Cie Jadi Janda

Cie Jadi Janda
Image by pixabay.com

Aku bukan perempuan baik-baik, namun masih laik untuk kau sebut perempuan terbaik.

Ribuan tajwid yang sudah kupelajari dan kuresapi, rasanya tak mampu mengubah penilaian seorang Hario yang kelak membuangku dalam sebuah lorong gulita sebelum Tuhan menyimpan nasib dan ujung takdir yang tak kuketahui menuju kemana.

 

Harapanku tipis, setipis cracker di hadapanku yang tiba-tiba ada di meja kerjaku.

Pikiranku saat ini hanya satu, jika memang takdir Tuhan untukku dan Hario sampai di sini, bagian yang mana yang perlu aku debat?.

 

Dalam logika sederhanaku yang terbasuh air wudhu, segala perjuangan yang aku lakukan telah tertutup oleh kesalahan-kesalahan tipis yang rupanya telanjur menebal tanpa kusadari.

 

“Dru, kamu mau pasrah aja diperlakukan tidak adil oleh Hario?”. Tiba-tiba Meta muncul di sampingku membawa setoples Putri Salju sisa lebaran yang gulanya sudah mulai nempel di samping toples kaca yang dibawa Meta.

“Met, pertanyaanmu adalah pertanyaan yang sama saat aku merasa Tuhan tak adil untukku. Tapi tahukah kamu Met, seseorang pernah sampaikan padaku untuk selalu berprasangka buruk pada Tuhan.”

“Ealah Dru, kalau aku jadi kamu, udah aku gampar tuh Hario.”
“Apa alasanmu gampar Hario?”

“Druuuuuu, kamu itu perempuan hebat. Satu-satunya laki-laki bodoh yang menyebut kamu tak punya manfaat ya cuma dia.”

 

Aku ambilkan segelas air putih untuk Meta, emosi dia meledak hingga bubuk Putri Salju terbang dari mulutnya dan mendarat dengan sempurna pada rambutku yang kubiarkan berantakan.

 

“Ih Dru, kamu yang ribut kok aku yang sewot sih?”
“Siapa suruh sewot?”

 

Ini jalan Tuhan, mau tidak mau aku harus lepaskan keinginanku dari kecil bahwa menikah hanya satu kali. Bahwa dalam pernikahan selalu ada ketidakcocokkan. Bahwa tidak ada pasangan yang sempurna. Bahwa yang memisahkan hanyalah kematian.

 

Segala firman aku telan.

Segala petuah tak aku sanggah.

Namun apa boleh buat, perjuanganku menjadi sia-sia saat seseorang menancapkan kata-kata yang jauh dari kata bijak, telanjur mengisi telinga sepanjang hari.

 

Bagaimanapun, aku adalah perempuan yang terlambat menyadari bahwa Tuhan adalah satu-satunya alasan yang harus kupertahankan saat akan memulai sebuah perjalanan.

 

Maaf Tuhan, aku lupa meminta ijin pada-Mu saat Hario melamarku.

Euphoria dan imajinasi menjadi ratu telanjur menari di pelupuk mata kala itu.

 

 

Perutku sudah mulai keroncongan, Bram telah menunggu sedari tadi.

File yang harus kukirim tiba-tiba hilang. Kalau aku batalkan janjiku, Bram pasti kecewa. Kalau aku cari file dulu, artinya aku harus biarkan laki-laki itu menghabiskan Marlboro merahnya.

Kuintip Bram dari balik mejaku. Senyumnya mampu hilangkan rasa kecewaku yang sudah menumpuk.

 

“Bram, aku cari file dulu. Tunggu lima menit boleh?”

“Hmm, file apa sih Dru. Jalanan macet lo. Kasihan Tom terlalu lama tunggu kita.”

“Lagi Bram, ngapain sih aku dikenalin ke temanmu itu?”
“Dru, aku hanya ingin buktikan padamu bahwa tidak semua laki-laki seperti Hario. Bahwa masih banyak laki-laki yang punya hati dan menilai serta menghargai kamu dengan baik.”
“Dia tidak kenal aku Bram. Darimana dia tarik kesimpulan mengenai aku?”
“Dari aku lah. Udah ah cepet Dru!”

“Bram….?”
“Ya…”
“Aku kan belum jadi janda, tidak baik ah dikenal-kenalkan begitu.”
“Hahahhahah, Dru aku tak bermaksud begitu. Kebetulan saja dia tertarik sama ceritaku tentang kamu. Tidak salah kan?”

 

Tom adalah sahabat Bram sejak mereka kuliah di ITB lima tahun lalu. Pernikahan Tom yang tidak terlalu baik menjadi cerita menarik untuk aku dengarkan sepanjang perjalanan Bersama Bram.

 

“Tom kenapa cerai?. Katamu Tom baik. Kalau baik kok bisa bercerai Bram?”
“Akhirnya kamu tanya. Tom baik. Istrinya juga baik. “

“Lantas, kenapa mereka pisah?”
“Ternyata tak semua perpisahan dilatarbelakangi oleh masalah seperti kamu Dru.

 

Pernikahan Tom dan Nadya hampir tak pernah diwarnai keributan yang berarti. Satu sama lain saling menghargai perbedaan mereka. Saat Tom kesal, sebisa mungkin Nadya pahami. Begitu juga sebaliknya. Tapi tahukah kamu Dru, karena tidak pernah ada adu argument di antara mereka, justru itulah penyakit pernikahan mereka.

 

“Kok aneh sih Bram. Orang saling menghargai malah jadi penyakit.”
“Iya karena mereka pada akhirnya tidak mengenal kepribadian masing-masing, tidak mengenal ego satu sama lain dan tidak mengenal kemauan masing-masing pihak.”

 

Kuhabiskan segelas Americano yang dibelikan Bram. Semua kata-kata Bram aku cerna dengan baik.

Kalau Tom saja bisa pisah dengan Nadya karena tidak pernah ribut. Lalu aku dan Hario yang sama-sama keras, saling berteriak saat ribut juga bisa pisah. Lantas pernikahan yang mana yang harus aku teladani?

 

Bram parkirkan C200 dengan tergesa-gesa.

 

“Awas Bram lecet nanti.”
“Jangan dong, nabungnya lama nih Dru. Yuk, kita temui Tom.”

 

Kupesan  teh poci dan seporsi mie nyemek sedikit pedas.

 

“Kok pesannya sedikit pedas?”

“Memang kenapa?”
“Lagi ga nafsu makan pedas ya?. “

“Bukan buat aku, buat kamu.”
“Hah, buat aku Dru?”

 

Sudah tiga puluh menit kami di sini. Tom tak kunjung datang. Bram sudah habiskan mie nyemek yang kupesan tadi dan roti bakar keju yang ternyata dia pesan untukku tapi ujungnya Bram yang habiskan.

 

“Bram, aku paling tidak suka sama orang yang tidak tepati janji.”
“Oya?”

“Dih kamu itu. Setelah habis miemu kita pulang ya!”
“Mie mu?”

“Duh Bram ah. Jangan rusak moodku ah.”
“Loh memang mood mu yang mana yang aku rusak?. Bertemu Tom?. Katanya tidak mau, tapi kok ditunggu.”
“Ya bukan begitu Bram. Kalau memang dia tidak bisa datang, kita tidak perlu repot cari makan siang sejauh ini.”

“Sekali-sekali boleh lah Dru.”

 

Aku perhatikan Bram. Matanya yang seksi bikin aku bergumam sendiri, aku kagum dengan Bram. Tapi aku tahu diri, bagaimanapun aku masih istri orang yang tidak boleh sembarangan menaruh hati pada laki-laki lain.

 

“Ya ndapapa lah Dru, kamu perhatikan aku begitu. Kalau kagum bilang  saja!”
“Yeeee Bram, suka GR kamu. Tuh ada cabe di gigimu.”
“Memang iya?”. Bram segera mencari kaca untuk bersihkan giginya.

 

Hahahhahah, selamet selameeeet. Berhasil mengalihkan perhatian Bram.

Jauh di lubuk hatiku aku suka sama Bram. Dia selalu bisa buatku menyadari bahwa keagungan Tuhan tak boleh dipertanyakan. Bahwa kehendak Tuhan selalu yang terbaik dan bahwa takdir Tuhan tak adaa seorangpun yang tahu. Termasuk kisahku dengan Hario.

 

“Dru…”
“Ya Bram.”
“Cieeee jadi janda. Hahahahahah.”
“Eh kurang ajar kamu ya Bram.”
“Becanda Dru, biar kamu santai sedikit ah.”
“Tapi yang lain jadi melihat ke arah kita.”

 

Tak aku pungkiri, saat Hario memberikan talaknya, ada lega yang kuterima. Setidaknya jawaban dari Tuhan sudah dapat aku terima dengan baik. Satu yang belum aku siapkan. Mentalku berlabel janda.

 

“Dru…”
“Apalagi Bram?.Bilang cie janda lagi aku gampar kamu.”
“Dih GR. Tom tidak bisa datang.”

“Tuh kan apa aku bilang. Payah kamu punya teman.”

“Kamu tunggu Tom ya?.”
“Engga Bram, kan kamu yang ajak aku. Aku sih ga nafsu-nafsu amat.”
“Oke good. Yuk pulang.”

 

Aku pulang dengan hampa, tidak aku pungkiri bahwa aku penasaran dengan sosok Tom. Bukan karena keganjenan mau bertemu dengan pengganti Hario, hanya sekadar ingin bertukar cerita. Lagipula ada Bram di antara kami, jadi bisa dipastikan kami tidak akan macam-macam.

 

“Dru…”

“Kamu itu Dra Dru Dra Dru. Apa sih?”
“Kamu itu mbok ya agak manis dikit kalo jawab. Cie emosi ga ketemu Tom.”

 

Aku cemberut, Bram fokus pada jalanan. Kalau aku perhatikan Bram ini manis. Pertemananan kami yang berlum terlalu lama sedikit banyak telah memberikan kesan yang mendalam. Bram sangat menghargai perempuan. Walau kadang ada cerita yang disembunyikan, namun aku akui bahwa Bram adalah sosok yang aku kagumi.

Seandainya ada laki-laki seperti Bram untukku, akan kupinta dia menungguku lalu temani aku di sisa hidupku.

 

“Oke aku siap.”
“Siap apa sih Bram?. Ga ada hujan ga ada angin.”
“Ada Dru, tuh coba kamu perhatikan, rambut mbak di depan kita gera-gerak pertanda ada angin, lalu air mata di sudut matamu pertanda telah turun hujan.”

“Bram…”
“Iya….. Sini aku hapus air matamu. Senyum ah!”

 

Ah Bram ini selalu bisa menenangkan aku.

“Bram..”
“Apa sih Bram Brum Bram Brum, memang aku mobil.”

“Tom itu tidak ada ya?”

“Hahahahaha….kok tahu?”

“Kok kamu bohongi aku?”

“Aku tidak maksud bohongi kamu kok. Bramantyo Tommy Hartanto. Itu namaku bukan?”

“Maksudmu?”
“Dari tadi kamu sama Tom, makan sama Tom, cerita sama Tom. Dan sekarang Tom akan memintamu. Maukah kamu jadi istrinya?”

 

Terkaget dengan yan disampaikan Bram.

“Bram….aku kan belum…”
“Ssssst, aku paham sayang. Tak akan aku rusak rencana Tuhan. Aku hanya mau dengar dari bibirmu, maukah kamu kelak menemaniku memperbaiki kehidupan kita Bersama?. Aku pun tak tahu kapan, tapi aku telanjur jatuh cinta padamu. Setidaknya keputusanmu dengan Hario adalah salah satu jawaban dari Tuhan.”
“Kamu….mendoakan aku?”
“Dih GR, Aku tidak doakan kamu. Aku hanya doakan temanku ini diberi kebahagian, agar gulita segera berganti cahaya. Agar kilaunya tak meredup. Agar dia menyadari bahwa dia adalah perempuan hebat yang memberiku semangat baru”

“Teman?”
“Iya, teman. Teman hidupku.”

 

Mukaku memerah, Bram telah membuatku tidak karuan.

“Cieeeee jadi janda…”
“Braaaaaaaaaaam…”

 

 

#Bandung, 7 Juli

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.