Pesan Dari Angin

"Senter, selimut, sleeping bag, lotion anti nyamuk, peralatan mandi, handuk kecil, bedak gatal, sabun hijau, sarung tangan, apa lagi, ya?"
Seorang gadis sibuk membaca daftar yang tertulis di buku saku kecil yang sedang dibawanya.
"Sarung, gunting kecil, perban, betadine? Alat P3K semuanya udah kamu bawa?" sahut lelaki disampingnya dengan wajah datar.
"Itu sih, udah beres masuk dalam kotak, " sahutnya ringan tanpa menoleh pada lawan bicaranya. "Masker jangan lupa," tambahnya mengingatkan diri sendiri.
"Emang kamu sempat pakai masker bengkuang?" lelaki di sebelahnya menggoda sambil tersenyum jenaka.
"Gila aja, kamu pikir aku mau liburan? Bisa tidur nyenyak aja sudah untung, maksudku masker kain," balas gadis itu sambil tertawa.
"Bening ... emang harus, ya, kamu pergi?" ucap lelaki itu tiba-tiba dengan suara lirih.
"Yudha, kamu tahu, kan, ini penting banget buat aku? Jarang banget Profesor Himawan mau ngajak asisten yang levelnya remah-remah kaya aku buat penelitian. Jadi ini kesempatan buat aku," sahutnya antusias.
"Iya, sih, bener juga. Tapi, jaga diri, ya. Jangan sampai kecapean trus kamu drop," sahut lelaki bernama Yudha itu dengan suara yang khas.
"Siap, Komandan!" Bening membalas dengan bergaya seperti prajurit dengan tangan ditaruh di samping pelipis.
Mereka berdua menghabisakan sisa sore sambil makan bakso tulang iga di samping kampus dengan cerita yang tak akan pernah habis. Selalu ada pembahasan yang seru, bahkan saling menggoda adalah cara mereka menghibur diri dari status jomblo yang mereka sandang berdua.
Persahabatan yang aneh selalu saling mengisi dan berbagi, tetapi seperti ada jarak yang tak ingin mereka tembus melebihi dari sahabat. Rasa nyaman yang tak ingin mereka rusak dengan bumbu percintaan, dan ini terbukti manjur hingga mereka bisa berbagi segala hal hingga saat ini.
Keduanya sudah akrab sejak kuliah bersama hingga saat ini, dua tahun setelah lulus dan mereka bekerja di tempat yang berbeda. Bening memutuskan tetap mengabdi di kampus sebagai dosen muda, sementara Yudha memilih menjadi pengusaha mandiri di bidang properti. Dengan kesibukan masing-masing mereka masih bisa menyempatkan diri bertemu walau sekadar minum kopi.
Tanpa angin atau hujan, tiba-tiba saja kemarin Bening menelepon Yudha. Mengabarkan dia akan pergi ke daerah pedalaman untuk menjadi asisten Prof. Himawan dalam penelitian. Ada rasa khawatir karena daerah pedalaman yang dimaksud letakya sangat jauh, kondisi fisik Bening yang dianggap Yudha sangat tidak memungkinkan, hingga cuaca yang sedang tidak baik semua memenuhi otak Yudha yang ujungnya adalah rasa tidak rela akan keberangkatan Bening dalam proyek penelitian kali ini.
Tetapi bukan Bening bila menyerah pada semua kekhawatiran. Dia akan tetap berangkat untuk membuktikan bahwa semua keliru, jadi percuma bila ada embel-embel jangan pergi dari siapapun. Semua sudah dipersiapkannya dengan detail hingga tak ada satupun yang terlewat, bahkan Bening sudah membawa beberapa peralatan tulis yang lucu-lucu, sabun mandi yang harum dan unik, sabun cuci piring higenis dengan niat akan dibagikan pada penduduk di sana sebagai souvenir agar penduduk di sana merasa diperhatikan dan mereka sebagai pendatang merasa nyaman selama penelitian di sana.
"Kamu berangkat jam berapa?" tanyaYudha pelan.
"Besok jam 12 siang, kemungkinan molor karena Prof. Wina masih berada di luar kota dan kami harus menunggu beliau datang dulu. Semoga beliau bisa datang tepat waktu," sahut Bening.
"Kok maksa banget sih, berangkat? Kalau memang masih ada yang belum siap, kenapa gak nunggu semua siap dulu baru berangkat?" tukas Yudha sewot.
"Heeh, kamu kenapa, sih? Kayak yang sewot banget? Udahlah tenang aja, aku bakal baik-baik aja," sahut Bening sambil mendorong bahu Yudha sambil tertawa.
"Buka sewot, cuma gerah aja. Semua kayak diburu-buru," ujarnya sambil menatap wajah Bening yang berada di depannya.
"Justru semua sudah dipersiapkan dari jauh hari, materi kami sudah dipresentasikan berkali-kali, semua materi penelitian sudah kami uji, bahkan tim survey sudah bergerak dari awal tahun lalu. Jadi nggak ada yang membuat penelitian ini bisa diundur. Tenang ya, kami sudah prepare dengan teliti. Dan kamu baik-baik disini, tunggu aku pulang karena setelah ini aku pengen camping di pantai, pengen bakar ikan, pengen berenang di laut dua hari dua malam penuuh," tutur Bening dengan mimik lucu dan memperagakan seolah ia berenang di laut.
"Mau jadi putri duyung? Berenang dua malam? Atau kamu pengen keluar ekor dan sirip?" sahut Yudha sambil terkekeh melihat sahabatnya cemberut.
*****
Yudha terbangun dengan tubuh basah kuyup oleh keringat, selimut tersampir di lantai dan seprainya kusut seperti baru terjadi pergulatan hebat di atas kasurnya. Akhirnya dengan sisa tenaga Yudha berusaha duduk di pinggir kasur. Kakinya menjuntai ke lantai dan tangannya menggapai lampu di samping tempat tidurnya.
Setelah kamar terang oleh sinar lampu, Yudha bisa melihat jam digital kecil di atas meja yang menunjukkan pukul 3.15 WIB. Ia duduk termenung sambil berusaha mengingat, mimpi apakah yang membuatnya menjadi gelisah? Hingga beberapa menit Yudha tak mampu menemukan potongan peristiwa dalam mimpinya.
Hanya saja, yang dia rasakan adalah gelisah dan kesedihan yang sangat. Akhirnya dia beranjak dari tempat tidur mengambil ponsel di atas meja dan melihat pesan yang masuk dan meneguk air putih yang ada di meja kamarnya.
"Tanggung jam segini mau tidur, lebih baik aku mandi," ujarnya pada diri sendiri sambil beranjak menuju ke kamar mandi.
Sementara di tempat yang berbeda, Bening masih sibuk menyiapkan semua perlengkapan yang akan dibawanya siang nanti. Semua file dipindah ke laptop. Tak lupa ia membawa flashdisk cadangan serta semua materi disiapkannya dengan detail. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 3.15 WIB. Ia menguap tanda bahwa tubuhnya butuh tidur sejenak. Berjalan dengan lunglai ke arah kasur yang sudah sejak tadi menunggunya, direbahkan badan lelahnya. Tanpa menunggu lama, mata Bening sudah terlelap dengan damai.
Sudah sejak 3 jam yang lalu harusnya dia tidur tetapi masih saja ada pekerjaan yang diselesaikannya. Bibirnya membentuk senyim tipis seolah mengatakan bahwa malam ini dia sudah lega dan siap berangkat esok hari ke daerah pedalaman tempat penelitiannya akan dilangsungkan.
*****
Sudah sejak pukul 9 mobil Yudha terparkir di halaman rumah Bening. Kehebohan di dalam rumah sudah terlihat dan ada beberapa tas yang telah dimasukkan ke dalam mobil. Ibu sibuk menyiapkan makan siang sebagai seremoni pelepasan Bening hingga Mbok Marni, wanita tua yang menjadi inang asuh Bening sibuk menyiapkan menu spesial.
"Yudha, Bening … ayo, sudah siap semua. Makan siang dulu kalian." Terdengar suara Ibu memanggil keduanya dari ruang makan. Sementara mereka berdua masih sibuk mengikat kardus isi segala macam souvenir untuk dibagikan ke para pedusuk di pedalaman.
Sementara itu, Ibu sibuk melihat jam dinding, sekali waktu menoleh ke arah pintu gerbang menunggu Ayah pulang dari kantor untuk melepas Bening. Sampai yang ditunggu datang, tampak raut lega dari wajah Ibu mendengar deru suara mobil terparkir di depan gerbang.
Ayah bergegas turun dan masuk ke halaman rumah. Setelah memberi salam, Ayah masuk ke ruang tamu yang sudah berantakan oleh perlengkapan yang belum dimasukkan ke dalam mobil. Mendengar suara sang ayah, Bening berlari menghampiri sembari memeluk Ayah dengan wajah bahagia.
"Kamu tuh, masih aja kaya anak kecil. Malu dong, dilihat Yudha," bisik Ayah pada anak gadisnya.
"Rugi banget malu sama dia, kirain ayah gak bisa ijin pulang," sahut Bening manja.
"Harus pulang kalau cinta kupertamaku mau pergi, bisa ngambek Ibu kalau Ayah gak pulang," sahut Ayah sambil melirik Ibu yang dari ruang makan yang sedang tersenyum memandang mereka.
Di ruang makan mereka menikmati hidangan dengan diselingi nasihat panjang dari Ayah untuk Bening.
"Ayah, Bening itu sudah 24 tahun, sudah dewasa. Masa masih aja diberi nasihat kaya anak SMA mau kemh pramuka?" ujar Bening menanggapi Ayah.
"Eeh, penting itu. Berapapun usiamu, tapi kelakuanmu masih kayak anak SMP, sembrono suka gak jelas," sahut Ibu sambil menyendokkan sayur ke piring Bening.
"Bener, Bu. Emang suka sehati sama Yudha," sahut Yudha tanpa diminta untuk menanggapi.
"Jangan ikutan, ih! Ini urusan aku sama Ayah," sahut Bening sambil melotot ke arah Yudha.
Yudha yang tepat berada di seberangnya tertawa sambil terus menikmati hidangan yang disiapkan Ibu. Tak ada yang aneh dengan suasana siang itu, susana hangat dan penuh canda. Sesekali Yudha melirik dan menatap Bening yang sangat bersemangat untuk pergi ke pedalaman. Merasa ini adalah pencapaian tertinggi yang akan diraihnya.
Berusaha menenangkan hatinya yang entah sejak kapan selalu berdesir resah, entah apa yang dirasakan oleh Yudha. Mungkin ini adalah perasaan seorang sahabat yang tak ingin ditinggalkan pergi jauh. Tak lama, hanya 14 hari, begitu hiburnya dalam hati, menyakinkan bahwa waktu itu berjalan cepat hingga tak akan terasa mereka akan berjumpa kembali dengan sejuta cerita dari Bening, hingga tanpa sadar Yudha tersenyum membayangkan perjumpaan mereka kembali.
*****
Desa Pajang Tenggara terletak sangat jauh dari desa kecamatan terdekat, harus menempuh perjalanan panjang memasuki hutan untuk sampai di sana. Entah sudah berapa jam perjalanan yang mereka tempuh dengan mobil memasuki jalan di tepi hutan yang sangat indah. Kadang tampak beberapa bukit hijau yang sangat indah, mereka juga melewati savana yang sangat menakjubkan. Benar-benar pemandangan luar biasa bagi mereka yang sejak kecil tinggal di kota dan menikmati gedung pencakar langit.
Mobil terus bergerak membelah hutan, rombongan yang berisi 7 orang sebagian sudah lelap tertidur, memanfaatkan perjalanan ini sebagai waktu istirahat. Bahkan Prof. Himawan sebagai pemimpin rombongan sudah sejak mobil melaju matanya terpejam.
Bening masih tetap terpesona dengan pemandangan alam yang baru dilihatnya. Ingin rasanya ia berhenti di padang savana untuk sekedar memotret alam sebagai bukti keberadaanya di sini, tetapi tentu saja idenya ditolak karena mereka harus mengejar waktu agar tidak ketinggalan kapal ferry yang akan membawa rombongan menyeberang danau menuju desa tujuan mereka yang terletak di tengah danau. Desa kecil yang subur menurut data hanya ditinggali beberapa kepala keluarga saja, tetapi memiliki potensi alam yang luar biasa.
Belum habis takjubnya Bening akan pemandangan alam yang dilaluinya, mereka sudah disuguhi pemandangan yang berbeda lagi, tampak hijau danau dari kejauhan. Aroma lembap kombinasi lumut dan rumput basah sangat terasa. Hawa dingin seolah lembut menampar wajah Bening, hembusan angin perlahan menyusup membuatnya merapatkan syal yang menutupi lehernya.
"Indahnya danau ini, seperti dalam lukisan," gumam Bening pada diri sendiri.
"Kita sudah sampai di danau Tandau, ini danau yang sangat indah dan masyarakat di sini percaya bahwa ikan yang hidup di danau ini adalah perwujudan dari seorang putri yang dikutuk menjadi ikan, dan air danau ini adalah air mata kesedihan dari putri itu. Bahkan masyarakat di sini selalu menjaga danau ini agar tidak tercemar oleh apapun," ujar Pak Ruslan yang ditugaskan menjemput rombongan di kota dan mengantarkan mereka sampai danau karena akan melanjutkan perjalanan ke desa yang berada di tengah danau.
"Cerita yang menyentuh sekali, tetapi beneran lho, air danaunya bening sekali," balas Bening antutias.
"Wah, sepertinya kita terlambat, kapal ferry terakhir sudah berangkat setengah jam yang lalu," gumam Pak Ruslan.
Mendengar penjelasan Pak Ruslan, Prof. Himawan langsung terbangun dan berusaha menenangkan diri sambil mengucek mata. "Waduh kita terlambat, ya?" gumam Prof. Himawan.
"Di sini belum ada penginapan, Pak, tapi kalau mau bisa bikin tenda di pinggir danau. Nanti saya coba minta ijin ke penjaga pelabuhan agar Bapak dan Ibu dijaga mereka," tutur Pak Ruslan.
"Bagaimana? Tapi coba parkir saja di tempat yang aman dulu. Biar kami bisa melihat situasi dulu dan tenang," ujar Prof. Himawan.
Mobil mencari tempat parkir yang aman. Tidak jauh dari pelabuhan yang dimaksud. Jujur sebenarnya ini adalah dermaga sederhana dengan kontruksi dari kayu yang sudah sangat tua. Tetapi mampu membius rombongan sejenak dengan keindahan yang tersaji bagai lukisan.
Akhirnya tanpa bisa mencari solusi yang lain, maka didirikanlah dua tenda. Yang satu untuk Prof. Himawan, Yanuar, Indra dan Noval dan yang satunya untuk Prof. Wina dan Bening, sedangkan Pak Ruslan tetap tidur di mobil, menjaga semua peralatan yang masih ada di mobil.
Sementara yang laki-laki sibuk mendirikan tenda, Bening dan Prof. Wina berkeliling melihat situasi, mencati MCK terdekat, mencari warung untuk memesan makan dan minuman. Beruntung ada warung Bu Midah yang terletak tidak jauh dari tenda sementara mereka. Maka mereka memesan kopi dan teh hangat untuk semua rombongan, memesan makan malam nasi goreng yang merupakan menu satu-satunya yang siap dimakan selain mie instan.
Urusan logistik sementara sudah siap, maka saatnya Bening membersihkan diri di WC umum milik Bu Midah. Mandinya kali ini sungguh mandi yang sangat mahal, air terasa sejuk mengguyur tubuhnya hingga segala lelah dan letih perjalanan berganti kesegaran. Setelah puas mandi dan berganti pakaian bersih, Bening berjalan ke dermaga mengambil beberapa foto sebagai dokumentasi dan kenangan.
Melihat sinyal bagus, maka disempatkannya memberi kabar pada Ayah dan Ibu. Mendengar suara Bening, kedua orang tuanya sangat bahagia. Beningpun tampak bahagia selalu tertawa ceria.
Setelah merasa cukup berbicara dengan mereka, maka Bening menghubungi Yudha.
"Heii, baru sekarang ngasih kabar, hape kamu juga gak aktif, kemana aja, sih? Tau gak, aku khawatir?" Dari seberang suara Yudha menggelegar.
"Yeeeh, malah nyolot, ini juga ditelepon," sahut Bening dengan cepat.
"Iya kamu kemana aja? Kok baru ngabari?" Yudha masih menekan suara dengan nada emosi.
"Aku kan, diperjalanan, ini baru sampai danau karena kami ketinggalan kapal ferry yang membawa kami ke pulau yang berada di tengah danau, makanya kami mendirikan tenda di sini. Lumayan, bisa tidur berasa camping," sahut Bening dengan suara ceria.
"Lama banget sih, di perjalanan. Pasti banyak berhenti foto-foto, ya?" tuduh Yudha.
"Enak aja, kesini itu memang jauh. Kita melewati pinggir hutan trus ada padang savana juga, lho. Pokoknya indah banget, the best lah!" seru Bening. Yudha hanya menggumam kecil sebagai respons.
“Lagian kamu kok jadi galak, sih? Dengerin, ya … sepanjang jalan aku tuh, takjub banget sama pemandangannya. Berasa aku mahluk aneh yang gak pernah keluar kandang, jadi gak tahu kalau bagian dunia lain itu indahnya bikin mampus!” ujar Bening tak mau kalah.
“Lagian, ndekem terus di kampus kerjaanmu. Gak pernah berani pergi jauh dari rumah dan kampus,” balas Yudha sambil terkekeh.
“Ih, kamu tuh, ya! Seneng banget liatin aku jadi katrok! Makanya, ajakin aku jalan!” Bening meluapkan emosinya pada lelaki di seberang telepon. “Kamu sok sibuk banget, sih, gak pernah peduli sama sahabat yang butuh refreshing.”
“Lha, ujungnya aku juga yang salah, payaaah!” balas Yudha sambil tertawa.
“Yudha, tau gak, ini aku lagi berdiri di dermaga tua yang indah bangeet. Sumpah, mana suasana sorenya syahdu banget, udara sejuk, anginnya semilir.” Bening mendeskripsikan tempat itu sambil menggerakkan tangannya antusias. “Kalau aku penulis, bakal bisa banget tuh, bikin cerita bagus di sini. Atau kalau aku bisa bikin puisi, pasti bakal jadi luar biasa kalau nulisnya di sini. Sayang, aku gak bisa nulis dan bikin puisi,” keluh Bening dengan suara menyesal.
“Yah, paling nggak kamu bisa masak air trus bikin kopi sama mi instan. Udah lumayan, tuh.”
“Yudha! Aku serius nih, beneran kamu harus datang ke sini. Tapi aku lupa jalannya lewat mana, hahaha!” Derai tawanya memecah suasana sore itu.
“Udah, Kodok! Jangan ketawa terus! Ceritain kamu camping tempatnya aman kan? Kamu bawa garam, kan? Ntar kalu mau tidur, taburi keliling tenda, biar ular dan hewan melata atau serangga gak masuk tenda,” pesan Yudha dengan suara lembut.
“Siap, Komandan! Beneran, aku sih, bersyukur ketinggalan kapal. Jadi dapat bonus camping, bisa menikmati suasana di sini lebih lama. Trus, kamu tau gak? Air di sini dingin banget! Aku berasa diguyur air es, tapi efeknya jadi segeer!” Bening tetap bercerita dengan heboh.
“Trus, soal makan gimana? Aman, kan? Jangan telat makan, ya. Aku tadi siang ke rumah, makan siang sama Ibu. Uuh, enak banget soto daging buatan Ibu, hhmmm,” ujar Yudha penuh kenikmatan.
“Dasar, Kadal! Kamu bahagia, ya, kalau bikin aku mati ileran pengen soto buatan Ibu. Awas kamu,” gerutu Bening emosi, yang disambut tawa bahagia dari seberang telepon. Tak sadar, Bening akhirnya tersenyum membayangkan sahabatnya yang tertawa bahagia.
“Bening, itu danau indah banget, ya? Di dermaga ada tangga turun tuh, di ujungnya. Jadi kamu bisa duduk di tangga sambil rendam kaki di air danau. Terus kalau kamu menghadap timur, ada saung, kelihatan siluetnya kalau jam segini. Bagus banget, lho,” celetuk Yudha di telepon seolah-olah memberi petunjuk pada Bening tentang berbagai hal di danau itu.
Tanpa sadar, Bening melangkah ke ujung dermaga lalu melihat tangga yang terbuat dari kayu hingga diapun menuruni dua anak tangga dan duduk seperti petunjuk Yudha. Tak lupa ia lalu merendam kakinya hingga terasa kesejukan menjalari tubuhnya. Secara spontan, badannya ikut menghadap ke timur sesuai petunjuk Yudha.
Lelaki itu benar, tampak dari kejauhan saung kecil yang hanya berupa siluet indah bagai lukisan jika dilihat dari tempatnya duduk. Barulah Bening tersadar tentang obrolan mereka.
“Heh, kamu curang, ya! Kamu pernah ke sini, kan? Kapan? Kok, gak ngajak aku?” seru Bening setengah berteriak pada Yudha.
“Belum, aku belum pernah ke sana,” sahut Yudha tenang.
Bening mengernyit bingung. “Terus, kok bisa tahu apa yang ada di sini? Mirip banget, lho!”
“Iya, aku tahu dari mimpi.”
*****
Seminggu sudah rombongan peneliti Prof. Himawan berada di desa indah ini. Penduduk sangat kooperatif, mau membantu semua rangkaian penelitian hingga semua berjalan lancar. Bening dan Prof. Wina sangat menikmati peran tambahan sebagai guru untuk mengajar anak-anak di desa.
Setiap sore, ada sekitar lima belas anak yang datang ke saung induk yang terletak di tengah desa. Mereka belajar bersama, bahkan tak jarang anak-anak mendapat bonus dongeng dan cerita tentang suasana kota yang membuat mereka terbengong takjub mendengar tentang bus tingkat, kereta api, gedung tinggi, lift, bahkan tentang banyak hal yang memang belum pernah mereka lihat dalam dunia nyata.
Selalu ada hadiah kecil sebagai penyemangat mereka belajar keesokan harinya. Ada banyak sahabat baru serta keluarga baru yang terjalin dengan tulus. Dari pagi hingga sore, tim yang sudah terbagi dengan tugas masing-masing bekerja seperti diburu waktu agar penelitian ini tidak molor waktu. Sore adalah waktu senggang untuk semua tim. Mereka bebas untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan tanpa terikat.
Untuk Prof. Himawan dan Yanuar, mereka lebih senang mengisi waktu dengan memancing di danau. Bahkan kadang mereka berenang sebagai kegiatan olahraga. Bening lebih suka memotret banyak objek yang sangat indah untuk dokumentasi pribadinya. Hingga tak pernah ada kata jenuh untuk tinggal di desa ini.
Di hari ke-10, semua anggota tim berkumpul di basecamp yang disediakan oleh dukuh setempat yang berupa rumah warga yang sengaja dikosongkan untuk kantor sementara tamu istimewa mereka dari kota. Semua peralatan sederhana yang sangat minimalis, meja laptop terbuat dari kayu yang sudah tua, dua buah kursi kayu yang digunakan untuk menaruh beberapa berkas dan juga mesin printer. Di pojok ruangan terdapat mesin jenset yang mereka bawa dari kota untuk mengantisipasi bila listrik mati agar tidak menghalangi mereka bekerja.
Prof. Wina sedang menggigil kedinginan di pojok ruangan, dengan selimut dan jaket membalut tubuhnya. Kondisinya lemah hingga butuh obat dan istirahat ekstra. Siang ini ia tampak tidak konsentrasi serta terus bersin-bersin.
“Prof, sebaiknya istirahat saja dulu di pondok, karena flu itu butuh cukup istirahat. Semua berkas biar kami yang selesaikan.” ujar Prof. Himawan.
“Iya Prof, biar cepat sembuh. Lumayan, kalau istirahat bisa mengurangi penularan pada kami juga hahahaha,” sahut Yanuar bercanda.
“Okelah, aku mengundurkan diri siang ini, mau istirahat di pondok, ya. Kalau ada hal penting semua data ada di laptopku. Aku istirahat di pondok dulu, semoga besok pagi bisa mendingan. Selamat bekerja ya, tim!” sahut Prof. Wina sambil melangkah keluar basecamp.
“Siap! Selamat istirahat, Prof!” seru semua anggota tim, melepas Prof. Wina meninggalkan ruangan.
Mereka kembali bekerja dengan tugas dan menghadap laptop masing-masing. Bekerja dalam suasana yang sangat berbeda membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan segala keperluan dengan kondisi yang ada.
Tinggal di desa terpencil dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 40 kepala keluarga, mayoritas penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan, yang memanfaatkan sumber daya alam yang ada, memancing ikan di danau, lalu mengolahnya secara sederhana, memanfaatkan kebun dan ladang dengan tanah yang subur membuat mereka bisa menanam apa saja seperti pisang, ubi, talas, sayur mayur yang semua merupakan produk lokal yang seminggu sekali dibawa ke desa kecamatan untuk dijual di pasar.
Sekolah untuk menunjang pendidikan hanya berupa bangunan sederhana yang memiliki tenaga pengajar tiga orang guru honorer. Mereka bergantian mengajar untuk enam kelas yang setiap kelas memiliki murid tidak lebih dari 15 orang. Sungguh kehidupan yang sangat sederhana bahkan untuk masyarakat setempat melanjutkan sekolah itu bukan sesuatu hal yang wajib.
Bilapun ada, itu karena kemauan dan tekad serta dukungan orang tua yang sangat luar biasa karena melanjutkan sekolah ke jenjang SMP dan SMA berarti harus tinggal jauh dari orang tua, sebab tidak mungkin menempuh sekolah pulang pergi setiap hari. Letak sekolah lanjutan hanya ada di desa kecamatan yang letaknya sangat jauh dari desa Pajang Tenggara yang terletak di tengah danau.
Sepuluh hari hidup berinteraksi dengan penduduk setempat yang sangat sederhana telah mampu membuat pola pikir dan pola hidup Bening berubah. Ia tak lagi merisaukan soal bedak, lipstik, bahkan body lotion yang dibawanya belum sempat dipakainya. Pakaian yang ia kenakan cukup kaos oblong, celana panjang tak lupa sweater adalah hal utama. Tak pernah ada bau wangi semprotan parfum di pakaiannya.
Semua mampu merubah kebiasaan yang dulu adalah kewajiban bagi Bening. Soal makan pun telah berubah. Perutnya telah terbiasa sarapan dengan pisang rebus hangat, singkong kukus, serta minum teh tawar atau rebusan jahe dan serai yang biasa dihidangkan Bu Nur, warga yang ditunjuk Pak Dukuh sebagai seksi konsumsi untuk para tamu peneliti dari kota—begitulah warga menyebut mereka.
Hidup mereka pun sangat tergantung pada sinyal, jadi ponsel adalah hal nomor kesekian dalam hidup mereka karena percuma menelepon ketika sinyal selalu tidak bersahabat pada mereka. Hingga kehidupan yang ingar-bingar tidak dapat tersentuh oleh mereka yang berada di desa ini.
“Data ini harus dikirim ke pusat, ke rektorat. Karena ini adalah hari kesepuluh kita di sini, jadi pusat pasti menunggu laporan kita. Tolong kau siapkan laporan dalam satu file ya, Bening,” titah Prof. Hiwawan.
“Siap, Prof,’ jawab Bening sigap sambil tangannya mengetik di laptop.
“Lalu kau berangkat ke kecamatan bersama Yanuar dan Indra. Kirimkan laporan itu, kau bisa menumpang di rumah Pak Camat. Pasti beliau punya akses internet. Dan tolong belikan obat untuk Prof. Wina, ya. Minta pada dokter puskesmas antibiotik, obat flu dan malaria. Aku curiga bila demamnya tidak turun malam ini, kurasa dia terserang malaria. Buatkan surat dengan kop surat universitas untuk dokter puskesmas, nanti aku tanda tangani agar kalian diberikan semua obat yang kita butuhkan.” Lengkap sudah tugas yang dimandatkan Prof. Himawan pada Bening.
“Jadi, siang ini kami berangkat, Prof?’ tanya Yanuar dari tempat duduknya.
“Bulan depan saja, biar kita selesaikan dulu penelitian ini baru kau berangkat,” balas Prof. Himawan berkelakar yang disambut tawa semua rekan kerjanya.
Begitulah, Prof. Himawan adalah dosen senior yang sangat pandai melucu. Jauh dari kesan sangar dan kaku walau titel akademisnya adalah Profesor.
“Saya sudah menelepon Pak Ruslan agar beliau menunggu kita di dermaga. Ini beliau sudah menuju dermaga menjemput kita. Kalau tidak ada hambatan, mungkin kita akan duluan sampai di dermaga 30 menit,” sahut Indra sigap.
“Gila, lancar jaya nih, Mas Indra. Mentang-mentang mau ke kota. Lumayan, bisa teleponan sama anak istri,” goda Bening.
“Lha iyalah, emang beda euforianya kalau dibandingkan yang masih jomblo,” balas Indra menggoda Bening.
Bening cemberut merasa kalah, dan semua orang tertawa melihat ekspresi Bening yang lucu.
“Makanya, cari pacar! Biar ada yang kangenin dan gak jomblo terus,” sahut Yanuar bersemangat.
“Lho, bukannya kemarin ada yang nganterin ke kampus?” timpal Prof. Himawan.
“Yaelaah, itu sih, stok lama, Prof. Dari jaman kuda besi luntang-lantung berdua tapi tetap aja status gak naik tingkat, masih sahabat selamanya,” goda Indra tak mau kalah.
“Hari gini sahabat, masa kalah sama anak SMP sudah panggil ayah-bunda?” timpal Noval yang sedari tadi senyum menanggapi godaan temannya.
“Beneran lho, Mas Noval, aku gak bakal beliin rokok pesanannya,” sahut Bening tak mau kalah ikut mengancam Noval.
“Lho, kamu masih merokok, Val?” tanya Prof. Himawan.
“Masiiih!” seru mereka serempak menjawab pertanyaan Prof.Himawan yang langsung saja dijawab pelototan mata oleh Noval, tanda memberi peringatan pada rekanya untuk menyembunyikan kebiasaan buruknya di hadapan Profesor.
Semua berkas sudah siap. Penelitian Profesor Himawan tentang kondisi fisiografi dan fisiko kimia perairan danau. Laporan berkala yang sangat ditunggu oleh pihak rektorat sebagai penanggungjawab penelitian ini. Semua data yang diperoleh akan diolah di kantor pusat rektorat, dan juga sebagai laporan kegiatan penelitian yang dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan setiap pekan penelitian ini.
Bening berada di pondok menyiapkan perlengkapan dalam tas ransel kecilnya, tak lupa membawa perlengkapan mandi karena sesuai jadwal, dia akan menginap semalam di kota dan besok sore baru akan kembali ke desa Pajang mengendarai kapal ferry yang berangkat siang. Saat semua sudah dianggap lengkap, sambil menatap sekeliling pondok, dia memandangi Prof. Wina yang sedang tertidur pulas. Tak tega ia membangunkannya, maka Bening berlalu tanpa pamitan. Toh, nanti info kepergiannya akan disampaikan rekannya yang lain.
Bertiga mereka berjalan menyusuri desa menuju dermaga untuk menyeberang. Ternyata kapal ferry sudah berangkat satu jam yang lalu dan akan berlayar kembali dua jam kemudian, kembali ke dermaga untuk bersandar hingga esok pagi berlayar kembali ke seberang.
Akhirnya mereka sepakat akan naik kapal motor milik nelayan, satu-satunya transportasi yang akan mengantarkan mereka ke dermaga seberang. Kapal motor adalah alat transportasi cadangan untuk masyarakat setempat, yang bahkan merupakan kendaraan wajib yang dimiliki setiap kepala keluarga di desa ini. Memang kapasitasnya lebih kecil dibandingkan kapal ferry dan semua perlengkapan pengamanan sangat tidak memadai, bahkan jauh dari standar operasional. Tetapi karena mereka sudah terbiasa, maka itu tidaklah penting.
Menikmati perjalanan dengan kapal motor adalah yang pertama kali bagi Bening. Ada rasa khawatir dan juga takut karena kapalnya sangat kecil dan terasa sangat ringkih menembus danau yang ternyata memiliki arus sangat kencang. Apalagi saat di tengah danau air tampak hijau gelap menandakan danau itu sangat dalam. Di tengah danau angin berembus sangat kencang hingga rambut Bening berkibar menutupi wajahnya.
Tak ada canda tawa mengiringi perjalanan kali ini. Cuma sesekali Yanuar menawarkan jaketnya pada Bening untuk dipakai karena dari tempat duduknya, tampak Bening mendekap kedua lengannya di depan dada, menandakan ia kedinginan. Tetapi tawaran itu dibalas senyuman dan gelengan kepala oleh Bening.
Ditatapnya Indra dari tempatnya duduk, lalu sekilas Indra memberi anggukan dan gumaman bibir menyuruhnya berdoa. Semua tampak tegang, entah mengapa perjalanan ini terasa sangat membebani, padahal udara dan cuaca cerah dan bersahabat. Kapal kecil yang mereka tumpangi terombang-ambing membelah danau, rasanya seperti melayang di udara dan mereka merasa seperti diterbangkan di atas permukaan air.
Untuk mengurangi ketegangan, Yanuar mengeluarkan ponsel dari sakunya dan memotret mereka sambil tersenyum. Pada detik itulah Bening tersadar bahwa ia tidak membawa ponselnya yang sedang diisi dayanya di pondok. Ditepuknya jidat tanda ketololan, tentu saja itu membuat rekannya bertanya dengan kode kerutan kening.
“Aku lupa membawa hanphone, tadi di pondok lagi dicas!” teriak Bening pada rekannya. Hal itu disambut tawa tanda kebodohan yang hakiki, dan sontak membuat Bening cemberut.
“Berenang sana, balik ambil hanphone!” teriak Indra menggoda Bening.
“Boleh kok, pakai handphoneku, tapi ganti pakai sate kambing sama gulai satu porsi ya?” sahut Yanuar menggoda.
“Nggak mauuu!” balas Bening sambil tertawa.
Suasaan tegang mencair, membuat perjalanan ini sedikit ceria. Tampak dari tengah danau siluet dermaga yang berarti tak lama lagi perahu akan merapat.
Namun tiba-tiba di tempat duduknya Indra tampak panik karena tanpa disadarinya kakinya sudah terendam air, sepertinya perahu bocor entah dari sebelah mana.
“Mas, Mas! Bocor perahunya,” soraknya panik pada Indra. Tanpa bicara, ia sigap mengambil ember kecil yang ia duduki untuk mengeluarkan air dari perahu.
Nelayan yang mengemudi tetap meminta mereka untuk tenang. “Tenang, Bang. Ini udah mau sampai!”
Mereka bertiga tetap berusaha mengurangi genangan air dalam perahu. Bening diminta tenang dan diberi tugas menjaga berkas yang mereka bawa, tetapi tangan mereka tetap sigap berusaha mengungurangi air yang semakin lama volumenya semakin cepat penuh.
“Mas, kok kita nggak sampai-sampai?” keluh Bening tanpa menyembunyikan kekhawatirannya. Mereka seketika menoleh ke arah dermaga. Entah mengapa, bukannya semakin dekat, mereka merasa terdorong semakin jauh dari tempat itu.
Hingga detik ini, semua terasa bagai gerakan lambat dalam film. Mereka berusaha untuk tenang dan berdoa dalam hati untuk keselamatan. Hingga tak ada daya lagi bagi mereka untuk melawan takdir. Semua terekam dalam memori mereka, bagaimana wajah-wajah itu setiap detik berubah menjadi tegang dengan berusaha mendengar setiap komando dari nelayan pemilik kapal yang mereka percayai memiliki pengaman lebih untuk situasi seperti ini.
Namun terlambat, yang terjadi berikutnya adalah tiba-tiba kapal motor yang mereka tumpangi itu terbalik. Yang mampu Bening rasakan hanyalah badannya yang dingin dan terasa kebas seketika.
Kepanikan menyerang dirinya. Berusaha untuk tetap konsentrasi dengan mencoba naik ke permukaan danau, Bening merasa tenggelam sangat jauh dan dalam hingga dia tak sadar sudah berapa banyak air yang dia minum. Di antara kesadaranya, Bening melihat pusaran air yang semakin lama semakin besar, menarik bangkai kapal mereka.
Dengan sisa kekuatannya, dia berusaha menghindari pusaran air yang kencang itu. Tetap dengan sekuat tenaga mengangkat badan ke permukaan. Yang ada di pikirannya, ia harus selamat apapun yang terjadi. Di tengah kepanikan itu, ia menjadi takut membayangkan apa yang terjadi pada Yanuar, Indra dan nelayan tadi.
Setelah perjuangannya yang panjang, terasa hidungnya bisa menghirup udara. Dengan tenaga yang tersisa, Bening berenang dengan terus menggerakkan tangan dan kakinya entah ke arah mana. Air yang menetes di wajahnya bercampur dengan air mata sedih dan juga rasa syukur akan kondisinya saat ini.
Tetapi sedetik kemudian, Bening merasa dirinya hendak hilang kesadaran. Ia masih berjuang keras melawan agar ia tetap memiliki kendali atas tubuhnya. Sambil terus dia gumamkan doa dan memanggil Ayah, Ibu serta Yudha agar terus bisa mengontrol kesadarannya.
Keajaiban datang di saat detik kritisnya, dalam jangkauan tangan Bening melihat sebongkah papan tergenang di permukaan danau. Dengan tubuh yang mulai kejang dan menggigil kedingian, diraihnya papan itu dan ditopangkannya wajah serta lengannya untuk menjaga keseimbangan,
Tidak ada lagi perlawanan dan usaha darinya. Bening sudah pasrah mau dibawa kemana. Agar tetap dalam kondisi sadar walau sangat lemah, dari bibirnya terus saja Bening meracau, mengucapkan apapun yang diingatnya.
*****
Sementara pada saat yang sama, ribuan kilometer jauhnya dari danau, Yudha merasakan gelisah dan juga pusing yang menyerangnya tiba-tiba saat bekerja di lokasi proyek. Maka dipesannya secangkir jeruk panas agar dapat mengurangi rasa pusingnya. Hingga jeruk panas itu habis diminumnya, pusing itu tetap tak berkurang rasa sakitnya. Akhirnya dia pamit pada pekerja proyek untuk pulang beristirahat.
Sesampainya di rumah, dia masuk ke kamar dan tidur. Berharap pusing dan rasa meriang yang tak biasa di badannya berkurang setelah istirahat nanti.
Pukul 19.45, Yudha terbangun dengan keringat membanjiri tubuhnya hingga membasahi baju kaosnya. Sepintas didengarnya dering ponsel, maka diraihnya ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidurnya. Di layar tertera panggilan tak terjawab sejumlah tiga kali dari Bening pada pukul 19.45.
Kening Yudha berkerut, merasa kebetulan sekali Bening meneleponnya. Bukankah dia mengatakan daerah penelitianya susah sinyal? Hingga telepon terakhirnya adalah sesaat sebelum berangkat menggunakan kapal ferry sepuluh hari yang lalu, dan mereka berjanji akan berjumpa dua pekan kemudian.
Akhirnya Yudha mencoba menghubungi ponsel Bening kembali, tetapi tak didengarnya nada sambung, menandakan sinyal yang bermasalah. Maka setelah mencoba menghubungi beberapa kali tetapi gagal, Yudha duduk melihat sekeliling yang sudah gelap. Baru disadarinya dia tertidur hingga menjelang malam. Dirabanya bagian leher kaos oblongnya yang basah oleh keringat, hingga ia tiba-tiba ingat akan mimpinya barusan tentang rasa dingin membeku serta gelembung air. Mimpi itu entah mengapa belum bisa disambungkannya, masih berupa potongan puzzle yang selalu mengikutinya dan menjadikannya gelisah dan dipenuhi rasa sedih.
Semua bagai mimpi buruk, tiba-tiba ada telepon dari Ayah Bening yang mengabarkan bahwa Bening dan dua orang temannya hilang tenggelam di danau.
*****
Masih terkejut dengan berita itu dan semua bergerak cepat, Yudha tersadar bahwa di mobil yang dikendarainya ada Ayah dan Ibu yang masih menangis tesedu membayangkan kondisi Bening yang masih dikabarkan hilang.
Semua yang ada di dalam mobil merasa tegang. Supir dari kampus ditugaskan oleh rektor pergi segera bersama tim SAR dan MENWA kampus untuk mencari kapal motor yang tenggelam. Suasana tegang mewarnai perjalanaan Ibu dan Ayah tak pernah lepas dari doa yang diucapkan agar putri tunggalnya selamat dalam musibah ini.
Sementara Yudha masih tidak mempercayai semua ini. Semua bayangan yang terburuk berkelebat dan bermain di otaknya meski ia tak mau. Potongan-potongan memori itu berkelebatan. Ada percakapan terakhir mereka berdua di kedai bakso dekat kampus tentang bagaimana beratnya hati Yudha untuk melepas sahabatnya pergi tetapi tak tega melihat Bening yang sangat bersemangat bercerita tentang persiapannya pergi, ada pula bayangan ketakutanya dalam mimpi, tentang gelembung air di dalam mimpinya, rasa takut yang selalu menderanya akhir-akhir ini tetapi ia tak pernah yakin ketakutan tentang apa. Atau panggilan tak terjawab Bening sore tadi yang membangunkannya.
Seketika ia tersentak. Entah mengapa ia merasa sangat yakin Bening masih hidup. Terbukti dia sempat menghubunginya beberapa jam yang lalu. Maka dalam diamnya Yudha bergumam dalam hati, “Tuhan, tolong selamatkan Bening, lindungi dia, berikan pertolonganmu, ya Tuhan … aku ingin melihatnya hidup. Aku mencintainya” Doa yang diucapkannya dalam hati membuatnya meneteskan air mata dalam diam.
Perjalanan malam itu sangat mencekam, tak ada yang bisa memejamkan mata. Informasi keadaan di lokasi selalu dikabarkan setiap sejam sekali meski Yudha ingin dikabari setiap menit. Malam inipun tim SAR dan masyarakat desa menyisir danau untuk terus mencari kapal motor dan juga korban.
Info terkini mengabarkan dua orang korban ditemukan dalam kondisi kritis. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit kecamatan. Ada angin segar dengan ditemukannya dua korban selamat, tetapi belum ada yang mampu membuat Yudha lega karena Bening belum juga ditemukan hingga tengah malam.
Menjelang subuh, rombongan Yudha dan tim kampus tiba di lokasi. Tampak Prof. Himawan, Prof. Wina dan Noval menyambut Ayah, Ibu dan Yudha. Sejenak mereka mengobrol dan meminta maaf tentang kejadian ini, tetapi dengan hati lapang mereka semua fokus untuk membantu pencarian dengan tenaga bantuan tim SAR dan MENWA dari kampus mereka.
Warga desa pun ikut bersukarela membantu pencarian dengan membuat kelompok sendiri yang berkoordinasi dengan tim SAR. Yudha ikut dalam rombongan pencarian dengan pelampung oranye di badannya. Dia datang menghampiri Ibu yang sedang duduk dengan Ayah dan Prof. Wina.
“Ibu, Yudha ikut tim pencarian pagi ini. Doakan ya, Bu, kami bisa menemukan Bening,” ujarnya lirih sambil mencium tangan Ibu.
“Hati-hati ya, Nak. Ibu tunggu kabar baik dari kamu,” ujar Ibu sendu.
Prof. Wina yang menyaksikan hanya bisa diam. Kemudian seolah teringat sesuatu, dirogohnya kantong jaket dan dikeluarkannya ponsel milik Bening yang kemudian diserahkan pada Yudha.
“Yudha, ini ponsel Bening, kemarin dia lupa tidak membawanya. Ibu tidak tahu, tapi semoga ada petunjuk,” ujar Prof Wina sambil menahan isak tangisnya, mengingat bagaimana persahabatan yang terjalin selama penelitian berlangsung. Karena hanya mereka berdua wanita dalam tim penelitian, maka sudah tak ada batsan lagi bagaimana hubungan mereka menjadi akrab.
Yudha tampak kaget melihat ponsel milik Bening, lalu diraihnya ponsel itu dan dibukanya riwayat panggilan. Tidak seperti yang diduganya, di sana tidak tertera sama sekali panggilan untuknya dan tak ada pula riwayat panggilan tak terjawab dari nomor Yudha pada ponsel Bening.
Penuh rasa heran dan bingung, diambilnya segera ponsel miliknya. Dibukannya dengan tergesa dan dicocokannya riwayat panggilan ponsel mereka. Pada ponselnya, masih tertera riwayat panggilan tak terjawab dari nomor Bening, kemarin pada pukul 19.45 sebanyak 3 kali.
“Prof, lihat, kemarin pada pukul 19.45 Bening menelepon saya tiga kali. Saya yakin sekali, sebab karena mendengar suara telpon saat itu saya terbangun, Prof, dan ini buktinya.” Yudha memperlihatkan ponselnya pada Prof. Wina.
“Tidak mungkin, Yudha. Ponsel Bening ada pada saya sejak kemarin. Dan saya tidak pernah menelepon siapapun dari ponsel Bening,” ujar Prof. Wina yakin dengan kejadian kemarin.
“Tapi, Prof ini ada panggilan dari Bening di ponsel saya, dan saya yakin Bening masih hidup dan Tuhan memberitahu saya dengan cara ini,” ujar Yudha dengan penuh keyakinan.
“Aamiin, apapun itu saya ingin yang terbaik. Semoga Bening diberi kekuatan dalam menghadapi apapun kondisinya hingga kita bisa segera menemukannya dalam kondisi baik-baik saja,” ujar Prof. Wina dengan keyakinan.
Yudha masih tak percaya dengan kenyataan yang dihadapinya, melihat danau yang indah ini hatinya sangat miris karena tak pernah dibayangkannya dirinya akan datang kesini dalam kondisi yang jauh dari bahagia. Ditatapnya sekeliling danau dan hatinya tergetar oleh perasaan aneh. Dia merasa dia sangat mengenal tempat ini, hingga ada beberapa yang tak asing dalam pengelihatannya. Digelengkannya kepalanya seolah mengusir bayangan dalam pikirannya, tetapi bayangan itu semakin nyata dan Yudha seolah terlempar dalam suasana menakutkan yang kerap dirasakannya akhir-akhir ini.
Tersadarlah Yudha akan mimpi yang sering datang dalam tidurnya. Mimpi yang membuatnya takut, mimpi yang membuatnya tak rela melepas Bening untuk pergi.
Itu adalah mimpi buruknya—firasatnya tentang tragedi ini, tetapi kali ini Yudha bertekad untukmencari Bening sesuai petunjuk mimpinya.
Lima perahu karet diterjunkan tim SAR pagi ini, mereka membagi wilayah pencarian dan semua berkoordinasi agar bisa membagi setiap petunjuk yang ditemukan. Dalam perahu karet yang berisi empat orang, Yudha memimpin.
Mereka bergerak sesuai petunjuk Yudha yang mengarahkan pencarian pada titik yang menuju saung yang tampak dari dermaga. Entah apa yang membawanya untuk menyisir sekitar saung. Dengan cermat dan teliti, semua fokus pada lokasi, Yudha berdesir saat melihat lokasi dekat saung. Di sana tampak rimbunan pandan air yang subur, di pinggir danau tampak pula rimbunan pohon air yang menambah suasana mencekam. Namun dengan keyakinan penuh, Yudha terus memimpin timnya untuk menyisir seputar lokasi.
“Bening ... plis, kamu denger aku, kan? Kalau kamu masih bisa memberi petunjuk tolong berikan petunjuk itu. Aku akan terus mencarimu hingga ketemu. Bening, kuat ya, ingat kalau kita punya radar yang kuat untuk saling memberi sinyal. Ayolah, Kodok … kamu ada dimana? Pliis, dengerin aku. Kasih sinyal, kamu ada dimana?” Yudha terus bergumam dalam hati seolah berkomunikasi dengan Bening yang entah ada dimana.
Yudha yakin Bening masih hidup, dan ia yakin Bening akan memberikan tanda dimana keberadaannya. Maka tetap dengan keyakinannya, Yudha mengelilingi area pencarian dengan teliti. Dari informasi yang didapat, satu orang korban yang sudah ditemukan kembali dalam kondisi kritis terseret arus hingga ditemukan di lokasi yang sangat jauh dari titik kecelakaan.
Dengan ditemukannya tiga korban, maka optimis tim pencari semakin besar. Sudah diturunkan empat kelompok tim pencari tambahan dengan harapan lebih besar menemukan Bening sebagai korban terakhir.
Perahu karet bergerak pelan, menyisir tiap rimbunan pohon yang disingkap menggunakan kayu panjang. Setiap ada benda yang mencurigakan langsung didekati. Sudah hampir seharian tim Yudha mencari tanpa hasil, bahkan tanpa sedikitpun jejak yang didapatkan. Rasa sedih dan putus asa berkecamuk hingga Yudha menitikkan air mata.
Bila hari ini Bening tidak juga dijumpai, sangat kecil harapan untuk menemuinya dalam kondisi hidup. Sebab dalam kondisi danau yang suhunya sangat dingin, mustahil ia bisa bertahan lebih dari dua hari dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Akhirnya, bendera kuning dikibarkan, tanda kesepakatan tim untuk kembali ke dermaga dan basecamp. Hati Yudha sangat hancur, penyesalan tampak jelas di wajahnya.
“Ya Tuhan, aku mohon lindungi Bening, berikan kekuatan untuknya bertahan. Pliis, Bening beritahu aku dimana kamu, aku yakin kamu bisa mendengarkan aku. Kita punya telepati, kan? Ayolah, kamu pasti bakal memberitahu aku dimana kamu.” Yudha terus-menerus meracau tak jelas.
Di rimbunan pohon pandan berduri, tanpa sengaja matanya menangkap benda mengapung mencurigakan. Maka ia mengarahkan perahu karet pada objek, dan benar saja tampak korban yang mengapung tak sadarkan diri dengan wajah menopang pada sebongkah papan. Teriakan Yudha dan anggota tim menjadi pemacu semangat dan rasa syukur.
Yudha menjadi orang pertama yang turun ke air menghampiri Bening. Disentuhnya wajah tak berdaya yang membiru itu. Tangisnya tak dapat ia bendung lagi.
“Bening, astaga … Ya Tuhan, syukurlah.”
Terus menerus diucapkannya syukur sambil memegang leher gadis itu, merasakan denyut nadi yang kecil, tapi tetap saja menjadikannya lega karena itu berarti bahwa Bening masih hidup.
Setelah Bening berhasil dinaikkan ke perahu karet, dan diberikan pertolongan pertama hingga bisa dipastikan bening masih dalam kondisi hidup, semua tim mengucapkan syukur. Dengan kecepatan maksimal, perahu karet dikendarai agar secepatnya sampai di dermaga. Yudha sangat bahagia memeluk Bening dalam dekapannya seolah mentransfer hangat tubuhnya untuk Bening.
Semua berjalan sangat cepat, tiba-tiba saja Bening dan para korban sudah ditangani dokter. Walaupun sempat kritis, mereka tetap berlahan dalam kondisi stabil. Termasuk Bening, selang infus dan oksigen masih menempel di tubuhnya dan kesadarannya belum sempurna, tetapi melihatnya dengan tubuh utuh saja sudah merupakan syukur yang sangat. Semua korban mengalami hipotermia karena kedinginan di air danau.
Dalam ruang perawatan, Yudha duduk dengan sabar menunggu Bening sadar. Ada pilu yang tesirat serta rasa kasih yang tak akan pernah dia pungkiri lagi. Sejak kejadian kemarin, Yudha bertekad tak akan lagi melepaskan Bening. Dia akan menyatakan perasaannya dan akan berjanji menjaga gadis itu selamanya.
Entah sejak kapan perasaan ini hadir, yang dia tahu, dia tak ingin lagi kehilangan Bening.
Pastilah akan terasa aneh, sebab selama ini mereka adalah sahabat yang selalu berbuat konyol bersama. Selalu saling melindungi, dan saling menghormati hak pribadi. Tetapi sejak kejadian di danau Yudha sadar bahwa ia tak ingin lagi mereka hanya menjadi sahabat. Yudha ingin menjadi lelaki seutuhnya untuk Bening.
“Hmm, aku dimana?” ucap Bening lemah, memecah keheningan dalam ruangan.
“Upss, jangan banyak bergerak, kamu di rumah sakit,” balas Yudha sambil berbisik.
“Ibu … Ayah … Yudha …” bisik Bening lemah dengan mata yang belum bisa dibuka.
“Ibu dan Ayah sedang istirahat, aku di sini mememanimu. Tenang ya, istirahatlah,” ucap Yudha lembut sambil menggengam tangan Bening dengan hangat.
Bening tak menjawab, tetapi berusaha membalasnya dengan menggengam jemari Yudha walau dengan tenaga yang sangat lemah.
Yudha bersabar menanti kondisi Bening pulih seutuhnya, agar bisa mengurai semua misteri tentang kejadian yang ada. Yang menjadi keyakinan Yudha adalah bahwa ada ikatan batin yang kuat antara ia dan Bening hingga dengan kekuatan itu pula mereka saling mengikat untuk memberi petunjuk.
Yudha bertekad tak akan pernah lagi mengesampingkan firasat apapun yang dia rasakan karena itu adalah tanda dari alam yang sebenarnya adalah nyata. Tanda dari alam, bahwa mereka saling terikat.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.