Parung Bingung

Anakku yang seorang, tambatan jiwaku kini harus berpisah tanpa terduga

Parung Bingung

"Pak, pokoknya Amir mau berangkat study tour, kalau ga Amir pergi saja dari rumah!", ancam anak semata wayangku yang sudah piatu sejak lahir.

Sambil mengangguk pasrah, aku yang seorang supir ojek mengiyakan keinginannya, meskipun bingung darimana uang ratusan ribu itu akan kudapat. "Besok sudah ada uangnya ya, Pak, lima ratus ribu. Jangan sampai aku batal berangkat karena belum bayar!", sekali lagi hentakan suara anakku membuatku mengangguk cepat tanpa banyak tanya, untuk apa saja biaya sebanyak itu.

Putraku yang hanya seorang itu kesayanganku, pelipur laraku saat istriku pergi setelah berjuang melahirkannya. Lahir beberapa minggu lebih cepat dalam keadaan prematur, membuatku berjuang sekuat tenaga untuk membiayai awal kehidupannya agar ia tidak memilih ikut pergi dengan ibunya. Sejak saat itu, tak pernah sedikitpun aku berhenti membanting tulang, dan dengan bangga aku bisa menyekolahkannya di sekolah kejuruan pilihannya, mengikuti kemana kawan-kawannya belajar. 

Memang, ia sedikit manja, tapi kurasa tak mengapa. Sudah seharusnya aku yang menjadi tempatnya bermanja. Namanya orangtua, tentu harus bersedia memberikan segalanya. 

Sore hari aku mendatangi rumah Ibu Poltak, rentenir terkenal di rumah paling besar dekat kontrakanku. Niatku meminjam uang untuk biaya study tour Amir. Ini pertama kalinya aku meminjam uang, karena harus segera diberikan ke sekolah.

"Permisi Bu Poltak, saya Pak Hasan, pengontrak di pojok sana", ucapku memperkenalkan diri, "Saya ingin meminjam lima ratus ribu rupiah untuk biaya study tour Amir, putra saya. Apakah bisa Ibu?", langsung saja kuungkapkan tujuanku bertandang ke rumah Bu Poltak.

Bu Poltak melirikku dan tersenyum sinis, "Bisa kau bayarnya nanti? Lima ratus ribu itu bunga per harinya dua puluh ribu, harus dikembalikan dalam jangka waktu sebulan atau tiga puluh hari. Jadi, bulan depan kau harus kembalikan satu juta seratus ribu plus biaya admin seratus ribu. Total satu juta dua ratus. Sepakat kau?" ujar Bu Poltak sedikit memaksa.

"Baik Ibu, saya usahakan membayar bulan depan sebesar yang Ibu katakan, nanti.." belum sempat aku menuntaskan kalimat, Bu Poltak sudah langsung menyalak, "Jangan usahakan, usahakan kau, harus ada! Lewat satu hari kau telat bayar, kena denda lima puluh ribu per hari. Orang miskin itu harus dikerasi dan ditegasi, kalau tidak dikiranya uangku uang nenek moyangnya pulak!" ujar Bu Poltak sambil tertawa membahana, meskipun kurasa tidak ada yang lucu.

"Jadi boleh ya Bu, saya pinjam uang? Saya pasti bisa membayar sesuai tenggat waktu dan jumlah yang Ibu minta. Saya pastikan!" janjiku meyakinkan Bu Poltak. 

"Ya sudah, ini uangnya, lima ratus ribu. Ingat, satu bulan lagi, satu juta dua ratus sudah kau setor ke sini. Tidak boleh kurang serupiah pun!" tegas Bu Poltak.

Aku mengangguk keras-keras, sambil membayangkan wajah senang anakku menerima uang untuk study tour-nya. Setelah menerima uang dan menyimpannya, aku langsung izin pulang pada Bu Poltak, dan bergegas pulang. 

Saat sampai di kontrakan, Amir dan kawannya sedang duduk-duduk di teras, dan tanpa tedeng aling-aling, Amir berucap, "Ada Pak uangnya?" Aku tersenyum dan mengangguk, sembari merogoh kantong celanaku dan memberikan lima lembaran seratus ribu pada Amir. "Nah jadi juga aku ikut jalan-jalan, Do, ayok kita ke tongkrongan dulu, bilang sama anak-anak aku sudah pasti ikut", ujar putraku itu pada sahabatnya, si Dodo. Tampaknya ia senang sekali, sampai lupa berterima kasih padaku.

------------------

Sudah nyaris sebulan aku mengojek dari pagi hingga malam, shubuh-shubuh aku berharap, semoga ada penumpang yang memerlukan jasaku, sampai tengah malam pun aku lakoni agar terkumpul uang membayar hutang pada Bu Poltak. Laparku ku abaikan, yang penting keinginan Amir terpenuhi. Makananku pun terpaksa kukurangi, agar uangnya bisa kupakai menambah pembayaran hutang.

Besok tenggat pembayaran, dan besok pula Amir akan berangkat study tour bersama sekolahnya. Ia begitu tak sabar menyongsong hari esok, mempersiapkan celana dan baju baru yang tampak mahal, yang ku tak ingat kapan membelikannya. Semburat senang di wajahnya menjadi penawar lapar dan letihku.

Pagi hari Amir bergegas bersiap, karena Dodo akan menjemputnya berangkat ke sekolah, seperti biasa. Bedanya, kali ini mereka bukan hanya ke sekolah, tetapi berangkat ke puncak untuk study tour yang sekaligus menjadi ajang perpisahan murid kelas III. Aku mengantarnya hingga ke pintu, dan tanpa menoleh Amir berteriak, "Berangkat dulu Pak!" Aku begitu merindukan berbincang dengan putra tunggalku itu, mungkin malam nanti sepulang dari study tour, kami bisa banyak bercerita. 

----------- 

Sore ini aku sudah menebus hutangku pada Bu Poltak. Wanita itu tersenyum sumringah menerima lembaran merah yang sudah beranak pinak itu. Tapi, tak perlu aku risaukan, kebaikan Bu Poltak sudah membantu anakku berbahagia bersama kawan-kawannya.

Aku melajukan motor bututku kembali menjemput rezeki. Mungkin sore ini aku bisa mendapat sedikit uang untuk membeli makan, menyambut Amir pulang. Kupinggirkan motorku di bahu jalan, bersama beberapa ojek pangkalan lainnya. Sepertinya sore ini rezeki akan tiba kepadaku.

Setelah cukup lama menunggu, aku mulai letih. Samar-samar terdengar percakapan, "Bus SMK itu tabrakan hingga terguling ya, banyak siswanya yang terjepit badan kendaraan. Entah berapa yang selamat." 

Wajahku memucat pias, segera kupacu kendaraan ke sekolah anakku. Di sana beberapa guru sudah menenangkan para orangtua murid, sembari membacakan nama anak-anak yang menjadi korban, dan di rumah sakit mana mereka dirawat. Aku mendengarkan lamat-lamat, tapi tak sekalipun nama Amir disebutkan oleh guru tersebut. 

"Apakah ini berarti Amir selamat? Lalu ada di mana dia?" Kucari Amir di antara wajah kawan-kawan satu sekolahnya yang telah dijemput oleh orangtua masing-masing. Sampai kerumunan terurai, belum juga kutemukan putra kesayanganku itu.

"Apakah dia mungkin sudah pulang bersama Dodo?" batinku

Segera aku melarikan motorku ke kontrakan kami. Di ujung jalan masuk, bendera kuning ditancapkan. "Siapa yang meninggal? Apakah tetanggaku?" Aku melambatkan motorku, hingga sampai ke jalan di depan kontrakanku.

Ramai, para tetangga sibuk keluar masuk rumahku. "Ada apa ini?", aku bertanya entah pada siapa. Perlahan aku berjalan di antara mereka. Di depan pintu Amir tergugu, "Bapak, jangan tinggalkan Amir, Pak!"

Seketika ingatanku berpacu, kembali pada saat aku menunggu penumpang. Jeritan klakson kendaraan memekakkan telinga. Tabrakan bus study tour itu meringsekkan motorku, dan seketika melepaskan ruh dari ragaku.

Kini pasti putraku menangis bingung, pada siapa ia akan bermanja lagi.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.