Aku Jo

Kisah seorang anak yang kehilangan orang tuanya

Aku Jo
Sendiri

Namaku Joana, biasa dipanggil Jo dan yah, aku akan menjalani kehidupanku sendiri.... 

Ah tidak, aku masih punya Bu Budi, ibu panti asuhan yang baik hati, masih ada teman teman di panti yang sama denganku.

Aku bersyukur mama menitipkanku di panti ini, sehingga aku masih dapat melanjutkan sekolahku dan mengikuti pelajaran-pelajaran di kelas 4 SD, walau tidak semua mata pelajaran aku suka.

Sepeninggalan papa karena terpapar covid 19 dua bulan lalu, aku tinggal bersama mama di rumah kontrakan kami di bilangan Bekaai.

Mama menderita kanker rahim yang membuat badannya kurus kering dengan perut membesar dan terbaring, jika turun dari tempat tidur dia akan berjalan tertatih menahan sakitnya.

Aku merawat mama yang tak berdaya dengan penuh kasih sebagaimana dia mengasihiku sedari kecil, sedapat yang aku bisa, sekuat yang aku sanggup, mengingat badanku sendiri kecil.

Aku bersyukur mempunyai tetangga yang tulus seperti Tante Lisa. Setelah papa pergi, Tante Lisa hampir setiap hari menengok kami, membawakan makanan untuk kami, membantuku membersihkan rumah dan memastikan mama meminum obatnya.

Juga ada sahabat mama yang begitu ramah dan sering datang ke rumah untuk membantu mama dan papa sejak lama. Tante Neni, begitu aku memanggilnya. Mama dan Tante Neni berbeda keyakinan dan mereka tetap bersahabat dengan menjunjung tinggi saling menghargai. Bukankah jika kita bukan saudara dalam keyakinan kita tetap bisa bersaudara dalam kemanusiaan? Demikianlah mereka mengajariku dan pemahaman ini yang begitu lekat tertanam dalam jiwaku.

Setiap hari aku dan mama berbincang sebagaimana umumnya anak dan ibu yang saling menyayangi, sering juga mama memarahiku jika aku dianggapnya nakal. Hari Senin yang cerah itu, di pertengahan bulan ini, mama memanggilku dan mengajak bicara yang tidak seperti biasanya, aku dapat melihat genangan airmata di pelupuk matanya yang lelah, walau mama berusaha menutupi dengan sikap tegarnya.

Dia mengulurkan tangan kurusnya untuk menggapai kepalaku dan memeluk, lalu kepalaku dicium dengan penuh sayang sambil berkata dengan terbata bata, "Jo, mama sudah tidak mungkin menemani dan merawatmu lebih lama. Kamu akan mama titipkan di panti asuhan ya," sambil menghela napas mama melanjutkan, "Nanti di sana kamu akan banyak teman dan kamu harus jaga dirimu baik baik. Belajarlah yang baik untuk menggapai cita citamu, ingat selalu akan Tuhan, karena Dia yang akan selalu menjagamu".

Airmatanya mengalir deras, saat esok harinya Pihak Panti Asuhan datang menjemputku. Mama ditemani Tante Neni yang juga menangis ketika melepas kepergianku.

Minggu yang cerah, usai ibadah di Kapel Panti Asuhan, Tante Neni datang menjengukku dan mengajakku keluar untuk ke suatu tempat. Rupanya Tante Neni mendapat dispensasi untuk mengajakku keluar, karena peraturannya tidak boleh keluar sebelum genap seminggu tinggal di Panti.

Aku hanya memandang gundukan tanah merah dengan nama mama di sana, tanpa tau apa yang harus aku lakukan.

Tante Neni memeluk dan mengajakku meninggalkan makam mama menuju ke sebuah warung es dekat lokasi kurburan.

Tante Neni bercerita bahwa Hari Rabu malam mama terjatuh di rumah ketika berusaha bangun dari ranjangnya. Cukup lama tidak ada yang menolong, hingga sekuriti komplek mendengar teriakan minta tolong mama. Tante Lisa menghubungi Tante Neni, lalu Tante Neni membawa mama ke rumah sakit yang bisa menangani pasien kanker di Jakarta dengan ambulans namun ditolak, entah alasannya dan disarankan dibawa ke RSUD dimana kartu identitas mama (KTP) diterbitkan.

Kamis siang mama berpulang dengan menggenggam tangan sahabatnya, Tante Neni.

Mungkin sekarang Papa dan Mama telah dipertemukan Tuhan di SurgaNya. Sementara aku akan menjalani hidupku di panti asuhan bersama teman teman yang juga tanpa orang tua, namun tetap sendiri seperti perahu yang tertambat di pantai.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.