Kuda Yang Membelah Malam

Warga Dusun Mojosari resah. Mereka selalu mendengar derap kuda berlari melintasi satu-satunya jalan bebatuan yang membelah dusun, persis tengah malam. Mereka yakin kuda itu berlari sangat kencang. Setidaknya, itulah keyakinan mereka. Ya, sebatas keyakinan belaka karena sejak suara itu muncul belum ada satu pun yang berhasil melihatnya.
Mojosari sesungguhnya Dusun yang tenteram. Kehidupan Mojosari dimulai sejak subuh datang dan berakhir sesaat setelah matahari tenggelam. PLN belum masuk dusun. Rumah-rumah hanya diterangi senthir atau teplok. Para lelakinya hidup sebagai petani, ada beberapa yang menyadap nira untuk dibikin gula merah lalu dijual di pasar Desa.
Ketentraman Mojosari mulai terusik ketika suatu pagi Sudrun mengabarkan bahwa ia mendengar suara kuda berlari. Persis tengah malam, katanya. Kabar itu lalu diamini oleh penduduk lainnya di kemudian hari. Di Dusun, sebuah kabar apa pun dapat menyebar sangat cepat. Apalagi kabar genting yang mengusik ketentraman.
“Saya yakin, kuda itu berlari sangat kencang!”
“Lebih kencang dari angin!”
“Secepat suara!”
“Lebih dari itu! Lebih cepat dari kedipan mata!”
“Apa kalian yakin itu kuda?” Tanya Sarpin yang dari awal memilih diam.
“Kamu nggak yakin, Pin?” Sudrun bertanya balik.
“Yang kita dengar belum tentu benar,” Ujar Sarpin datar sambil menyalakan kelobotnya.
“Kamu bener, Pin, mungkin saja itu kebo. Tapi, apa kamu pernah lihat kerbau yang larinya secepat kuda, heh?!” tanya Parjio setengah mengejek.
“Seumur-umur aku belum pernah melihatnya!” timpal Wagiman.
“Bagaimana kalau itu kebo kesurupan jaran?” Tanya Sarpin.
“Kamu memang gila, Pin! Mana ada kerbau kesurupan. Jangan-jangan kamu yang kesurupan indang gemblung!” Sudrun terus memojokkan Sarpin lalu disambut tawa yang lainnya.
Entah marah atau tersinggung mendengar ucapan Sudrun, Sarpin tiba-tiba berdiri lalu meninggalkan mereka, tanpa kata. Biar begitu, tak ada yang memedulikan sikap Sarpin. Untuk apa memedulikan orang gila seperti Sarpin!
Tetapi, sejak itu Sarpin tak nampak lagi di Dusun. Meskipun warga sempat bertanya-tanya kemana perginya Sarpin namun mereka tak juga mencarinya. Tak merasa perlu juga untuk mencarinya. Biarkan saja,mungkin dibawa indang gemblung.
Keesokan malam, dan keesokan-keesokan malamnya lagi, suara derap kuda itu masih terdengar. Membelah sepi yang beku di Dusun lereng bukit itu, setiap tengah malam. Membangunkan orang-orang yang telah tertidur pulas. Membangunkan mimpi indah para bayi dan anak-anak kecil untuk kemudian menangis histeris. Di atas dipan, para manula mendadak tertawa dan terkencing. Di pedaringan, ayam-ayam kalang kabut.
Orang-orang yang sengaja menunggu untuk mengintipnya – dari dalam rumah, maupun dari semak-semak, mendadak tertidur sesaat sebelum suara itu datang. Lalu terbangun ketika suara itu telah menghilang dan mereka tak sempat lagi melihatnya.
Pernah mereka berupaya untuk dapat melihatnya dengan cara menerangi jalan. Mereka memasang deretan obor di sepanjang jalan. Kurang lebih duaratusan meter obor-obor itu berjajar. Namun, begitu kuda itu datang, obor-obor itu padam seketika lalu menyala lagi setelah suara derap kuda itu lenyap.
Baru akhir-akhir ini ada beberapa orang yang mengaku pernah melihatnya. Kuda itu berwarna hitam, berbadan besar, penungganya berjubah hitam dan berbadan besar. Yang lainnya bilang kuda itu ditunggangi seseorang berbadan besar namun tanpa kepala. Aku yakin dia hantu, katanya. Yang lainnya lagi mengaku hanya melihat sekelebatan cahaya putih, sementara kuda dan penumpangnya tak nampak.
Ada juga yang mengaku hanya melihat bekas tapak kaki kuda dengan bercak darah tercecer. Namun ia tak dapat membuktikannya karena begitu pagi datang ceceran darah dan jejak kaki kuda itu lenyap.
Orang-orang mulai berspekulasi ihwal penunggang kuda itu. Mungkin dia hantu pemenggal kepala, atau seorang penculik perawan, atau setan yang tersesat.
Tapi tidak.
Tidak ada kabar di Dusun itu orang mati yang kepalanya hilang terpenggal, atau perawan-perawan yang hilang diculik. Pun di Dusun-Dusun tetangga.
“Atau mungkin dia malaikat maut?” Parjio mengungkapkan satu kemungkinan yang membuat teman-temannya merinding.
“Kita harus segera mencari tahu!” usul Sudrun.
“Ya, tapi bagaimana?” timpal Karjo, “Aku dan Parjio, dan Wagiman, pernah mencoba mengintip dari semak-semak di pinggir jalan. Tapi apa hasilnya? Nol gembus! Kami malah kesirep,”
“Kita pasang jebakan!” usul Wagiman.
“Jebakan apalagi? Kita sudah pernah memasang obor, dan sia-sia!” kilah Karjo.
“Kita pasang tali melintang di tengah jalan,” lanjut Wagiman, “Bagaimana?”
Karena dirasa tak ada usul yang lebih baik, mereka pun menyepakati usulan Wagiman. Lagipula, toh tak ada salahnya mencoba.
Begitulah, ketika malam baru saja lahir, seutas tali yang biasa dipakai untuk mendadung kerbau dibentangkan di tengah jalan. Mereka mengikatnya pada batang pohon Asem di satu sisi dan Pohon Waru di sisi lainnya. Tali itu dibentangkan setinggi perut pria dewasa.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, tepat tengah malam suara kuda itu terdengar lagi. Dan seperti biasanya, ketika suara kuda itu datang, orang-orang yang telah tertidur terbangun, dan orang-orang yang sengaja menunggunya malah mendadak tertidur.
Namun malam itu, hampir bersamaan dengan suara derap kaki kuda, terdengar jerit seorang lelaki. Suaranya amat kencang. Orang-orang tak berani keluar rumah untuk mencari tahu. Pun Sudrun, Parjio, Wagiman, dan Karjo yang memasang tali jebakan dan menunggunya di rumah Sudrun yang berada persis di pinggir jalan, dekat pohon waru. Mereka yang tadi sempat tertidur ketika suara kuda itu datang, lalu terbangun ketika mendengar pekik seorang lelaki, hanya saling tatap dengan badan gemetar. Keringat mengucur deras membasahi tubuh mereka. Kita sudah membunuh malaikat maut! bisik Karjo dengan suara bergetar.
Keesokan pagi, orang-orang ramai berkerumun. Seorang lelaki tengkurap di tengah jalan di dekat tali yang terbentang.
Tiga orang pria membalikkan tubuh lelaki itu sementara yang lainnya menunggu tak sabar ingin melihat seperti apa wajah malaikat kematian. Namun, begitu tubuh itu terbalik, orang-orang kaget melihat wajah yang tak asing buat mereka, meskipun wajah itu berlumuran darah.
“Oalah, Gusti! Malaikat maut ternyata mirip Sarpin!”
“Atau jangan-jangan Sarpin malaikat maut?”
Orang-orang terus mendengung, saling berspekulasi. Apa yang muncul di kepala, dikeluarkannya begitu saja tanpa dikaji dan dipilah.
**
Semula orang-orang berharap teror kuda itu hilang seiring kematian Sarpin. Ternyata meleset. Persis tengah malam, seperti pada malam-malam sebelumnya, suara kuda itu masih terdengar.
Tak tahu lagi harus berbuat apa, warga Mojosari akhirnya memutuskan untuk membiarkan saja kuda itu melintas. Anggap saja itu adalah kuda penjaga dusun, begitu kesepakatan mereka.
Namun kabar kejadian misterius di Dusun Mojosari itu kemudian menyeruak ke dusun-dusun tetangga, lalu melanglang hingga ke kota. Para remaja mengabarkannya lebih luas melalui media sosial kemudian menembus koran, radio, dan televisi.
Orang-orang kota yang penasaran satu per satu datang ke Mojosari hanya untuk turut merasakan suasana mencekam di tengah malam. Mereka sengaja tidur sebelum tengah malam dengan harapan terbangun ketika suara kuda itu datang.
Kedatangan orang-orang kota membuat Mojosari menjadi ramai.
Penduduk Dusun yang berotak dagang segera menangkap peluang bisnis dengan menyewakan rumah atau kamar untuk disinggahi. Beberapa membuka warung makan. Para pengusaha dari kota juga ikut memanfaatkan keramaian itu dengan mendirikan bar, diskotek dangdut hingga rumah bordil.
Kehidupan Mojosari yang sebelumnya sepi kini mendadak ramai. Suara derap kuda semakin jarang terdengar. Bahkan, lambat laun, seperti benar-benar tidak ada.
Entahlah, masih ada atau tidak?
***
Bintaro, 2015
- Senthir = sejenis teplok, dian
- Indang = Sebutan untuk setan/lelembut yang dapat merasuki pikiran manusia
- Gemblung = gila
- Pedaringan = Bagian belakang rumah
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.