SAFARI DOKTER SPESIALIS

SAFARI DOKTER SPESIALIS

Suhu badan bertahan pada pada titik 37,5. Tidak panas tetapi tidak bisa dibilang normal. Ah, ini hanya masuk angin biasa. Begitu aku sering menghibur diri. Musim berganti musim, dari rambutan ke bengkoang, tapi suhu badan tidak pula kunjung merosot ke angka 36.

Tak terbilang berapa kali aku kerokan, lazimnya obat mujarab penghalau masuk angin. Sampe lecet Jeng...

Hingga pada sebuah kesadaran, ada benjolan kecil, sangat kecil di persendian tulang selangka. Mungkin ini biang derita masuk anginku. Karena tak kunjung membaik, aku berobat ke dokter.

Dan, mulailah safari dokter spesialis.

Dokter spesialis pertama

Sudah pasti, aku pilih dokter internis. Kusisir rona wajah dokter yang terpajang di dekat meja pendaftaran. Kupilih raut yang agak berumur. Yaaa… kurang lebih di atas 50-an lah. Lho kok ada kriteria umur? Jurus ngasalku: dokter yang usianya di atas 50 tahun pasti sudah menangani banyak pasien, punya pengalaman dan jam praktik yang lebih dibandingkan dengan dokter yang baru aja melempar toganya ke atas saat lulusan. Sungguh tips dan alur pikir yang keampuhannya tidak terbukti tokcer.

“Apa penyakit saya, Dok?”

“Nanti kita observasi dulu. Ada benjolan di rahang bawah. Kemungkinan infeksi.”

“Tidak perlu rontgen, Dok”? Tipe pasien yang sok tahu.

“Belum perlu, Bu. Ibu habiskan dulu saja obat yang saya resepkan.”

Ada secercah titik terang. Ini bukan kanker. Di keluargaku ada beberapa survivor kanker, termasuk ibuku.

Tak kunjung sembuh. Suhu tetap di atas 37 dan di bawah 38. Muncul keluhan baru. Tanganku tidak bisa digerakkan. Tanganku lumpuh!

Dokter spesialis kedua

Masih dokter yang sama, kunjungan kedua.

“Dok, dok, kok saya tidak ada perubahan. Tangan saya semakin susah digerakkan.”

“Ibu, saya rujuk untuk rontgen dan cek darah, ya.”

“Baik, Dok.”

Saya ikuti semua saran dokter. Cek darah dan rontgen pertama.

“Berdasarkan hasil laboratorium, ada infeksi di tubuh Ibu.”

Aduch, dok, tanpa cek darah pun saya sudah tahu ada infeksi (dalam hati). Mulai spaneng.

“Paru-paru Ibu bersih dan tidak ada cairan”.

Keluar dari ruang praktik, ada lega, meskipun sesaat. Seluruh obat saya habiskan. Tidak pernah terlewatkan satu butir pun. Tetapi, keadaan semakin memburuk. Lengan kiri tidak bisa digerakkan meskipun sudah berusaha mengangkatnya satu inchi. Sia-sia.

Dokter speksialis ketiga

Masih di rumah sakit yang sama, tetapi kali ini dokter internis yang berbeda. Triangulasi sumber, cek dan ricek, third opinion.

“Saya sakit apa, Dok?”

Ada infeksi, Bu”.

Ya ampun, dari dulu juga saya tahu ini infeksi. Obat habis, tak kunjung sembuh. Kondisi tubuh semakin memburuk. Pantang menyerah. Saya menemui dokter berikutnya.

Dokter spesialis keempat

Dokter paru. Mungkin ada infeksi di paru-paruku. Itu dugaanku. Tetapi bayangan kanker dan tumor tetap menghantui dan bergelayut di benakku.

“Ibu saya sarankan untuk dirontgen.”

Sendiko dawuh, Dok.

“Paru-paru Ibu bersih. Sangat bersih. Ibu habiskan obat ini, sambil kita observasi kemajuannya.”

Semakin parah, aku tidak bisa menggerakkan separuh badanku. Untuk bangun dari sandaran kursi, aku tak punya tenaga. Aku harus menggelindingkan badan jika harus bangun dari tempat tidur dan juga saat hendak bangkit setelah bersandar. Aku pun tidak bisa mengenakan pakaian sendiri. Lumpuh dan tidak berdaya. Sedikit demi sedikit benjolan membesar dan berat badan menurun. Lagi-lagi, ini pasti kanker, dugaanku.

Dokter spesialis kelima

Bingung. Dokter spesialis apa lagi yang harus kukunjungi. Di tengah safari dokter, aku tidak mau menggunakan jasa alternatif. Nalarku mengatakan, sakit adalah ranahnya dokter bukan orang pinter. Meskipun dokter juga pasti orang pinter sich.

Pilihan kelima ini jatuh pada dokter saraf. Sederhana saja, mungkin ada saraf-sarafku yang rusak sehingga aku lumpuh. Rontgen lagi, ambil darah lagi. Dari dokter spesialis saraf inilah, aku mengkonsumsi obat yang hanya membuatku tidur, bangun, tidur, bangun, tidur, bangun. Begitu terus. Ngantuke poll. Menyembuhkan? Tidak! Mengantuk? Niscaya!

Di mana-mana aku bisa tidur. Di meja, di kursi tamu, di ruang tunggu, di mana saja, hanya tidur dan tidur.

Dokter spesilis keenam

Dokter tulang. Inilah pilihan dokter yang menurutku paling konyol. Tak ada tulang yang patah.

“Ibu, keadaan tulang Ibu baik-baik saja.”

“Iya, Dok, benar, Dok”.

Meskipun demikian, dokter tetap meresepkan obat. Mungkin kandungannya hanya sekadar vitamin. Demi untuk sembuh, apa saja yang dokter kasi, aku habiskan. Setelah berobat ke dokter spesialis keenam inilah, aku nihil pengharapan. Aku akan mati, sebentar lagi.

------------------------

Semakin lumpuh, semakin sakit, semakin terpuruk dan berat badan pun, lagi-lagi, semakin turun. Pasrah, enam dokter spesilis tidak bisa menegakkan diagnosis penyakit ini. Aku harus siap dipanggil Tuhan.

Di tengah kesakitan dan kepasrahan itu, aku teringat BPJS, yang kala itu bernama Jamsostek. Kenapa aku tidak menggunakan BPJS ya? Siap antre, siap lama.

Dokternya masih muda, kayaknya baru lulus dech. Dokter memeriksa benjolanku. Sat set sat set, cepat, ngga pakai lama.

“Ibu saya rujuk ke dokter bedah.”

“Haahhhh, dokter bedah?”

Kali ini, saya tidak banyak bertanya. Dokter bedah, dokter yang tidak terjangkau dalam telusur safari ini. Aku sudah lelah bersafari.

“Saya curiga, Ibu menderita TB”.

“Apa, Dok? Saya menderita TB?”

“Ibu segera ke dokter bedah ya. Saya akan rujuk Ibu ke rumah sakit X.”

Rumah sakit kelas B untuk pasien Jamsostek.

Dokter spesialis ketujuh

Dokter bedah umum.

“Hasil laboratorium menunjukkan Ibu menderita TB persendian atau perkejuan.”

“Bukan kanker, Dok?”

“Bukanlah, Bu, kenapa berpikir seperti itu?”

“Saya bisa sembuh kan, Dok?”

“Ada bakteri Mycobacterium tuberculosis pada persendian Ibu dan bakteri itu bisa dijinakkan dengan operasi dan obat. Dua hari lagi Ibu operasi ya.”

Saya dengan siap dan siaga 45 menuju ruang operasi. Ngga pernah saya sesemangat ini masuk ke kamar operasi. Demi untuk kesembuhan. Tak ada rasa takut mendengar kata O P E R A S I.

Bius total.Operasi berjalan lancar.

Dokter mengunjungi saya di ruang rawat inap.

“Selamat ya Bu, operasi berjalan lancar.”

Saya berasa baru lahiran dikasi selamat begini.

“Ibu, hari ini saya akan mengambil kasa yang ada pada sayatan operasi. Ini akan sakit Bu.”

“Ngga bisa dibius Dok, kalau memang sakit.”

“Tidak Bu, prosedurnya memang tidak perlu dibius.”

Daannnn, di luar dugaan. Sakitnya sangat luar biasa.

“Ibu boleh teriak.”

Saya bukan hanya berteriak, tetapi menangis. Sakitnya berkali kali kali lipat saat melahirkan.

“Luka operasi ini memang tidak boleh dijahit Bu.”

Setelah kasa diambil, aku baru bisa bernafas.

Dua hari berikutnya, sudah boleh pulang. Obat harus dikonsumsi selama satu tahun. Tak boleh putus, tak boleh lupa. Jika lupa satu butir, balik dari titik awal. Perlahan, kelumpuhan itu hilang. Lengan sudah bisa digerakkan sesuka hati. Olahraga semakin rajin. Dan, aku dinyatakan bebas TB!

Aku pernah sebagai penyintas TB. Dan kini aku telah beroleh kesembuhan. Total.

Terima kasih dokter muda Jamsostek.

Terima kasih dokter spesialis bedahku.

Terima kasih juga dokter-dokterku yang dulu.

Bagi siapa saja yang sedang mengkonsumsi obat TB, jangan pernah lelah mengkonsumsinya. Obat adalah sahabat kita yang tidak boleh dilupakan meskipun sesaat.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.