Atau jangan-jangan, mereka hanya ingin bercanda dengan TUHAN. Namun, karena takut, mereka lantas memanfaatkan namaku untuk itu?

Ah, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya! Biarlah itu menjadi bagian para pemikir. Aku hanya Tuhan si tukang kusen. Tidak lain, tidak bukan.

Toh, mereka yang membicarakanku adalah manusia. Dan, manusia adalah mahluk yang berkecenderungan. Termasuk cenderung melupakan setelah mengenal. Lambat laun, setelah menemukan mainan atau persoalan baru, mereka juga akan melupakanku. Melupakan Tuhan.

Saat itu terjadi, aku akan bisa bekerja kembali dengan tenang. Bisa kembali berkumpul dengan Asih dan Anak. Dan, tentu, bisa kembali bercinta dengan istriku tanpa takut akan ada berita dengan judul: Tuhan Ternyata Bercinta!

***

Bintaro, 26 Agustus 2015 (Ditulis ulang 11 April 2020)
Cerpen ini terinspirasi oleh seorang pria Banyuwangi yang bernama Tuhan.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.