Alien dari Samudera
Meski tak tahu apa yang akan terjadi nanti, satu hal yang kutahu pasti. Semesta tak ingin membiarkanku sendiri.
![Alien dari Samudera](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_6051e71a3dfbf.jpg)
Hari ketujuh dalam pilihan sendiriku. Pulau kecil berlatar laut hijau, berpasir coklat muda, lengkap dengan atap ungu menjambu.
Mengingatmu? Iya. Tentu saja aku masih mengingatmu. Jalinan rasa bernama cinta yang membuatku memicakan semesta dan memetieskan Pencipta, karena saking bahagianya.
Tapi sore itu, tiba giliran air mata mengambil perannya. Tetesnya datang tanpa terhalang. Jalinan asmara yang sudah sekian lama pun hilang.
"Aku masih menyayangimu, tapi tidak bisa mencintaimu lagi," katamu saat itu.
Pelan namun sangat tajam. Aku terdiam dalam raga penuh senyap. Aku tahu, tak mungkin lagi memintamu kembali.
Yang masih kuingat setelahnya, amarah dan sedih membawa kakiku tak hirau dengan kerikil-kerikil yang bergantian melukai. Aku terus berlari. Menjauh.... Menjauh dari tatap mata mereka yang penuh tanya 'mengapa'. Menjauh dari hari bahagia ketika kau mengucapkan janji suci untuknya.
Kalau mengikuti emosi, aku pasti sudah mati. Tapi tidak. Aku berhasil mengusir pergi tarian-tarian panggilan dari alam kelam. Aku memilih lebur dalam melodi mimpi di dunia nyata. Mengumpulkan cercah harap bahwa suatu hari akan ada pria yang akan mengisi hariku dengan tawa dalam cinta semesta.
Seperti enam hari kemarin, aku selalu bercinta dengan cahaya dan menikmati nakalnya sentuhan angin di setiap detiknya. Jemari tanganku lalu memetik kuning kamboja dan menyematkannya dalam tangkub khusyuk doa. Hasilnya? Sungguh! Aku semakin mencintai semesta.
Kini, aku merasa malu pernah mencintai menusia sepertimu dan dengan cara seperti itu. Aku merasa berdosa karena pernah menganggapmu seperti dewa. Hhhh... bagaimana bisa?
Tanpa terasa, kopi hitamku sudah sampai ke dasarnya. Pecahan riak ombak masih tetap di sana menata harmoni pagi seperti layaknya orkestra. Angin lembut pun ikut memeriahkannya. Jendela mataku dibuat takjub dengan iring-iringan ribuan burung migran yang mencari hangatnya udara di Pulau Dewata. Kepak sayapnya yang keperakan bersiram cahaya terlihat bak malaikat-malaikat yang menari riang di atas sana.
Tunggu! Aku melihat sesuatu!
Tak terlalu jelas benda apa itu karena sinar matahari mulai mengeras di belakangnya. Tampak seperti ikan besar. Sampan? Atau mungkin orang terdampar? Dengan isi kepala penuh tanya, aku melangkahkan kaki menjauh dari vila dan menuju ke sana.
Owh... Iya orang! Dan telanjang! Beberapa untai rumput laut hijau kehitaman menutupi sebagian bokongnya. Hampir sekujur tubuhnya terluka. Masih hidupkah dia? Atau sudah tak bernyawa? Kalau dia orang jahat gimana? Kalau dia terinfeksi Corona gimana? Kalau... kalau... kalau...... ahhhhhh....
Tiba-tiba, astagaaaaaa! Aku menutup mulutku lagi ketika melihat tangan itu bergerak. Tangan agak keriput dengan jemari berselaput. Gerak mataku kemudian mengarah ke kakinya. Selaput yang sama juga menghubungkan jari-jari di sana. Apakah dia si 'Deni Manusia Ikan'? Cerita yang kubaca rutin setiap minggu di masa kecilku dulu. Cerita yang mengisi rutin halaman majalah kesayanganku. Ah, mana mungkin? Tentang otak kiriku. Melihat rahang kuatnya itu, mungkin saja dia pengembara dari benua Eropa atau... Amerika.
"Pak!.... Mas!.... Kang!.... Bli!....Mister!"
Panggilan gugup dan setengah takutku tak mendapat jawabnya.
Kuputuskan untuk berlari kencang menuju vila sambil melihat mungkin ada orang di sana yang bisa membantuku menolongnya. Ternyata sangat sepi. Tak seorang pun terlihat berseliweran seperti biasanya. Oh iya, aku baru ingat hari ini Bali merayakan Nyepi. Semua orang pasti patuh larangan untuk tidak pergi.
Dengan tergesa, aku meraih selembar kain pantai dan sebotol air lalu membawanya berlari menghampiri 'mahluk' itu lagi. Kulilitkan semampuku menutupi vitalnya. Lalu dengan sekuat tenaga kutelentangkan dia.
Dadanya terluka. Tampak darah masih menetes di sana. Aku mencoba untuk membersihkan pasir-pasir yang masih betah melekat di atas luka itu. Matanya rapat terpejam meski beberapa kali mukanya mengerenyit menahan sakit. Siapakah sebenarnya dia?
Saat otak kiri dan otak kananku masih bergelut seru, mata itu perlahan terbuka. Sorot mata yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bahkan tidak di film-film buatan sutradara ternama. Dan warna matanya, aaah.... nilai Teori Warna A+ yang pernah kudapat pun tak sanggup menguraikannya. Sorot mata itu seperti menghipnotisku.
Takut semakin terpaku, kuangkat sedikit kepalanya, kusorongkan botol berisi air itu ke mulutnya. Meski awalnya terlihat ragu, namun kemudian air bening itu mengalir lancar di tenggorokannya.
Sambil tersenyum tipis, dia lalu menggerakkan telapak tangan ke arah mulutnya, lalu mengarahkannya lagi sejenak ke arahku. Ooooh... dia memakai bahasa isyarat yang artinya 'terima kasih'. Akupun membalasnya dengan mengepalkan tangan kanan, mengeluarkan jempol dan kelingking bersamaan, lalu memaju-mundurkannya di depan dadaku yang berarti 'sama-sama'. Bahasa isyarat yang sama dengan yang kupelajari di sebuah sekolah luar biasa di Denpasar.
Senyumku dan senyummu hari itu, mengisyaratkan sebuah persahabatan baru.
Entah kenapa... aku semakin yakin kalau aku harus menolongnya. Dengan tertatih karena menopang setengah badanmu, aku membawamu ke vilaku. Kucuran air hangat dari shower itu akan mengusir sisa-sisa pasir dan lelahmu. Kupinjamkan piyama yang paling longgar untuk menghangatkanmu. Pria gondrong dan berjenggot coklat keemasan terbaring lemah memakai piyama pink muda bermotif bunga. Meski tampak lucu, aku tak berani menarik tawa di garis bibirku.
Saat matamu mulai terpejam, beribu tanya pun berkejaran di benakku.
Apa yang sudah kulakukan? Membawa laki-laki asing lalu membaringkannya di ranjangku? Duh Gusti... Apa benar yang kulakukan ini? Ah sudahlah... sebaiknya aku memasak saja biar nanti kita bisa makan sama-sama. Kutumpukan pantat bulatku di atas coklat lambar kayu. Menunggumu.
Penuh rasa iba, aku memandang wajah lelapmu. Adakah orang di luar sana yang sedang mencarimu? Mengapa kau terluka? Siapa namamu, rumahmu? Keluargamu? Apakah kau mengingat semuanya?
Penantianku tak sia-sia. Matamu mulai terbuka. Kutinggikan bantalmu, dan kuberikan suapan demi suapan agar tenagamu pulih kembali.
.............................
Lembar almanak sudah 2 kali berganti tema. Aku mulai terbiasa denganmu. Seperti biasa, kau menemaniku menyeruput kopi pagi.
"Tidak enak," jemarimu berkata memberi tanda setiap kali kau belajar menaklukkan minuman hitam kesukaanku.
Sekarang saatnya. Aku akan menyerbumu dengan tanya.
Betapa kaget dan senangnya aku saat kau berkata melalui tanda, bahwa samudera adalah rumahmu, ikan-ikan adalah saudaramu dan bunga karang adalah taman bermainmu. Itu jelas artinya, tidak akan ada orang atau polisi yang akan mencarimu.
Lalu kau menunjukkan sesuatu yang menempel di dalam kupingmu.
"Untuk bernafas dalam air yang sangat dalam," jelas jemarimu.
Ketika aku bertanya tentang orangtuamu, wajahmu berubah sendu.
"Aku sudah coba mencarinya ke berbagai daratan, tapi orang-orang itu malah mengusirku dan melempariku dengan batu. Sambil menutup hidung mereka berteriak 'Orang gila! Orang gila!"
"Kenapa kau bisa terluka?" jariku juga memainkan kata tanya. "Baling-baling dari kapal besar. Itu yang melukaiku,' jawabmu sambil memeragakannya sebisamu.
"Mengapa saat menemukanku kau malah menolongku?" tanya jemarimu. Gelengan pelan kepalaku menjawab tanyamu.
"Nama?" alihku.
"DENI," ejamu. DENI? Hah? Apa benar dia si 'Deni si Manusia Ikan' itu?
Dengan cepat kuambil handphone di kamar, mencari apakah masih ada cerita tentangmu di internet. Aku menemukannya! "Apakah ini kamu?" tanyaku sambil menunjuk gambar bocah kecil pemberani itu. "Iya," jawabmu dengan anggukan pasti.
Akupun langsung memelukmu, mengusir pergi semua rasa malu. Rupanya semesta menjawab doaku semasa kecil dulu. Ingin bertemu dengan 'DENI, Si Manusia Ikan', idolaku. Kita pun lalu berkejaran di pantai itu.
Meski tak tahu apa yang akan terjadi nanti, satu hal yang kutahu pasti. Semesta tak ingin membiarkanku sendiri.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.