Zeta et Peru
Hidup dan Mati hanya Sang Mahakuasa yang mengetahui, demikian pula cerita kisah kasih.

Bintang berkelip dengan jenaka, seakan tahu hati yang resah. Kidung yang dilantunkan Chrisye menemani malam Peru dan Zeta sepanjang perjalanan mereka menuju restoran tempat undangan pernikahan Tiana dan Lewa. Undangan hanya kawan-kawan dekat dan keluarga dekat saja, menurut Lewa.
Sekeluarnya dari mobil, “Hai, lihat!” Zeta tangannya menunjuk ke langit.. Peru menengadah.
“Ah, Orion,” sahut Peru sambil mengunci pintu mobil.
“Aku suka melihat bintang itu,” desah Zeta tanpa memalingkan pandangan.
Peru tersenyum.
“Pasti kau tak mau mendengar kisah tragisnya kan?”
“Hah? Tragis?”
“Konon, menurut mitologi Yunani. Orion dibunuh Dewi Artemis karena kesombongannya. Dan akhirnya ia menjadi penghuni langit, langit Selatan.”
Zeta membelalakkan matanya.
“Makanya, jangan jadi orang kemaruk dan sombong, Zet,” goda Peru sambil tertawa. “Ayo kita masuk,”digenggamnya tangan Zeta.
Tiana dan Lewa nampak begitu menawan, keduanya kelihatan sangat bahagia. Zeta tiba-tiba teringat kisah-kasih mereka berdua yang begitu bak jet-coaster. Sekarang terasa lega. Zeta menyelipkan doa bagi kedua mempelai dalam pandangannya. Ia menggamit tangan Peru berjalan mendekat ke kedua pengantin. Senang bertemu dengan kawan-kawan yang memang dikenal satu sama lain. Begitu terasa akrab. Dan sepulang dari sana, berkelebat kenangan berpuluh purnama lalu menghambur dalam ingatannya.
“Zeeeet, butek nih gue, masa sampe sekarang nggak punya cowok.” tiba-tiba saja pintu kamarnya terbuka. Tiana. Ia lipat koran berbahasa Inggris yang sedang dibacanya. Ia sudah tahu, seketika berhamburanlah semua keluh kesah dari mulut cantik itu. Zeta sambil lalu menimpali.
“Iiiih elo dengerin gue nggak sih, Ze?” Wajahnya manyun.
“Ya dengerin lah, ngapain coba gue, kalo nggak?”
“Hmmmhhh” dengusnya kesal. Direbutnya koran dari pangkuanku.
Dibaliknya lembar demi lembar, dan kemudian berseru “Huaaaaa, Ze… ini harus elo coba.”
Tiana menunjukkan satu iklan baris.
A decent French man looking for an Indonesian wife. Not necessarily French speaking. Kindly send your CV to Nana Marina fax.no. 02199005432.
“Ayooo, Ze, elo kan juga nggak punya pacar. Coba deh. Kan elo bisa bahasa Prancis.”
“Ampun deh elo, Ti. Nggak ah. Gila kali, jangan-jangan itu women trafficking lagi.”
“Ih, mana tau beneran. Sini gw yang kirim CV elo. Segera ia ke depan komputer.
Beberapa menit kemudian. “Eh, nomer fax rumah ini berapa?”
Zeta sebutkan nomor fax. Dan Tiana mengulangnya untuk melengkapi tulisannya. .
Lalu ia lari ke alat fax. Yah begitulah, Tiana memang “anak” Ibuku yang ke dua. Saking terlalu sering ia kemari. Ia memang bagai saudara perempuanku.
Beberapa hari kemudian. Tiana sedang ada di rumahku, seperti biasa. Hapeku berbunyi, nomer tak dikenal. “Eh, siapa tau itu Mbak Nana itu. Angkat dong, Ze”.
Dan dengan malas-malasan diterimanya. “Dia mau kirim fax.” Segera Tiana menghambur ke arah fax.
“Naaaah, ini. Baca dulu.” ia sodorkan kertas fax. Panjang juga, hampir 1 halaman A4.
“Hallo, I am Peru LEPONTE-de la SAUVERNE. I am 40 years old. And I fully understand you might be surprised why I am trying to find an Indonesian wife. And as Nana told you on the phone, yes, I am a good friend of her and also her family. I asked her to find my future wife in Indonesia. I work in an aircraft industry in South of France. As I am French, celibataire. You know that life would not be easy. I would like you to know that I am looking for a wife who understands herself and reciprocity; And do not think that as you are with a French man then you can buy luxury bags, perfumes, and any other expensive goods that you saw in publicite. Well, I have already burdened by the credits of car,house. I like cycling, traveling, easy listening jazz and seeing movie. Sorry, but that's the truth. So, please, it is your turn to send me--through Nana, of course--some of your stories. Looking forward to hearing from you. I plan to be in Jakarta next month. Hopefully, by that time, I will have met my future wife. Thank you. Peru.”
“So?” Tiana memandang wajah Zeta.
“Apa? Yaaa… udah, begitu… Sekarang elo bikin deh tuh cerita tentang gue, Ti.”
“Ih elo siiih. Ayo, sini gue yang ngetikin.” dengan semangat ia ketak ketik di komputer.
Demikianlah, cerita itu bergulr sampai beberapa bulan berikutnya. Mbak Nana itu menelepon lagi. Ia cerita bahwa Peru esok lusa sampai di sini. Ia memang akan bertemu beberapa calon. Kalau bisa ketemu di suatu mall. Mendengar itu,Tiana tertawa lebar dan loncat-loncat kegirangan. "Dandan, Zet... dandan yang cantik. Awas kalo nggak!"
Hari itu, Zeta ingat betul. Mama dan Tiana sibuk memantaskannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Zeta ingin menolak semuanya, namun apa daya. Tetapi ia meminta dengan sangat bahwa ia tetap ingin tampak natural saja, tidak mengada-ada. Sejatinya ia saja. Mama dan Tiana akhirnya mengalah hanya memantaskan rambut dan pulasan di wajah. Tiana dengan senang hati mengantar Zeta ke tempat pertemuan.”Ze, gue nanti nunggu aja. Kalau elo ada apa-apa kan, gue deket.” Zeta mengangguk.
Peru mencari perempuan yang berjanji dengannya sore ini atau tepatnya ia yang menjanjikannya bertemu sore ini. Langit cerah, membawa dirinya terasa ringan. Mana perempuan XL itu, blus biru langit, rambut berombak sebahu. Ia putari ruang toko buku di mall terkenal seantero Jakarta itu. Ia seketika bertabrakan dengan tatapan gadis berblus biru langit di jejeran rak buku self-empowerment. Hatinya berdebar.
“Bonjour, Zeta?” tegurnya. Zeta mengangguk. Menyambut tangan terulur. “Peru”.
“Bonjour, Peru.” Pandangnya beradu, sekilas ia mengelak.
“Kita cari tempat mengobrol? Saya lihat ada pojok tenang di kafe dekat sini.” sambut Zeta.
“D’accord, ayo kita ke sana.”
“Mau pesan apa?” tanya Peru sambil menyodorkan menu yang diberikan pelayan.
“Saya, pesan teh Earl Grey saja. Tanpa gula.”
Dan ia menyelesaikan pesanan.
“Dimana belajar Bahasa Prancis? Peru membuka percakapan.
“Ehm… dari SMA, lalu lanjut ke Universitas.”
“Pernah ke Prancis?” Peru mengulurkan cangkir teh dari Pelayan yang datang.
“Pernah beberapa kali, tapi tidak lama,hanya turis” sahut Zeta sambil menerima cangkir tehnya, “Merci”
Percakapan berlanjut dengan banyak cerita dari keduanya.
"Suatu hari kamu harus baca Men are from Mars, Women are from Venus,Zeta."
Zeta tersenyum dan mengangguk. Dan mereka saling berpamitan.
Pertemuan itu berjalan seperti yang Peru inginkan. Tak ia sangka bahwa perempuan bernama Zeta ini membuat hatiya tertaut. Cerita saling bersambut dan rasanya bagai dua kawan lama tak bertemu.
“Bagaimana pertemuannya, Peru?” Nana menyambutnya di pintu. Andre yang sedang duduk di ruang kerjanya pun menghambur ke pintu. “Elle est belle, Peru?”
Peru tersenyum, mengacungkan jempolnya. “Saya izin istirahat, ya?”
Nana dan Andre berpandangan. Sebelum Peru lenyap dari balik dinding, “Ndre, saya harus tanya kamu tentang sesuatu.”
“Ya, besok kita ngobrol, Bonne nuit.”.
Sejak pertemuan itu, Mama dan Papa Zeta mengutarakan kekhawatiran. “Zeta, sudah kamu pikirkan masak-masak tentang hubungan kamu dengan Peru,Nak?” Peru semakin intens berhubungan selama ia di Jakarta.
“Eta sudah memberi pengertian pada Peru, Papa… Dia minta waktu untuk menimbang. Mohon doanya, Pa, Ma. Eta tidak akan mengiyakan sampai ia bilang ya dan melamar resmi, Pa.” Zeta mencium tangan keduanya. “Papa paham umurmu juga tidak muda lagi tetapi jangan gegabah, Nak. Permasalahan satu itu, tak bisa kita main-main. Mohon kamu juga memahami sikap Papa dan Mama ya, Nak. Tanggung jawab kamu sampai ke langit, Nak.” Zeta mengangguk dan kembali mencium tangan keduanya. Dan hatinya yang sedang kasmaranpun terasa terbelah rasanya.
Waktu berlalu, tahun berganti, telah genap satu tahun hubungan jarak jauh Zeta dan Peru. Dan pada akhir tahun tersebut, Peru datang melamarnya. Ia bersedia memeluk iman yang dipercayai Zeta sekeluarga besar dan bagi keluarga Zeta melepas Zeta adalah mutlak. Peru sangat memahami posisi Zeta dalam keluarganya, anak perempuan satu-satunya.
Hari bahagia tiba.
“Papa siap, Pa?” Mama mengetuk pintu kamar mandi, mencoba membuka pintu.
“Ya, Ma, sebentar.”Papa keluar dari kamar mandi.
“Kok pucat wajah Papa. Terasa apa?” dipegangnya wajah Papa. Papa memegang tangan Mama.
“Tidak apa. Obat Papa tolong ambilkan. Papa baring sebentar.”
Mama segera mengambil obat.
Sekembali Mama sampai di kamar. Hening.
“Tuhan,” tangisnya membahana ke seluruh penjuru rumah.
Zeta yang sedang didandani menghambur ke kamar Mama dan Papa.
Mama duduk di samping tubuh kaku Papa.
Tiana memeluk Zeta. Dan segera melepasnya dan mengabarkan kepada pihak Peru peristiwa ini. Dokter datang memeriksa dan menyatakan jam kematian.
Perhelatan yang direncanakan berubah menjadi persiapan untuk pemakaman, namun Mama Zeta meminta ijab kabul pernikahan Zeta dan Peru tetap dilangsungkan. Semua disiapkan semampunya yang menjadi wajib diselenggarakan. Ketika selesai semua ijab kabul, persiapan untuk pemakaman Papa dilanjutkan. Hari itu, hari bahagia dan kesedihan sekaligus. Zeta dan Peru telah menjadi suami istri. Dan pada saat yang sama, Zeta kehilangan ayahanda tercinta.
Peru mendampingi Zeta sampai penguburan selesai dan ia bersabar belajar setiap tahapan dalam hari-hari berkabung. Zeta merasakan cinta yang disembahkan Peru menjadi penghiburan terindah yang diberikan Tuhan baginya dan keluarga besar.
“Hei, dari tadi senyum sendiri, eh ada apa ini ada air mata?” Peru menatap mata, menghapus air mata, memeluk erat Zeta, ia tersentak dari kenangannya.
Ia membalas pelukan Peru erat sekali.
Di dalam hatinya, ia berdoa, semoga Tuhan tetap menjaga tali kasih setia ini semasa Tuhan mengizinkannya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.