Tolong!
![Tolong!](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5f6c198872664.jpg)
Papaku tidak pernah menginginkan aku.
Mamaku kayaknya setengah-setengah tuh.
Aku sudah tahu dari dulu.
Saat aku masih kecil sekali tuh.
Saat itu aku sedang asik tidur.
Tiba tiba kudengar suara gaduh.
“Kenapa bisa hamil, Lin?” teriak suara laki laki.
“Kamu ingat kan waktu kita liburan ke meksiko tiga bulan lalu?
Aku lupa bawa pengaman. Terus kita keasikan di pantai.” kata Mamaku.
“Ya udah cepetan digugurin!” kata laki laki itu.
“Saya nggak mau digugurin!” kata Mama.
“Jangan bodoh!”
“Kamu harus bertanggung jawab!” kata Mama.
“Kamu masih kuliah Linda! Aku sudah punya istri! Nggak mungkin kita bisa punya bayi!” kata laki laki itu.
Sekarang aku tahu kalau dia adalah Papaku.
Tapi Papaku tidak menginginkan aku.
Aku tumbuh makin besar. Mamaku tampaknya belum mengikuti saran Papaku.
“Kenapa belum digugurin juga?” bentak Papa.
Mama menangis tersedu.
Aku bisa merasakan kesedihan Mamaku.
Aku juga sedih, tidak mau berpisah dengan Mama.
Kenapa kok Papaku begitu?
Padahal aku sudah sayang sama Mama dan Papa.
Aku ingat sebelum aku masuk ke perut Mamaku.
“Aku takut jadi bayi harus 9 bulan di kandungan. Setelah lahirpun minimal setahun aku tidak bisa apa apa. Tak berdaya!” kataku pada Malaikat penjagaku.
“Jangan takut, nanti di dunia kamu akan memiliki sepasang orangtua yang akan melindungi dan menjagamu!” katanya.
Aku lupa menanyakan,
Bagaimana bila Papaku tidak mau melindungi aku?
Bagaimana bila Mamaku tidak mampu melindungi aku?
Siapa yang akan melindungi aku?
Kemarin aku mendengar Papaku menelpon Klinik aborsi membuat janji.
Hari ini adalah hari yang ditentukan mereka.
Ibuku harus datang ke klinik aborsi.
Aku sangat takut. Tidak bisa tidur semalaman.
Kudengar suara langkah kaki mama berjalan di tengah kebisingan kota.
Mamaku masih tersedu.
“Tenang, sabar…Lin.” bisik suara Rini, kurasa dia teman Mama.
Aku sering mendengar suara itu menghibur Mama.
Aku tidak mendengar suara Papa. Mungkin dia tidak ikut hari ini.
“Kita udah sampai di Planned Parenthood!” kata Rini.
“Aku takut Rin!” kata Mama.
Aku juga sangat takut, Mama!
Jangan Ma, Tolong jangan gugurkan aku!
Aku mau hidup, aku mau lihat Mama. Liat Papa.
Tolong Ma, Tolong jangan bunuh aku. Aku takut Ma!
“Nona, sebelum anda masuk ke klinik aborsi, tolong baca dulu brosur ini!” tiba tiba ada suara pria tak dikenal.
“Brosur apa ini?” tanya Mama.
“Kami dari Lembaga Non profit yang menolong ibu yang ingin melahirkan bayinya!” kata pria itu.
“Kami akan memberi tunjangan. Ada tempat penampungan bagi ibu dan anak.
Bila memutuskan untuk diadopsi juga bisa kami bantu. Bila ibu ingin membesarkan anak ibu sendiri, kami akan membantu!” kata pria itu.
“Kami mohon anda mempertimbangkannya. Sebaiknya jangan aborsi, anak adalah anugrah Tuhan!” kata pria itu.
Suaranya terdengar lembut dan sangat membesarkan hatiku.
Semoga Mama mau mendengarkan orang ini dan bisa berubah pikiran. Mungkin orang asing ini adalah penyelamat aku.
“Apakah ibu Kristen?” tanyanya.
“Iya pak.” kata Mama.
“Boleh kami mendoakan ibu?”
“Boleh.”
Kudengar Pria itu mulai berdoa bersama beberapa orang lainnya.
Tiba tiba ada suara teriakan!
“Lucas! Pergi kau! Sudah berapa kali kubilang, jangan mengganggu di sini lagi! Mau masuk penjara lagi kamu? Aku akan telpon polisi sekarang juga!”
“Jangan berani berani menganggu pasien kami lagi!” teriak laki-laki galak itu.
“Ayo mari masuk bu, Jangan hiraukan mereka!” kata laki-laki galak itu.
Mamaku menunggu di ruang tunggu cukup lama.
Aku bisa merasakan kegelisahannya.
Aku juga sangat gelisah, ketakutan tepatnya.
Sebentar lagi mereka akan membunuhku.
Sakitkah rasanya? Pasti sakit!
Tapi lebih sakit lagi hatiku.
Kenapa Papa tidak sayang padaku?
Kenapa Mama lebih sayang pada Papa daripada aku?
Kenapa tidak ada yang menolongku?
Tiba tiba kudengar sirine polisi.
“Polisi sudah datang untuk menangkap Lucas!” kudengar percakapan pegawai klinik aborsi.
“Bandel banget sih, sudah pernah di penjara, masih belum kapok-kapok juga! Dasar mental perusuh!” kata pegawai lain.
“Dasar orang Kristen mabok agama! Tukang ikut campur urusan orang lain!”
“Rasain mereka di penjara!”
Kudengar tawa mereka.
Kenapa penolongku malah ditangkap polisi? Kenapa malah dipenjara?
Kenapa manusia aneh?
Bukannya pegawai klinik aborsi ini yang seharusnya dipenjara?
Kenapa tidak ada undang-undang yang melarang membunuh bayi?
“Linda!” Nama Mamaku sudah dipanggil suster.
Jantungku berdebar cepat.
Tolong, tolong! Jangan bunuh aku Mama!
Aku akan menyayangi Mama seumur hidupku!
Malaikat bilang nanti kalau aku sudah besar aku akan menjadi penemu obat covid.
Kalau aku mati sekarang, nanti tidak bisa kugapai cita-citaku.
Mama, tolong berubah pikiran!
Ada sebuah alat tajam masuk ke dalam gelembung cairan tempat tinggalku.
Alat itu berusaha melukai aku. Aku meronta-ronta berusaha menghindar.
Tapi alat itu segera mencengkeram betisku. Memelintirnya. Aku menjerit kesakitan.
Tapi tidak ada yang mendengar. Alat itu memotong betisku. Darah bercucuran.
Lalu betis kedua dipotong. Jeritanku semakin keras. Tapi tak ada yang mendengar.
Alat itu memotong tangan kiriku. Sakit sekali Ma. Kenapa Mama tega?
Lalu alat itu memotong tangan kananku. Aku terus menjerit walau kutahu itu jeritan sia-sia. Tak akan ada yang mendengar aku.
Kenapa Papa tega? Aku sayang Papa! Kenapa Papa tidak sayang aku?
Alat itu memelintir leherku.
Tolong! Sakit sekali! Aku kembali menjerit tiada henti.
Mama, aku sedih, aku tidak akan pernah melihat Mama.
Mama, maafkan aku Ma.
Karena aku, Mama bertengkar terus dengan Papa.
Karena aku, mama sedih terus ya?
Mama, aku sayang Mama.
Tolong bilangin Papa, aku juga sayang Papa.
Selamat tinggal Mama!
Catatan: Kisah ini terinpirasi dari kisah nyata seorang aktivis Pro Life yang masuk penjara.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.